BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Visi,Misi,Gizi, Pici,dan Ruci

Visi,Misi,Gizi, Pici,dan Ruci

Written By gusdurian on Kamis, 26 Maret 2009 | 12.47

Visi,Misi,Gizi, Pici,dan Ruci


DALAM tiga bulan ini,penulis dua kali mengunjungi Manado.Januari lalu sebagai anggota Indonesia- Australia Joint Selection Team yang mewawancarai calon penerima beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) dan pertengahan Maret ini sebagai koordinator Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) tentang pembangunan berbasis kelautan.


Dari dua kunjungan itu,penulis terkesan pada cerita teman-teman dosen Universitas Sam Ratulangi soal bagaimana orang bisa memenangi pemilu.Menurut mereka, ada lima cara untuk memenangi pemilu yang mereka sebut sebagai visi,misi,gizi,pici,dan ruci. Seorang politikus tidak akan menarik perhatian pemilih kalau dia tidak punya visi.

Visi saja juga tidak cukup jika ia tidak mengetahui misi apa yang akan diembannya di parlemen, baik pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten ataupun kota. Punya visi dan misi juga tidak cukup kalau dia tidak punya ”gizi” alias dana. Pada setiap kampanye, jika ingin sukses menuai pengunjung atau pendukung, sang calon anggota legislatif itu harus, dalam bahasa Manadonya,”ba pici doi”.

Artinya, ia harus menghitung dengan jari-jemari tangannya lembaran uang yang akan dibagi-bagikan kepada para peserta kampanye. Ternyata, itu pun tidak cukup! Ia harus menggunakan senjata pamungkasnya, yaitu ruci alias curang! Lima cara itu bisa saja benarbenar dilakukan di lapangan, tetapi bisa juga tidak.

Tengoklah cara berkampanye para caleg, bukan visi dan misi yang mereka miliki,melainkan ”minta doa restu dan dukungan” kepada para pemilih. Brosur, foto, spanduk, dan baliho bisa saja bertebaran, tapi tanpa makna. Bagi yang memiliki gizi cukup,mereka bisa pasang iklan di berbagai media,mulai dari media cetak, radio, televisi sampai internet.

Bagi mereka yang tergabung dalam kelompok Ikatan Caleg Melarat/Miskin Indonesia,caranya lain lagi. Ada yang mengirim pesan singkat (SMS) minta bantuan dana,ada yang mengamen,ada pula dengan cara-cara yang tidak terpuji, menjadi penyalur narkoba atau memanen kelapa sawit yang bukan miliknya.

Dalam soal pici, ada yang menghambur-hamburkan uang dalam bentuk pembagian sembako seperti yang dilakukan MS Kaban (Ketua Umum Partai Bulan Bintang), bagi-bagi uang seperti yang dilakukan caleg Gerindra di Sumatera Barat, ada yang cukuran gratis seperti yang dilakukan PKS, atau sunatan dan kesehatan gratis seperti yang dilakukan caleg Golkar yang juga Ketua DPR,Agung Laksono.

Hal yang masih merisaukan banyak pihak ialah cara rucialias curang. Caranya pun macam-macam, dari penggelembungan daftar pemilih tetap (DPT) atau melakukan kampanye disinformasi terhadap caleg atau pimpinan partai lain. Hari Minggu dan Senin lalu kebetulan penulis diundang salah satu LSM di Meulaboh yang bergerak di bidang keadilan dan perdamaian, Sunspirit.

Selama di Aceh, saat melakukan talk showsosialisasi pemilu damai di Aceh melalui radio lokal, Dalka FMdan FAS FM,tidak sedikit peserta dan pendengar yang menanyakan soal mengapa terjadi ”penembakan misterius”terhadap beberapa caleg salah satu partai lokal di Aceh (Partai Aceh) dan mengapa beberapa caleg dari partai lokal itu yang melakukan intimidasi terhadap para caleg dari partaipartai lokal lain dan partai-partai nasional?

Disinformasi juga berkembang di Aceh, antara lain agar rakyat hati-hati dalam memilih calon presiden jika ingin mempertahankan situasi damai di Aceh. Seorang mahasiswa Universitas Teuku Umar bertanya saat penulis memberikan kuliah umum di universitas itu mengenai Pemilu 2009 dan Masa Depan Perdamaian di Aceh.

Katanya, ”Menurut media massa, jika Megawati menang, ia akan membatalkan MoU Helsinki karena itu bertentangan dengan UUD 1945.” Penulis balik bertanya, di mana ia dapatkan informasi itu? Katanya dari sebuah surat kabar lokal yang terbit di Banda Aceh. Jawaban penulis singkat saja, ”Itulah model disinformasi.

Mana mungkin Megawati mengatakan itu karena itu bertentangan dengan hati nuraninya sendiri yang tidak ingin melihat setetes darah tumpah di Tanah Rencong. Kalaupun itu benar, Megawati melakukan bunuh diri politik!” Jusuf Kalla juga tak habis mengalami disinformasi yang isinya,jika ia menang, sistem neoliberalisme akan diterapkan di republik yang kita cintai ini.

Kalla sebagai pengusaha dianggap cuma mau cari untung untuk pribadi dan partainya saja. Belum lagi informasi negatif soal Prabowo Subianto dan Wiranto yang katanya pelanggar HAM. Namun, hal yang menarik adalah beberapa baliho terpampang di berbagai kota di Aceh, termasuk di Meulaboh, yang antara lain dipasang oleh anggota TNI aktif. Isinya berupa judul berita surat kabar berisi pesan dari SBY saat berkunjung ke Banda Aceh,bunyinya:

”Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: jagalah perdamaian dan Aceh di dalam NKRI adalah harga mati.” Bawaslu tampaknya hanya sibuk memonitor apakah seorang caleg atau pemimpin partai melakukan kampanye di luar jadwal atau bagi-bagi duit. Tapi kurang responsif untuk memonitor adakah para peserta pemilu yang melakukan kecurangan dengan cara melakukan disinformasi.

Visi, misi, gizi, pici, dan ruci bukan hanya terjadi di Sulawesi Utara atau Aceh,tapi bisa juga terjadi di daerah lain di Indonesia. Jika tujuan menghalalkan cara lebih banyak digunakan oleh partaipartai politik atau para caleg, jangan salahkan orang yang berpandangan buruk terhadap politik dan partai politik atau bahkan terhadap pemilu itu sendiri. Demokrasi benar-benar di ujung tanduk! (*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/223851/38/
Share this article :

0 komentar: