BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Membaca Buku Sintong Panjaitan

Membaca Buku Sintong Panjaitan

Written By gusdurian on Rabu, 18 Maret 2009 | 11.18

Membaca Buku Sintong Panjaitan

Mengingat Kembali Tragedi 1997-1998

Oleh Tomy Su *

''Justice delayed is justice denied'' (William E. Gladstone, negarawan dan perdana menteri Inggris 1868-1894)

---

Bangsa ini memang mudah melupakan. Akibatnya, sosok pelanggar HAM pada masa silam tiba-tiba justru bisa menjadi idola baru bahkan panutan lewat rekayasa iklan politik. Syukurlah selalu saja ada orang yang memberi peringatan. Dia adalah mantan Panglima Kodam IX/Udayana Letjen (pur) Sintong Panjaitan yang menulis buku baru yang mengundang polemik (Jawa Pos, 14 dan 16 Maret 2009).

Dalam otobiografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang diluncurkan Rabu (11/3), banyak dibeberkan pelanggaran masa lalu. Mulai kasus Santa Cruz di Dili, Timor Timur; penculikan aktivis pada 1997-1998; hingga Tragedi Mei yang semua melibatkan TNI sebagai institusi.

Tentang kasus penghilangan paksa, misalnya. Dalam buku itu, Sintong mengungkapkan posisi mantan Komandan Jenderal Kopassus Letjen (pur) Prabowo Subianto dan keterlibatan Tim Mawar. Dia mempertanyakan tanggung jawab komando Prabowo yang mengaku tidak mengetahui operasi tersebut.

Dia juga menyatakan kesedihan terkait dengan keterlibatan dan sanksi pidana atas prajurit Kopassus yang terlibat dalam operasi tersebut. Dalam buku itu, Sintong berpendapat, perlu ditelusuri lebih jauh asal-usul perintah yang mereka emban.

Derita Korban

Apa yang diungkapkan Sintong mewakili kesedihan korban pelanggaran masa silam yang hingga kini tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan dari pemerintah atau pihak-pihak yang semestinya mau bertanggung jawab. Pemerintah SBY-JK memang tidak terlibat dalam pelanggaran HAM sebelum 1998. Tapi, seharusnya dengan perannya, siapa pelaku dan siapa yang harus bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM masa silam bisa diungkap.

Sayang, pemerintah, DPR, dan berbagai pihak yang harus bertanggung jawab, khususnya TNI, justru lebih suka melestarikan impunitas. Memang, impunitas atau bebasnya pelaku pelanggaran dari sanksi hukum menjadi masalah utama di negeri ini. Padahal, impunitas sendiri sudah merupakan sebuah kejahatan.

Begitulah dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, kini memang tidak jelas lagi batas antara yang jahat dan yang baik. Yang sudah jelas-jelas jahat, seperti menghilangkan orang atau pemerkosaan wanita-wanita Tionghoa dalam Tragedi 13-15 Mei 1998, justru dibiarkan. Membiarkan atau melindungi pelaku pelanggar HAM jelas merupakan kekeliruan atau kesalahan, dari sisi hukum maupun moral.

Sebab, kejahatan pelaku jelas bertentangan dengan semangat dasar negara ini, yakni Pancasila khususnya sila ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tindak kejahatan itu juga melanggar Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC), khususnya terkait dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Yang paling menyedihkan, teriakan korban pelanggaran HAM masa silam atau upaya keluarga korban untuk menuntut keadilan sering dibungkam. Harapan korban agar kebenaran diungkap dan kejahatan dihukum hingga kini masih belum terpenuhi. Jeritan istri Wiji Thukul, tangisan ayah-ibu Bimo Petrus dari Malang saat terjadi kasus penghilangan orang.

Demikian pula teriakan keluarga Hendrawan Sie korban Trisakti atau tangisan Sumarsih, ibu Wawan, korban Semanggi. Keinginan puluhan wanita Tionghoa korban Tragedi Mei 1998, keinginan para korban untuk melihat keadilan, kini membentur dinding impunitas lagi.

Malahan, khusus terkait dengan korban Tragedi Mei 1998, ternyata ini tidak hanya terkait dengan perempuan Tionghoa sebagai korban. Tapi, meliputi pula berbagai investor yang dulu sangat banyak dari Korsel, Taiwan, Hongkong, Filipina, maupun Thailand. Wajah mereka rata-rata hampir sama dengan orang Tionghoa, sehingga jatuhnya korban akhirnya tidak pilih bulu. Asal saja mukanya seperti Tionghoa, tidak peduli orang asing atau orang Jawa, juga jadi korban kebiadaban.

Tidak heran jika kemudian tragedi Mei khususnya diperingati di kota-kota besar Asia seperti Singapura, Hongkong, Makau, Shanghai, Taipeh, hingga Sydney atau Perth di Australia.

Tragedi Mei juga masih menjadi ganjalan dalam hubungan RI-Tiongkok. Mantan Manager of Department Dong Fang International Travel Service Guangzhou Ltd Yu Wen Hui pernah mengungkapkan, sejumlah daerah di Tiongkok masih trauma dan takut atas peristiwa seperti Tragedi Mei yang diungkap dalam buku Sintong. Akibatnya, mereka enggan berwisata ke Indonesia. Dengan makin baiknya hubungan RI-Tiongkok, diharapkan trauma itu akan menghilang.

Makna Pentingnya

Pengungkapan kasus masa lalu seperti Tragedi Mei 1998 jelas penting bagi masa depan negeri ini, khususnya dalam sektor investasi asing yang hingga kini masih sepi. Ketika berkunjung ke Tiongkok, Presiden SBY juga mencoba menarik perhatian para investor dari Negeri Tirai Bambu itu.

Berbagai analisis politik atau ekonomi sudah dibeber para pakar yang ahli di bidangnya untuk menjelaskan mengapa investor asing, termasuk dari Tiongkok, masih enggan berinvestasi di negeri ini. Salah satu faktornya adalah alasan jaminan keamanan. Dengan kata lain, mereka tidak ingin peristiwa yang disebut sebagai ''Jakarta's infamous May riots'' itu terulang.

Memang, pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu penting dilakukan. Buku Sintong bisa dijadikan rujukan. Setidaknya agar mantan petinggi militer di Indonesia berhenti berkelit. Polemik akibat buku Letjen (pur) Sintong Panjaitan seharusnya ditempatkan dalam kerangka penegakan HAM. Jangan lupa, sepanjang keadilan terus ditunda seperti selama ini lewat beragam impunitas, selama itu pula tak ada keadilan bagi para korban pelanggaran HAM.

* Tomy Su, koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia, keluarga korban Tragedi Mei 1998

http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: