BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kisah Gawat dari ’Bugis’

Kisah Gawat dari ’Bugis’

Written By gusdurian on Rabu, 18 Maret 2009 | 12.03

Kisah Gawat dari ’Bugis’
Prabowo Subianto dituduh berencana menculik sejumlah jenderal. Angkatan Bersenjata segan kepada menantu Soeharto itu.
SUATU pagi Maret 1983. Markas Detasemen 81/Antiteror Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) di kawasan Cijantung, Jakarta Timur, terasa tegang. Semua prajurit yang berada di ”Bugis”—nama sandi untuk markas pasukan elite ini—siap bergerak. Mayor Luhut Pandjaitan, Komandan Detasemen 81/Antiteror, yang saat itu baru saja tiba di kantor, kaget melihat situasi genting tersebut. ”Ada apa?” ia bertanya kepada salah satu anak buahnya.

Luhut lalu mendapat laporan bahwa perintah siaga itu berasal dari wakilnya, Kapten Prabowo Subianto. ”Atas perintah Kapten Prabowo, mereka sudah membuat rencana untuk mengambil Letnan Jenderal L.B. Moerdani dan beberapa perwira tinggi lainnya,” tutur Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Panjaitan dalam bukunya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang diluncurkan di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Yang dimaksud ”mengambil” adalah menculik para jenderal.

Tak hanya itu, Prabowo juga dikabarkan mau mengamankan Presiden Soeharto ke Cijantung. Luhut, yang belakangan menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, terbelalak mendengar laporan itu. Dia langsung bergerak cepat. Semua senjata dan radio komunikasi pasukan diambil dan dikumpulkan di ruangan khusus. ”Tidak ada satu pun anggota Detasemen 81 yang keluar dari pintu tanpa perintah saya,” katanya.

Setelah memastikan pasukannya tidak bergerak liar, Luhut menghubungi Prabowo. Tak disangka-sangka, begitu masuk ruang kerja Luhut, Prabowo menarik atasannya itu keluar. ”Ruangan kita disadap,” katanya. Setelah keluar, baru Prabowo buka suara. ”Pak Benny mau melakukan coup d’etat,” katanya. ”Pak Benny” yang dimaksud Prabowo adalah Letjen Moerdani, yang saat itu menjabat Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan.

Sintong sendiri saat itu Komandan Grup 3/Sandi Yudha yang berkedudukan di Kariango, Makassar. Dia mendapat laporan pertama dari Luhut soal insiden ini. Menurut Luhut, kecurigaan Prabowo bermula dari laporan adanya pasokan gelap senjata AK-47, SKS, dan sejumlah senjata antitank dari Taiwan ke Indonesia. ”Bang, nasib negara ini ditentukan oleh seorang kapten dan seorang mayor,” kata Prabowo kepada Luhut saat itu.

Ketika itu, Kopassandha memang terlibat dalam operasi rahasia pengiriman senjata ke Afganistan via Pakistan. Operasi itu di bawah kendali Moerdani. Pelaksana lapangannya adalah anak buah Luhut dan Prabowo di Detasemen 81/Antiteror. ”Jadi seharusnya Prabowo tahu konteks pengiriman senjata itu,” kata seorang sumber Tempo.

Hubungan Luhut dan Prabowo ketika itu cukup dekat. Mereka berdua pernah dikirim khusus mengikuti pendidikan di Grenzschutzgruppe 9 (GSG9), satuan antiteror Jerman Barat, selama hampir dua tahun. Karena itulah, saat Tentara Nasional Indonesia membentuk detasemen antiteror pada akhir 1981, keduanya langsung ditunjuk sebagai pemimpin.

Luhut memutuskan membawa informasi Prabowo kepada atasannya, Wakil Komandan Jenderal Kopassandha Brigadir Jenderal Jasmin. Pertemuan itu berlangsung panas. Prabowo, yang ikut hadir, dikabarkan sempat menuding wajah Jasmin seraya mempertanyakan loyalitas komandannya itu kepada negara. Luhut sampai harus menurunkan tangan Prabowo. ”Intinya, Pak Jasmin tidak percaya kepada laporan [Prabowo],” kata Luhut, seperti dikutip dalam buku Sintong. Di akhir pertemuan itu, Jasmin memerintahkan Luhut tidak menggerakkan pasukan.

Meski perintah Jasmin sudah turun, Prabowo belum menyerah. Dia mengajak Luhut menemui Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal M. Jusuf. Siang itu juga mereka datang ke rumah Jusuf di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.

Mendengar laporan Prabowo, Jenderal Jusuf hanya memukul-mukulkan tangan ke paha kanannya sendiri. ”Bagaimana menurutmu, Luhut?” tanya Jusuf. Luhut menjawab, ”Siap, Jenderal. Saya tidak melihat tanda-tanda ke arah situ. Tapi selebihnya saya tidak tahu.”

Jusuf berjanji akan menyelesaikan masalah ini. Sorenya, dia langsung mengumpulkan sejumlah perwira tinggi di kediaman Komandan Jenderal Kopassandha Mayor Jenderal Yogie S. Memet di Cijantung, Jakarta Timur. Hadir di sana Letnan Jenderal Seno Hartono, Letnan Jenderal M. Sanief, dan sejumlah perwira berbintang lain. Rapat berlangsung singkat, tak sampai setengah jam.

Setelah mendengar penjelasan Prabowo, para jenderal itu berembuk sebentar. Keputusan mereka: tidak ada tanda-tanda Jenderal Moerdani benar-benar bakal melakukan kudeta. ”Tidak ada apa-apa. Kita anggap saja selesai,” kata Jusuf mengakhiri pertemuan.

Sepekan setelah insiden ini, kabar bahwa Detasemen 81/Antiteror bersiaga menculik sejumlah jenderal sampai ke telinga Benny Moerdani. ”Ada apa di Cijantung minggu lalu?” kata Moerdani kepada Luhut saat berkunjung ke markas Detasemen 81, akhir Maret 1983. ”Sudah selesai, Pak,” jawab Luhut.

Saat itu, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat baru saja berakhir dan Moerdani diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata menggantikan Jenderal Jusuf. Posisi Menteri Pertahanan dan Keamanan, yang semula digabung dengan pos Panglima Angkatan Bersenjata, dipegang eks Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal S. Poniman.

Prabowo, yang pertama kali menyebarkan isu gawat itu, tak mendapat sanksi apa pun meski kabar kudeta Moerdani tak terbukti. ”Angkatan Bersenjata tidak berani mengambil tindakan karena segan terhadap Soeharto, yang mungkin akan membela menantunya,” tulis Sintong dalam bukunya.


l l l
DITEMUI pekan lalu, Prabowo tertawa saat ditanyai soal drama singkat 26 tahun lalu itu. ”Benar-tidak sih kapten bisa bikin kudeta?” katanya. Dia juga mengaku sudah kenyang diisukan akan mengambil alih pemerintahan dengan kekuatan bersenjata. ”Setiap ada buku baru, saya selalu disebutkan akan melakukan kudeta,” katanya.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra dan kawan dekat Prabowo, Fadli Zon, menilai buku Sintong Panjaitan sengaja diluncurkan untuk merusak nama Prabowo menjelang pemilihan umum. ”Ini kampanye negatif,” katanya.

Sintong Panjaitan sendiri percaya kabar kudeta pada Maret 1983 itu berperan menjatuhkan karier Moerdani. ”Moerdani dituduh tidak loyal kepada Soeharto,” tulisnya dalam buku. Redupnya bintang Moerdani diikuti tersingkirnya para perwira yang dinilai sebagai ”orangnya Pak Benny”, seperti Luhut Pandjaitan dan Sintong sendiri.

Wahyu Dhyatmika, Titis Setyaningtyas, Dwi Riyanto Agustiar



http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/16/LU/mbm.20090316.LU129820.id.html
Share this article :

0 komentar: