Etnik Tionghoa dan Pemilu
Menjelang pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) tahun ini, etnik Tionghoa tampak antusias sekali berpartisipasi. Penulis sering ”pusing” setiap kali ada undangan diskusi dari calon legislator (caleg) Tionghoa atau calon presiden (capres)/caleg tertentu yang ingin merebut hati kalangan Tionghoa.
Bayangkan, ada kenaikan jumlah caleg Tionghoa sampai 100% lebih dari Pemilu 2004 (dari 100 caleg pada 2004 menjadi 213 caleg di pada 2009).Mereka tersebar hampir di semua parpol. Di jalanjalan protokol di kota-kota besar seperti Surabaya atau Jakarta,foto dari beberapa caleg Tionghoa juga sudah akrab dengan publik. Yang menarik dari sekian banyak caleg Tionghoa, boleh jadi, adalah ada yang nyaleg dari Partai Bintang Reformasi (PBR) yang berbendera Islam.Padahal sang caleg beragama Katolik.
Sosok satu ini terang-terangan mengakui latar belakang ke-Tionghoaan dan ke- Katolikannya. Beda dengan beberapa caleg Tionghoa di beberapa daerah lain seperti Surabaya yang mengemas penampilannya agar tampak berbeda dari aslinya.Memakai songkok misalnya, padahal sehari-hari tak pernah pakai. Jadi para caleg Tionghoa bisa belajar dari sang caleg PBR tersebut untuk jujur dan terus terang dan tak mau mengemas dirinya menjadi pribadi atau sosok lain yang berbeda dari keseharian. Simpati publik justru akan jatuh kepada caleg Tionghoa yang mau mengakui jati diri dan latar belakangnya.
Namun boleh jadi ada yang bertanya, apa sebenarnya yang dicari para caleg Tionghoa? Bahkan ada yang bertanya, uang gambar apa lagi yang dicari? Apalagi posisi sosial ekonomi sudah mapan,jadi wajar jika ditanyakan motif para caleg Tionghoa ini. Meski motif tiap caleg berbeda, ada benang merah yang pasti bahwa ratarata para caleg Tionghoa memberikan jawaban ingin berkarya dan memberikan kontribusi bagi negeri ini. Jalur politik praktis dipilih karena memang banyak keputusan politik yang menyangkut hidup orang banyak ditentukan dari gedung Dewan (baik di Senayan atau di daerah).
Dengan demikian, para caleg Tionghoa juga ingin ikut menentukan jalannya roda politik di Tanah Air bersama anak bangsa yang lain.Tak ingin etnik Tionghoa hanya dipasung atau hanya menjadi penonton di kancah perpolitikan nasional.
Era Pemasungan
Potret seperti di atas jelas merupakan perkembangan menggembirakan. Pasalnya, pasca-Tragedi 1965, etnik Tionghoa memasuki era pemasungan politik sehingga mereka hanya berkutat di bidang ekonomi.
Etnik Tionghoa pun tenggelam di dalam kancah perpolitikan Indonesia seiring dengan kebijakan Orde Baru (Orba) yang menggiring etnik Tionghoa menjauh dari arena politik.Apalagi dengan tudingan ikut mendukung PKI dan RRT, banyak generasi tua dari etnik Tionghoa, khususnya yang mengalami pahit getirnya Tragedi 1965, hidup dalam trauma dan kebencian akan segala hal yang berbau politik di negeri ini. Masa rezim Orba merupakan era paling sulit bagi mayoritas etnik Tionghoa.
Berbagai regulasi dibuat Orba untuk meminggirkan etnik ini dari ranah sosial politik, di antaranya (1) SE 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 mengenai Larangan Penerbitan dan Percetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina; (2) Instruksi Presiden No 14 Tahun 1967 tentang Agama,Kepercayaan dan Adat-istiadat Cina; (3) Instruksi Mendagri No 455.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng; (4) SE Presidium Kabinet RI No SE-06/ Pres-Kab/6/1967 mengenai Penggantian Istilah Tiongkok dan Tionghoa Menjadi Cina; (5) Instruksi Presiden No 37/U/ IN/6/1967 mengenai Badan Koordinasi Masalah Cina (BK MC); (6) Kep Presidium No 127/U/ Kep/ 12/1966 mengenai Peraturan Ganti Nama bagi WNI Memakai Nama Cina.
Menjelang jatuhnya rezim Soeharto, etnik Tionghoa juga masih harus menjadi tumbal seperti terjadi dalam Tragedi Mei 13–15 Mei 1998 di Jakarta. Sudah banyak hal ditulis tentang penjarahan tokotoko, pemerkosaan,dan pembakaran yang di luar batas kemanusiaan. Sudah banyak hal ditulis tentang Tragedi itu seperti disinggung dalam buku Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para-Komando, tapi hingga kini tak ada yang bertanggung jawab atas tragedi itu.Semua itu menyisakan trauma mendalam bagi sebagian etnik Tionghoa sehingga ada yang bersumpah untuk menjauhi politik di negeri ini,khususnya para generasi tua.
Iklim yang Bebas dan Kondusif
Tapi syukurlah,trauma atau ketakutan pada politik itu pelan-pelan mulai sembuh. Ini tentu tak lepas dari gerakan Reformasi––dengan didahului Tragedi Mei 1998––- yang telah melahirkan banyak perubahan menjanjikan. Perhatian dari para presiden mulai dari BJ Habibie,Gus Dur,Megawati hingga SBY juga patut dicatat.
Iklim yang bebas dan kondusif telah tercipta sehingga etnik Tionghoa pun tertarik lagi pada politik (praktis). Iklim yang bebas dan kondusif itu bahkan sudah dilengkapi dengan jaminan konstitusional akan kesetaraan antarwarga.Tidak ada sekat-sekat lagi antara pribumi dan nonpribumi.Ini tampak dari lahirnya UU Kewarganegaraan No 12/2006 yang disahkan Presiden SBY pada 1 Agustus 2006. Juga sudah lahir UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik (disahkan DPR pada 27 Oktober 2008).
Bagi warga Tionghoa di Indonesia khususnya, kedua UU tersebut dinilai fenomenal karena mampu menghapus sekat dan kendala yang bersifat rasial atau etnis. Kedua UU itu benar-benar memberi rasa aman, termasuk di ranah politik, sehingga rasa waswas dan takut berpolitik di kalangan Tionghoa kini nyaris tidak ada lagi. Sebaliknya, yang ada justru gairah politik yang besar. Lalu, kira-kira ke mana suara etnik Tionghoa dalam Pileg 2009?
Apakah otomatis memilih para caleg Tionghoa? Hemat penulis,setiap etnik Tionghoa bebas memilih parpol atau menjadi golput,tapi tak ada kewajiban memilih caleg Tionghoa. Jika memilih caleg Tionghoa,justru politik primordialisme kambuh lagi.Yang penting, etnik Tionghoa sudah menunjukkan peran sertanya, entah sebagai caleg, pengurus parpol,penyandang dana, atau hanya sebagai pemilih.Yang juga penting, etnik Tionghoa juga perlu membedakan politik kekuasaan (power politics) dan politik kenegaraan (state politics).
Keterlibatan aktif dalam politik kepartaian merupakan realisasi dari politik kekuasaan. Pasalnya, ujung dari perjuangan politik partai adalah kekuasaan itu sendiri. Sementara wilayah gerak politik kenegaraan mengatasi kerja politik partai. Politik kenegaraan berorientasi pada pencapaian kebaikan bersama semua warga (common goods). Akhirnya para caleg Tionghoa yang terlibat dalam politik kekuasaan, jangan sok kuasa kalau berhasil meraih kursi Dewan.
Sementara yang jadi pemilih biasa jangan kecil hati.Lewat cara ini,kita justru berpartisipasi dalam politik kenegaraan untuk membuat Indonesia kian sejahtera.Di atas semuanya, kita harapkan Pileg 9 April 2009 bisa berlangsung damai, sementara roda ekonomi kita bisa terus berjalan di tengah ancaman krisis keuangan global.(*)
Tom Saptaatmaja
Teolog dan Kolumnis
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/226054/
Etnik Tionghoa dan Pemilu
Written By gusdurian on Minggu, 05 April 2009 | 12.54
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar