BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kisah Para Pengubah Konstitusi

Kisah Para Pengubah Konstitusi

Written By gusdurian on Selasa, 31 Maret 2009 | 11.43

Kisah Para Pengubah Konstitusi

Menang di MK, Keok di Partai

Berkat perjuangan mereka, beberapa UU yang sudah disahkan berubah. Latar belakangnya berbeda-beda: pengacara, guru, politisi, hingga eks napi.

---

MEMPERJUANGKAN nasib calon anggota legislatif (caleg), dia sendiri gagal menjadi caleg. Itulah lakon hidup M. Sholeh. Pria kelahiran Sidoarjo itulah yang berhasil mendobrak sistem pemilihan anggota legislatif yang sebelumnya dinilai kurang adil karena menguntungkan pemilik nomor urut jadi.

Sebelumnya merujuk pada pasal 214 UU No 10 Tahun 2008, penentuan caleg yang lolos sering ditentukan otoritas pimpinan partai politik. Dengan cara itu, caleg yang berada di nomor jadi sangat diuntungkan. Itulah yang dianggap Sholeh tidak adil. ''Dengan sistem nomor urut, sering partai menjadi broker. Ini yang saya lawan,'' katanya.

Sholeh pun menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan, pada 23 Desember 2008, gugatannya dikabulkan. Sejak saat itu, penentuan caleg yang lolos tidak lagi menggunakan mekanisme nomor urut, tapi suara terbanyak.

Sejak saat itulah, caleg di semua nomor memiliki posisi yang sama. Artinya, baik nomor urut awal maupun buntut, sama-sama harus berjuang untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Sebab, caleg yang lolos dihitung dengan menggunakan hitungan suara terbanyak.

Saat ini, ketika semua caleg sedang berkompetisi memperbutkan kursi empuk di gedung dewan, Sholeh malah sebaliknya. Meski dianggap sangat berjasa dalam dunia politik, dia tidak bisa meneruskan tekadnya menjadi caleg dari PDI Perjuangan (PDIP). Dia dicoret dari daftar caleg karena dianggap melanggar garis-garis partai. ''Nek gela ya gela (dikatakan kecewa ya kecewa), saya gagal maju karena dijegal,'' katanya.

Sholeh akan sangat menerima dengan hati terbuka jika gagalnya menjadi caleg karena memang tidak memenuhi syarat sesuai ketetapan undang-undang. Meski demikian, dia tidak memendam dendam karena penjegalan itu.

Sejak awal, pria kelahiran 1976 itu mengaku sudah merasakan adanya ancaman namanya akan dihapus dari daftar caleg. Hanya, dia tetap berani mengambil risiko itu karena tidak ingin rakyat menjadi bulan-bulanan komoditas politik. ''Rakyat memilih, tapi yang jadi bukan yang dipilih. Itu kan tidak adil,'' jelasnya.

Yang dia pahami, penjegalan yang menimpanya bukanlah sikap partai. Sebab, PDIP yang dia kenal tidak memiliki karakter seperti itu. Jika partai memang tidak menginginkan Sholeh maju menjadi caleg, tentu DPC PDIP Surabaya yang mencabut pencalonan dia. Sebab, dia dicalonkan partai tersebut. ''Saya tidak minta dicalonkan kok,'' ucapnya.

Bahkan, saat itu ada elite di PDIP Jatim yang mengancam akan memecatnya jika melanjutkan gugatan ke MK. Tapi, Sholeh malah menantang balik dan mempersilakan untuk dipecat.

Meski dipecat, Sholeh berjanji tidak pindah ke partai lain. Bahkan, jika dia mau, saat namanya tidak lagi tercantum dari daftar caleg sementara, banyak parpol yang menawari dia untuk dicalonkan. Tidak tanggung-tanggung, Sholeh diberikan kebebasan untuk memilih nomor urut dan daerah pemilihan. Hanya, kesempatan itu tidak dia ambil. ''Kalau saya ambil, sama saja dengan kutu loncat,'' jelasnya.

Sudah bertemu dengan elite PDIP Jatim? ''Sudah,'' jawabnya. Saat itu dia bahkan dijanjikan masuk lagi dalam daftar caleg. Kenyataannya, hingga sekarang dia tetap terpental dari daftar caleg.

Meski demikian, direktur Badan Bantuan Hukum PDIP Surabaya itu tidak berkecil hati. Namun, sebaliknya, Sholeh malah mengaku bangga. Meski dijegal dari pencalonan, dia tetap bisa menunjukkan sebagai kader PDIP mampu memberikan sumbangsih untuk kepentingan caleg di Indonesia.

Keberhasilannya mengubah sistem pemilihan caleg bagi dia menjadi investasi politik yang luar biasa. ''Meski tidak bisa ikut menjadi caleg. Meski bukan saya, toh orang lain yang merasakan,'' katanya dilanjutkan dengan tertawa.

***

Gagalnya melaju ke gedung dewan, tidak membuat Sholeh jobless atau putus asa. Kini dia kembali sibuk menekuni dunia advokadnya. Saat akan diwawacarai kemarin, Sholeh harus terbang ke Bali karena akan menyidangkan kasus kliennya yang berkewarganegaraan asing. Karena itulah, dia memberikan waktu tengah malam minggu lalu sambil ngopi di sebuah warung di Surabaya.

Meski sudah menjadi sosok yang menjadi sorotan banyak orang, dia tetap berpenampilan seperti biasanya. Kaus oblong bergambarkan wajah Presiden Amerika Barrack Obama dipadukan celana jins membuat dia terlihat nyantai. Tas cangklong berbahan kulit tetap menjadi ciri khasnya sejak menjadi aktivis hingga sekarang.

Sholeh mengatakan, dirinya sekarang kembali terjun ke dunia pengacara. Beberapa kliennya yang sebelumnya sempat dikurangi saat ini mulai digaet kembali. Bahkan, sejak namanya mencuat karena gugatannya dikabulkan MK, dia semakin tersohor. Bahkan, ada warga negara Australia yang sengaja mencari dia di Surabaya untuk menangani kasus di Pengadilan Negeri Denpasar.

''Mungkin ini berkahnya. Tapi, bukan itu tujuan saya yang utama,'' katanya.

Hanya, keberhasilannya menggugat undang-undang itu membuat dia merasa investasi politiknya semakin banyak. Sebelumnya, dia banyak dikenal sebagai aktivis. Saat sebagian besar orang takut bersuara, Sholeh sudah berani mengkritik dan melawan penguasa Orde Baru. Hingga akhirnya, dia dipenjara di Lapas Kalisosok, Surabaya.

Tidak hanya itu, kiprahnya di dunia advokad juga tidak diragukan lagi. Dia juga menangani kasus-kasus yang menjadi sorotan masyarakat. Dia pernah mendampingi Sumiarsih, terpidana mati, kasus kerusuhan di Tuban, kasus buruh, dan kasus-kasus lainnya.

Ayah empat anak itu sebenarnya kurang sepakat jika dikatakan kembali ke advokad. Sebab, dia tetap mengakui bahwa advokad adalah profesinya. Sedangkan panggung politik yang akan dilaluinya adalah bentuk pengabdian, bukan tujuan pekerjaan. ''Apalagi, kalau diukur dari segi penghasilan, masih besar menjadi pengacara,'' jelasnya, lantas tertawa.

***

Ada cerita menarik saat mengajukan gugatan atas pasal tentang caleg ke MK. Sesuai ketentuan, orang yang berhak mengajukan gugatan ke MK adalah yang memiliki hak konstitusional. Artinya, saat menggugat pasal tentang caleg, yang boleh mengajukan adalah caleg.

Saat mengajukan gugatan, Sholeh masih tercatat sebagai caleg. MK pun meminta syarat tersebut. Sholeh diharuskan untuk mengantongi surat rekomendasi dari KPU Jatim. Sayang, saat kembali ke Surabaya untuk meminta rekomendasi, Sholeh sudah dicoret dari daftar caleg. ''Waktu memasukkan gugatan, saya masih menjadi caleg. Tapi, pas dipanggil lagi, saya sudah dicoret,'' jelasnya.

Rekomendasi itu sebagai bukti bahwa dia adalah caleg. Dia sempat bimbang saat itu. Jika dia jujur mengatakan bahwa namanya sudah dicoret, gugatannya dipastikan ditolak MK. Karena itulah, saat itu dia memilih berbohong dengan mengatakan bahwa KPU Jatim tidak mau mengeluarkan rekomendasi. Saat hakim MK menanyakan terus, dia pun memberikan jawaban yang sama.

Nah, saat dinyatakan menang, Sholeh baru mengatakan bahwa dirinya bukan caleg lagi. ''Saya ngomong, saya dicoret dari caleg karena mengajukan gugatan ini,'' jelasnya.

Waktu itu, saat dia prihatin karena namanya dicoret, banyak yang menyampaikan ucapan selamat. Termasuk elite PDIP Jatim yang sebelumnya mencoret namanya dari daftar caleg. ''Bagi saya, apa yang saya lakukan pasti dicatat sejarah,'' tambahnya. (eko priyono/kum)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=60480
Share this article :

0 komentar: