BOLA PANAS LEMBAGA PARARDHYA
"Dari berbagai negara, King dijauhkan dari politik sehari-hari. Kalau dia masuk dalam politik sehari-hari, pasti do wrong."
Ketua tim pembuatan draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Cornelis Lay, menyodorkan buku bersampul biru dan merah kepada Tempo kemarin. Buku itu adalah pegangan pihak Departemen Dalam Negeri di DPR untuk membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta. "Saya yakin banyak yang belum membacanya. Dalam buku ini sangat jelas dan gamblang, termasuk orang yang terlibat, supaya jangan seperti orang bersembunyi dalam karung," katanya.
Konsep RUU Keistimewaan itu menjadi sorotan karena mencantumkan lembaga Parardhya untuk dua penguasa kerajaan, Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Tim ini menilai, Kesultanan dan Pakualaman harus dikeluarkan dari politik sehari-hari, sehingga tak otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur. JIP dalam draf itu menempatkan Sultan dan Paku Alam dalam politik yang lebih strategis dalam lembaga Parardhya.
Tapi DPR meminta Departemen Dalam Negeri menghapus lembaga itu, dan Sultan Hamengku Buwono X menilai tim ini salah menangkap makna Parardhya. Istilah "parardhya" itu diperoleh tim dari Sultan lewat konsultasi tim JIP di Kepatihan pada Juni 2007. Sejumlah kelompok kepentingan di Yogyakarta ngotot dan menginginkan Sultan otomatis menjadi Gubernur lewat proses penetapan.
Parardya pun menjadi bola panas di DPR dan di Yogyakarta. Tempo menemui ayah dua anak ini untuk mengurai bola panas tersebut agar duduk perkaranya lebih jelas. Berikut ini petikannya.
Bagaimana ceritanya tim Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM terlibat dalam penyusunan konsep RUU Keistimewaan Yogyakarta?
Tim bekerja mulai November 2007 dan itu terjadi secara insidental, tidak kami rencanakan. Kebetulan saya, Bambang Purwoko, dan Pratikno punya acara di Depdagri, tiba-tiba ditelepon orang Depdagri. Isi telepon mengatakan ada rencana pemaparan UU Keistimewaan Yogyakarta oleh tim Pemda Provinsi oleh Profesor Dahlan Thaib (staf ahli Gubernur DIY) di Hotel Alila, Jakarta. Sebagai warga Yogyakarta, mampirlah mendengar.
Mereka (Depdagri) menawarkan JIP ikut membantu menyempurnakan rancangan undang-undang yang ada. Pada Februari 2008, kami sangat intensif mempersiapkannya, dan seluruh dokumen jadi lima bulan kemudian.
Apa langkah awal yang dilakukan tim ini?
Kami membuat kajian mengenai pengalaman negara lain tentang praktek desentralisasi asimetris. Ada yang mempelajari khusus praktek pemerintahan kerajaan, di antaranya Malaysia, Thailand, bahkan termasuk yang sudah gagal di Tibet. Kami mengambil benang merah operasi berbagai negara, termasuk pola finansialnya, bagaimana pola pembiayaannya di kerajaan Inggris. Selanjutnya kami mengkaji sejarah Yogyakarta. Maklumat Jogja kami pelajari. Yang lainnya mulai menghimpun informasi dari para intelektual dan yang kami anggap kompeten dalam menjelaskan tentang Yogyakarta. Keluarga Kesultanan dan Pakualaman kami datangi satu per satu.
Siapa saja yang ditemui?
Ngarso Dalem kami datangi 5-6 kali. Paku Alam IX sekali. Gusti Joyo (GBPH Joyokusumo, adik Sultan HB X) dua kali. Kami juga mendatangi nama yang diusulkan Sultan. Intinya, orang-orang dari Kesultanan dan Pakualaman kami ajak ngobrol. Kami juga menghimpun informasi dari masyarakat Sleman, DPRD, Gunungkidul, Bantul, kota, dan provinsi, termasuk anggota Dewan. Kami juga mendatangi Golkar, bahkan melakukan wawancara dengan masyarakat, mulai dari tukang becak, petani, sampai tukang parkir. Total semuanya ada 300 orang.
Melalui informasi yang kami dapatkan itu, tim sepakat: Yogyakarta harus daerah istimewa. Karena alasan sejarah yang khas, legal, politik yang khas, dan justifikasi akademis, istimewa itu sesuai yang dipraktekkan dengan teori yang kami kenal desentralisasi asimetris.
Apa yang ada dalam pikiran tim ini tentang keistimewaan Yogyakarta itu?
Ada pergeseran pragmatis pada masyarakat Yogyakarta. Masyarakat berwajah ganda. Sebagian masyarakat Yogyakarta seperti tahun 40-an yang memiliki kedekatan dengan Kesultanan Yogyakarta. Tapi ada juga masyarakat yang jumlahnya kian banyak, yakni masyarakat yang sama sekali kebal dan tak punya keterkaitan dengan Kesultanan. Kami akhirnya sampai pada kesimpulan tak bisa menghentikan kecenderungan berdemokrasi. Karena itu, keistimewaan Yogyakarta itu harus juga diformat dalam penguatan demokrasi Indonesia. Ke depan, good governance tidak bisa dihindari.
Apa ide dasar lembaga Parardya?
Bagaimana mengeluarkan Kesultanan dan Pakualaman dari politik sehari-hari, tapi pada saat yang bersamaan memasukkan dia dalam bidang politik yang strategis. Konsekuensinya, Kesultanan dan Paku Alam tak otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur.
Pak Josef Riwu Kaho (salah satu anggota tim) bilang: prinsip king can do no wrong. Di berbagai negara, king dijauhkan dari politik sehari-hari. Kalau dia masuk ke dalam politik sehari-hari, pasti do wrong. Kami melihat pengalaman Inggris dan lain-lain. Maka kami membuat kesimpulan (Sultan dan Paku Alam) tak otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur.
Meski masyarakat menginginkan Sultan otomatis menjadi gubernur?
Kami pernah melakukan survei tapi tidak pernah stabil. Yang penting aman tenteram.
Apa masalahnya jika Sultan sekaligus menjabat sebagai gubernur dalam realitas politik saat ini?
kami nggak menilai saat sekarang. Tapi karena RUUK untuk menjawab masa depan, kami mulai berhipotetik. Kalau dia merangkap, bagaimana kalau suatu waktu gubernur dan wakil gubernur yang notabene sebagai Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri sebagai presiden? Apa yang akan terjadi? Bagaimana mengaturnya kalau otomatis (menjadi gubernur)? Bagaimana kalau kita punya Hamengku Buwono umurnya nol tahun, 1 tahun, gimana mengatur posisinya? Dalam lembaga parardhya kita atur, ada wali. Kalau gubernur, apa bisa melalui wali? Kalau dia karena jabatan itu seumur hidup menjadi Sultan, kalau pada usia tertentu di mana tidak mungkin menjalankan fungsi publik entah karena sakit atau daya ingat, bagaimana caranya?
Ada contoh dalam sejarah Kesultanan tentang Sultan yang masih berusia sangat muda?
Yogyakarta pernah punya tiga raja yang usianya sangat muda. Kalau jadi raja tidak persoalan, tapi kalau jadi gubernur bagaimana? Walinya siapa? Kalau otomatis itu membayangkan akan hidup itu selamanya. Padahal, HB selanjutnya ini tidak bisa diduga: bisa balita, bisa orang tua, bisa anak muda. Gimana kalau Sultannya tidak memenuhi syarat yang diperlukan menjadi gubernur. Itu hal yang mungkin bisa terjadi.
Bagaimana muncul istilah parardya?
Dalam dokumen awal yang kami bawa, istilahnya pengageng. Tapi terakhir berkomunikasi dengan Ngarso Dalem--yang keenam-kami ngobrol tentang istilah itu, beliau mengatakan istilah itu nggak pas. Karena istilah itu menggambarkan raja yang sangat jauh, nggak dekat dengan rakyat. Beliau mengatakan ada istilah lain. Ceritalah beliau ketika Suwargi (almarhum HB IX) pulang dari Belanda mengangkat lima orang pembantu utama yang menjauhkannya dari kehidupan politik sehari-hari. Lembaga ini disebut paniradhya pati. Sultan kemudian mengusulkan istilah parardya untuk posisi sultan semacam itu.
Itu cara kami memasukkan kembali kesultanan ke dalam politik yang sifatnya strategis. Kewenangan yang dimiliki (Sultan) jauh lebih kuat. Bahkan kami dikritik bahwa ini sangat feodal. Ada yang mengkritik tidak cocok dengan Jogja. Kalau itu dimunculkan oleh keraton, masuk akal. Tapi kalau dimunculkan di kampus, ini sangat feodal. Jadi kita pusing juga.
Apakah setelah draf selesai tim datang kembali ke Sultan membawa konsep parardhya itu?
kami berkonsultasi, tapi kami nggak tahu persis apakah beliau mengkaji itu.
Sultan mengatakan JIP salah persepsi tentang institusi parardhya? Komentar Anda?
Bisa saja kami salah persepsi. Tapi yang kami maksudkan itu bukan istilahnya, tetapi ada satu institusi. Soal istilah, kami sama sekali nggak keberatan. Bagi kami yang paling penting ada sebuah institusi yang memiliki atau memegang mandat, dan itu harus dijamin dengan undang-undang agar Sultan Jogja atau Pakulaman keberapa pun tetap memiliki kewenangan yang sifatnya strategis, politis dalam menentukan Jogja.
Sultan menganggap jabatan Parardhya terlalu tinggi dan Sultan merasa dijauhkan dari rakyatnya?
Kalau soal istilah, kami tidak fanatik. Mungkin kami keliru, tapi ada institusi di atas politik. Institusi itu harus mempunyai peran strategis politik sekaligus menjadi simbolisasi keseluruhan Jogja termasuk spirit, seluruh masa lalunya, dan dorongan masa depan harus melekat. Itu yang kami rumuskan.
Setelah itu ada dialog lagi dengan Sultan?
Nggak ada dialog, nggak ada waktu lagi. Memang banyak yang mempersoalkan keberadaan Parardhya. Tapi karena kami merasa memang sedang tidak mempertahankan sebutan (istilah parardhya) maka tidak penting. Kalau debat soal istilah, ya cari saja.
DPR menolak konsep Parardhya dan menghapuskan lembaga ini. Komentar Anda?
Kalau menghapus institusi yang kami rumuskan ya, artinya seluruh dokumen JIP tidak boleh dipakai. Karena ada bangunan logisnya. Ada yang tidak bisa diperbaiki, terutama soal keberadaan institusi. Dugaan saya, banyak yang tidak membaca dokumen Parardhya.
Sudah bicara lagi dengan Sultan tentang konsep Parardhya ini?
Belum lagi. Beliau tidak bisa diduga apakah setuju atau tidak. Walaupun kami pernah omong panjang dengan beliau, seluruh suasana itu kira-kira oke. Tapi kan sulit juga menggambarkan bahwa keseluruhan proses itu beliau tidak setuju. Kami berusaha sekuat tenaga perdebatan ini tidak disandera oleh persoalan politik 2009.
Usul Anda?
Sudahlah, ini ditunda dulu sampai Pemilu 2009 selesai sehingga orang dengan kepala dingin mulai. Tim JIP berpendapat, daripada menjadi korban dan disandera setelah pemilihan presiden, maka pembahasannya lebih baik ditunda.
BERNADA RURIT Cornelis Lay:
Lahir :di Kupang, 6 September 1959
Istri: Jeane Cynthia lay lokollo
Anak:
Dhiera Anarchy Rihi Lay
Dhivana Anarchia Ria Lay
Jabatan:
Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan
Wakil Dekan III Fisipol UGM
Pendidikan:
MA., International Development Studies, St. Marry's University, Halifax, Nova Scotia, Canada, 1991.
Drs, Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM, Yogyakarta, 1987.
BA, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM, Yogyakarta, 1984.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/18/Berita_Utama-Jateng/krn.20090318.159836.id.html
BOLA PANAS LEMBAGA PARARDHYA
Written By gusdurian on Rabu, 18 Maret 2009 | 10.29
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar