Setelah Pemilu Legislatif Usai
PEMILIHAN umum (pemilu) legislatif pada 9 April 2009 baru saja usai dan berlangsung secara damai, meski ada riak kecil di Kota Abepura,Papua.
Hasil perhitungan cepat (quick count) pun sudah diumumkan oleh beberapa lembaga survei, seperti Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, LP3ES, Cirus, dan Puskaptis. Hasil quick count itu pun hampirhampir seragam: Partai Demokrat (PD) memperoleh sekitar 20% suara, PDIP 14,5%,Partai Golkar 14%, PKS 7,5%, PAN 5–6%, PPP 5,5%, PKB 5,2%, Gerindra 4,3%, dan Hanura 3,5%.
Sembilan partai politik (parpol) itu sudah pasti memperoleh kursi di DPR, meski jumlahnya tidak berbanding lurus dengan popular vote tersebut karena tergantung mahal murahnya harga kursi di daerah-daerah pemilihan (dapil) tempat mereka meraih suara. Suatu fakta yang menonjol pada pemilu legislatif ini, suara golput jauh lebih besar daripada perolehan suara Partai Demokrat, yaitu sekitar 38,2%.
Golput merupakan perpaduan dua hal, atas dasar niat politik untuk tidak mau memberikan suara pada Pemilu Legislatif 2009 ini karena kecewa, ditambah dengan banyaknya rakyat yang tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT). Satu hal yang perlu diketahui khalayak luas,hasil quick countitu bukanlah hasil akhir pemilu legislatif, melainkan hanya prediksi yang bisa lebih besar atau lebih kecil dari hasil perhitungan secara manual Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sisi penting lain yang harus dilihat adalah, kita jangan hanya bicara angka-angka atau mendekati pemilu melalui pendekatan kuantitatif semata, tapi juga penting meninjau aspek kualitatif pelaksanaan pemilu legislatif itu. Dari sisi kualitatif, Pemilu Legislatif 2009 jauh lebih buruk persiapan dan pelaksanaannya dibandingkan dua pemilu sebelumnya di era reformasi, yaitu Pemilu 1999 di bawah Presiden BJ Habibie dan Pemilu 2004 di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri.
Seperti diungkapkan oleh Wapres Jusuf Kalla, ada indikasi kecurangan pada pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009 ini.Persoalan teknis pelaksanaan pemilu yang banyak disoroti masyarakat dan parpol-parpol antara lain ialah soal DPT yang amburadul, pengiriman logistik pemilu yang amburadul, pengiriman kertas suara yang salah di beberapa dapil, pemungutan suara yang melewati batas waktu, serta penghitungan suara di luar TPS dan sebagainya.
Persoalan lain yang menyusul adalah kemungkinan akan banyaknya gugatan hukum pada pelaksanaan pemilu ini, walau mudah-mudahan tidak sampai pada kesimpulan bahwa pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009 diragukan keabsahannya. Mahkamah Konstitusi (MK) tampaknya sudah siap meladeni beragam gugatan pemilu ini, dari soal kecurangan sampai dengan penentuan siapa yang akan memperoleh kursi di DPR kelak.
Jika gugatan itu terkait dengan parliamentary threshold atau gugatan antarpartai, mungkin lebih mudah diselesaikan bila kita bersandar pada aturan perundangundangan. Namun, bila ini terkait gugat-menggugat di antara calon legislatif dalam satu partai, ini yang rumit.Apalagi MK jauh-jauh hari sudah menyatakan tidak akan meladeni gugatan semacam itu dan menyerahkan partai-partai politik untuk menyelesaikannya secara internal.
Padahal,sejak MK memutuskan pemenang pemilu atas dasar suara terbanyak, gugatmenggugat antarcaleg tersebut merupakan bagian dari sengketa pemilu. Diperkirakan, gugatan yang akan masuk ke MK meningkat signifikan pada Pemilu 2009 dan jumlahnya bisa ribuan kasus dibandingkan dengan Pemilu 2004 yang hanya 274 kasus. Kasus-kasus sengketa pemilu itu harus selesai dalam 30 hari kerja setelah hasil pemilu diumumkan agar tidak mengganggu proses pemilu presiden/wakil presiden.
Koalisi
Pemilu legislatif tentunya akan terkait dengan pemilu presiden/ wakil presiden yang akan berlangsung pada 8 Juli 2009. Untuk sementara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat dapat bergembira melihat hasil pemilu legislatif ini.
Utak-atik membuat berbagai opsi politik pun mulai berlangsung. Bagi Partai Demokrat dan SBY yang berada di atas angin, amat mudah memenangi Pilpres 2009 ini. Itu karena popularitas SBY jauh di atas para calon presiden lainnya. Namun, memenangi pilpres tidak sama dengan kemudahan menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan (2009–2014). Pilihan dengan partai-partai mana saja koalisi akan dibangun,tentunya akan menentukan stabilitas politik dan jalannya pemerintahan.
Sejak menjelang pemilu legislatif, ada partai-partai di luar Partai Demokrat yang mendompleng popularitas SBY. Tengok misalnya kampanye PKS pada detik-detik terakhir masa kampanye yang memasang spanduk di berbagai wilayah dengan slogan: ”SBY Presidenku, PKS Partaiku.” PKS berkeinginan besar agar salah satu kader terbaiknya menjadi cawapres mendampingi SBY. PKS berkeinginan besar untuk masuk kabinet bahkan meraih kursi RI-2 karena ini adalah modal politik untuk dapat memerintah di masa mendatang.
Keinginan serupa juga ada pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bila kita kaitkan keinginan itu dengan perolehan suara dan kursi,dari koalisi Partai Demokrat, PKS, PKB, dan mungkin ditambah dengan PAN, masih belum cukup untuk membangun pemerintahan/ kabinet atas dasar simple majority atau mayoritas sederhana di parlemen, yaitu 50% plus 1.
Selain itu, jika hanya berkoalisi dengan partai-partai Islam,tentunya memberi citra lain bagi SBY sendiri di mata para pemilih nasionalis dan nonmuslim. Kunci penentu kestabilan pemerintahan tetap berada di tangan Partai Golkar. Persoalannya, apakah mungkin duet SBY-Kalla dibangun kembali? Apakah SBY mau Kalla tetap menjadi pendampingnya. Jangan-jangan SBY hanya butuh dukungan Partai Golkar,tapi tidak butuh Kalla sebagai pendamping.
Kalaupun SBY tetap membutuhkan Kalla,apa Kalla mau menerima berbagai kondisi/ prasyarat politik yang diajukan SBY kepadanya, misalnya jangan terlalu menonjol dibandingkan SBY. Cawapres dari Partai Golkar masih ada yang mungkin mau mendampingi SBY,sepertiAkbar Tandjung,Surya Paloh atau Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Repotnya kalau Partai Golkar secara aklamasi memutuskan untuk bertarung melawan SBY pada pilpres mendatang.Apalagi Golkar sudah mengambil ancangancang untuk membangun koalisi Segitiga Emas bersama PDIP dan PPP, yang mungkin juga dapat didukung Hanura dan Gerindra. Rapimnas Khusus Partai Golkar pada Sabtu (25/4) mendatang baru dapat menjawab ke mana Golkar akan melangkah? Ancang-ancang koalisi politik juga dilakukan oleh PDIP bukan hanya dengan Partai Golkar dan PPP,tapi juga dengan Gerindra dan Hanura.
Jika ini benar terwujud, Pilpres 2009 akan menarik karena hanya ada dua kekuatan besar yang berhadapan, yaitu koalisi besar partai-partai berhaluan nasionalis majemuk/plural ditambah dengan satu atau dua Partai Islam berhadapan dengan The Golden Bridge (Jembatan Emas) yang didukung satu partai nasionalis plural (Partai Demokrat) dan tiga partai Islam. Ini merupakan pertarungan citra pribadi dan citra ideologi yang dianut.
Lepas dari persoalan politik dagang sapi membangun koalisi menjelang pilpres mendatang,ada suatu keanehan yang melanggar fatsun politik, yaitu tidak atau belum ada pejabat pemerintah yang mau bertanggung jawab serta meminta maaf kepada publik atas amburadulnya pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009 ini.Presiden sendiri lebih menyerahkan kepada KPU dan KPUD atas persoalan yang katanya ”teknis” pemilu itu.
Para pejabat itu malah asyik berpolitik dagang sapi untuk membangun koalisi. Jika begitu adanya, kesan publik tentunya akan menuju pada kesimpulan: para pejabat itu lebih sebagai dealer politik ketimbang sebagai pemimpin bangsa (They are dealers,not leaders)! (*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/228555/38/
Setelah Pemilu Legislatif Usai
Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 13.41
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar