BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Siapa Yang Mau Tenang....

Siapa Yang Mau Tenang....

Written By gusdurian on Senin, 23 Maret 2009 | 12.55

Siapa Yang Mau Tenang....

Oleh Goenawan Mohamad *

Arus informasi berubah, juga bentuknya. Demikian juga perilaku kita. Hal ini sudah acap dikatakan dalam percaturan pendapat tentang informasi dan teknologi dewasa ini. Yang belum banyak ditilik: apa saja yag berubah ketika meninggalkan -atau kita sudah dibawa untuk meningalkan- sebuah era besar yang dimulai sejak zaman Hammurabi.

Hammurabi adalah raja keenam Kerajaan Babilonia yang hidup antara 1795-1750 Sebelum Masehi. Sebagai raja, dia mengeluarkan sebuah undang-undang yang menguraikan jenis-jenis pelanggaran dan masing-masing hukumannya. Undang-undang itu disebut "Kodeks Hammurabi", dianggap jadi dokumen tertulis paling tua yang menunjukkan hubungan antara teks dan kekuasaan.

Kodeks itu ditatah di atas batu setinggi enam kaki. Dengan memahatkannya sebagai teks tertulis, Hammurabi tampaknya hendak menegaskan bahwa hukum tersebut tak bisa diubah dan berada di atas kuasa raja mana pun yang berganti-ganti di bumi. Dikisahkan, Hammurabi mendapatkan hukum itu dari para dewa.

Inskripsi seperti itu kemudian dilanjutkan sebagai tradisi dalam cerita 10 hukum Tuhan yang dibawa Nabi Musa, tokoh yang lahir sekitar empat abad setelah Hammurabi. Seperti kemudian dilukiskan, Musa turun dari pucuk Tursina dengan membawa "tablet" atau lembaran batu tempat terpahat sederet perintah Allah.

Bisa dikatakan, itu adalah tradisi Hammurabi. Penulisan kitab suci -Taurat, Injil, dan Alquran- sebenarnya merupakan kelanjutan gagasan Babilonia itu: apa yang semula lahir dalam bentuk lisan diubah jadi tertulis, karena dengan tertulis, ada jaminan keutuhan, atau kalaupun bukan, bahkan kekekalan, stabilitas atau konsistensi makna.

Seperti halnya Alquran di masa pemerintahan Khalifah Uthman, pelbagai varian dari Alquran (yang merekam apa yang turun lewat bentuk lisan dari Nabi Muhammad), diseragamkan dalam kodifikasi.

Pada masa warisan Hammurabi itu, orang diasumsikan bisa dan harus menerima sebuah teks tertulis sebagai sesuatu yang memiliki otoritas penuh. Zaman modern melanjutkan asumsi tersebut dalam bentuk kitab undang-undang. Juga dalam persuratkabaran..

Surat kabar memang berubah secara periodik dan bukan dianggap sebagai undang-undang. Tapi tak ayal, ia menyodorkan diri sebagai yang patut dipercayai dengan kesakralan tertentu ("Fakta itu suci", demikian pemeo yang sering kita dengar), dan sang penerbit atau redaktur didudukkan sebagai penyangga wibawa kebenaran.

Maka, kita lihat para peneliti media massa, misalnya, mengadakan apa yang disebut "content-analysis". Itu bertolak dari premis yang sebenarnya tidak meyakinkan: bahwa "isi" surat kabar yang "tertulis" itu adalah semata-mata hasil sang "sumber", yakni surat kabar tersebut dan isi surat kabar tidak diasumsikan sebagai sesuatu yang juga terbentuk oleh kecenderungan yang "bukan-sumber", terutama pembacanya.

Dengan kata lain, seperti kodeks Hammurabi dan kitab-kitab suci, sebuah teks terbentuk dari satu jurusan, bukan sebagai proses interaktif antara "sumber" dan "penerima".

Baru setelah terjadi perubahan besar dalam teknologi informasi, asumsi di atas guyah-patah. Pertama, makin jelas bahwa sebuah teks bukan saja bisa hadir dengan sumber yang absen (yang sudah terdapat sebenarnya dalam kodeks Hammurabi dan kitab-kitab suci), tapi bahwa sebuah teks dapat memperoleh respons yang aktif dan dengan tafsir yang aktif itu, sebuah teks tidak dapat dikatakan bebas dari jamahan sang "penerima".

Itu sebenarnya berlaku bagi surat kabar. Sebuah koran bukanlah hanya hasil sang wartawan dan penerbit, melainkan juga hasil negosiasi mereka dengan pembaca. Terutama ketika koran harus hidup dari pembaca sebagai konsumen. Tapi, dalam teknologi informasi yang ada sekarang, yakni internet, bahkan sang wartawan atau penerbit tidak bisa mengarahkan sepenuhnya pembacanya.

Mark Poster, pemikir yang terkemuka dalam menafsirkan peran budaya dari teknologi informasi mutakhir, pernah mengemukakannya secara dramatis, "Internet memergoki kita sebagai objek yang tak seutuhnya sudah ditentukan (underdetermined); sifat objek yang plastis itu berarti ia dapat dikembangkan ke arah yang amat beragam- lebih banyak ketimbang objek lain."

Poster mencontohkan, "Dengan sebuah palu, saya dapat menanamkan paku atau memecahkan kepala orang atau melemparkannya ke dalam air hingga terjadi golak -banyak yang bisa aku lakukan dengan itu, tapi itu bukan apa-apa bila dibandingkan besarnya jumlah kemungkinan terbuka yang dibuat internet."

Apa yang hendak dicapai oleh Kodeks Hammurabi dan jenis teks yang berambisi sama -kesatuan yang diarahkan- sekarang buyar. Dengan teknologi komunikasi yang ada sekarang, orang harus siap menghadapi yang tak disangka-sangka.

Dengan demikian, wibawa yang dibawa oleh sebuah teks, juga teks suci, tiap kali terancam retak atau bahkan hancur. Dan sang sumber, sang subjek yang tak hadir, akan semakin bergantung pada respons yang terkadang sangat menyimpang dari pola biasa.

Di satu pihak, kita akan melihat demokratisasi dalam lalu lintas informasi. Hal itu tak perlu dijelaskan lebih lanjut jika kita perhatikan banyaknya koran interaktif, blog, dan website dewasa ini. Di lain pihak, memang ada kekosongan besar dalam hal kebenaran. Kekosongan tersebut bukanlah berarti tak ada kebenaran, melainkan bahwa kebenaran adalah mirip ruang luas yang menarik, yang hendak diisi pelbagai versi, berganti-ganti, tak putus-putus.

Pernah ada orang mengatakan, siapa yang mau hidup tenang jangan hidup pada abad ke-20. Kini, pada abad ke-21, ucapan itu makin benar adanya. Kita asyik, bingung, ramai, bebas, bersendiri, tapi juga berbagi dengan 1001 "yang lain". Juga yang tak terduga-duga.

*) Goenawan Mohamad, wartawan senior. Artikel ini merupakan kerja sama Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan Jawa Pos untuk mengangkat pentingnya hak masyarakat atas informasi publik.


http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: