BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tantangan Demokrasi Presidensial

Tantangan Demokrasi Presidensial

Written By gusdurian on Rabu, 18 Maret 2009 | 11.29

Tantangan Demokrasi Presidensial
Hanta Yuda A.R., analis politik dan peneliti The Indonesian Institute, Jakarta

Pemerintahan produk Pemilihan Umum 2009 diprediksi akan tetap berhadapan dengan multi-kekuatan partai di parlemen. Presiden dan wakil presiden terpilih kemungkinan besar akan berasal dari partai yang berbeda. Dua hal ini berpotensi besar akan menjadi katalisator bagi instabilitas demokrasi presidensial.

Paling tidak, di masa pemerintahan Yudhoyono, fragmentasi politik di parlemen telah menyebabkan pilihan dilematis bagi Presiden untuk merangkul hampir semua partai politik di dalam kabinet. Hal ini telah menyebabkan sistem presidensial (presidensialisme) tampil dengan gaya parlementerisme dan pemerintah justru sering terserimpung oleh manuver sejumlah partai politik mitra koalisinya sendiri.

Konsekuensi Yudhoyono dan Kalla berasal dari partai yang berbeda--apalagi partai wakil presiden lebih kuat daripada partai presiden--berpotensi menyebabkan terjadinya persaingan terselubung antara presiden dan wapres menjelang pemilu secara perlahan tapi pasti. Apalagi jika keduanya memutuskan bercerai pada pemilihan presiden 2009, akan terjadi pertumbukan politik di pemerintahan.

Titik rawan

Pemilu 2009 hampir mustahil dapat melahirkan suatu kekuatan mayoritas, kecuali dengan koalisi. Konsekuensi di tengah ketiadaan kekuatan partai mayoritas itu cenderung akan membuka peluang terjadinya instabilitas pemerintahan presidensialisme. Bahkan, di beberapa negara Amerika Latin, kombinasi ini terbukti gagal mengantarkan pemerintahan dan demokrasi yang stabil. Karena itu, hal ini ini akan menjadi titik rawan bagi pemerintahan hasil Pemilu 2009.

Juan Linz dan Arturo Velenzuela dalam The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America (1994) adalah yang membangun satu tesis menarik bahwa presidensialisme yang diterapkan di atas struktur politik multipartai cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta akan menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Tesis tersebut diperkuat oleh studi Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin America (1997), yang berpendapat bahwa kombinasi tersebut akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government), kondisi ketika presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen.

Kedua tesis ini sudah terbukti selama hampir lima tahun masa kepresidenan Yudhoyono. Kebijakan pemerintah kerap diinterpelasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan selalu menjadi alat bagi partai untuk bernegosiasi dengan presiden. Inilah risiko politik yang harus dihadapi oleh seorang presiden yang berkuasa di atas fondasi demokrasi presidensial yang dikombinasikan dengan multipartai. Karena itu, siapa pun yang menjabat presiden dalam konstruksi politik seperti ini, akan dibelenggu oleh keharusan berkompromi dengan partai-partai di parlemen.

Tantangan

Ada beberapa kompromi politik yang berpotensi besar terjadi dalam kombinasi yang rapuh ini. Kompromi ini telah dan sedang terjadi pada masa pemerintahan Yudhoyono-Kalla sekaligus akan menjadi tantangan yang cukup krusial bagi pemerintahan hasil Pemilu 2009.

Pertama, dalam proses pembentukan kabinet (termasuk reshuffle), partai politik berpotensi memangkas hak prerogatif presiden dengan melakukan intervensi. Sebaliknya presiden terpaksa lebih akomodatif untuk mengakomodasi partai politik. Pertimbangan merangkul partai politik akan menyebabkan sistem presidensial tampil dengan gaya parlementer karena presiden sering tersandera oleh permainannya sendiri dan manuver partai politik.

Kedua, kabinet yang dibentuk presiden terpilih kemungkinan besar adalah kabinet koalisi partai-partai, padahal tradisi koalisi ini bukan karakter sistem presidensial. Selain itu, proses pengangkatan menteri akan lebih bersifat transaksional ketimbang profesionalisme.

Ketiga, dukungan koalisi partai politik pendukung pemerintah tidak akan efektif. Meskipun kekuatan koalisi partai pendukung pemerintah di parlemen secara kuantitas sangat besar, ikatan koalisi tersebut akan sangat cair dan rapuh.

Keempat, kontrol parlemen terhadap pemerintah akan sangat kuat (legislative heavy), bahkan kebijakan presiden kadang sulit mendapatkan dukungan di parlemen. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan, misalnya, akan selalu menjadi alat bagi partai politik untuk bernegosiasi dengan presiden. Selain itu, pemerintahan akan selalu dibayangi oleh ancaman impeachment dari parlemen.

Kelima, terganggunya keharmonisan hubungan presiden dan wakil presiden yang berasal dari partai yang berbeda. Situasi itu akan semakin kompleks jika partai wakil presiden lebih kuat daripada partai presiden di parlemen (presiden minoritas dan wapres mayoritas).

Keenam, adanya dualisme loyalitas menteri (split loyalty) dari unsur partai politik. Satu sisi loyalitas kepada presiden, di sisi lain tetap loyal kepada pemimpin partai asalnya. Hal ini akan semakin menguat jika sang menteri adalah ketua partai atau berniat akan mengikuti pertarungan di pemilu berikutnya. Potensi pertumbukan politik di internal kabinet akan kian meruncing.

Siapa bisa?

Tampaknya, dari sekian nama calon presiden yang bakal bertarung pada pemilihan presiden 2009, kita belum mendengar satu pun di antara mereka yang memiliki konsep dan strategi yang jelas dalam menghadapi enam tantangan yang cukup krusial ini. Mestinya, siapa pun yang ingin menjadi Presiden ke depan, seharusnya telah memiliki strategi yang jelas untuk "menjinakkan" parlemen.

Karena itu, selain diperlukan penataan ulang desain konstitusi, Indonesia ke depan memerlukan kepemimpinan presiden yang tegas dan berani, yaitu presiden yang memiliki karakter politik yang kuat dan tegas, memiliki kemampuan personal dan kompromi yang baik, kemampuan membangun koalisi, kemampuan mengkonsolidasi elite partai politik, serta memiliki keberanian untuk menggunakan hak prerogatif sesuai dengan konstitusi dan jangan mau ditarik ke suasana demokrasi parlementer.

Jika seusai Pemilu 2009 kita menemukan karakter presiden itu, kita akan dengan bangga mengatakan bahwa tesis politik Juan Linz, Arturo Velenzuela, Scott Mainwaring, dan Matthew Soberg Shugart tidak terbukti di Indonesia. Kira-kira, dari sekian nama calon presiden yang bakal bertarung pada pemilihan presiden 2009, bersama (siapa) kita bisa?



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/17/Opini/krn.20090317.159772.id.html
Share this article :

0 komentar: