BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ada Udang di Balik Buku

Ada Udang di Balik Buku

Written By gusdurian on Selasa, 24 Maret 2009 | 12.18

Ada Udang di Balik Buku
Buku tentang perjalanan karier Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Panjaitan sudah disiapkan sejak dua tahun lalu. Dirancang untuk menarik perhatian.
HENDRO Subroto punya rutinitas baru sejak April tahun lalu. Setiap Selasa siang, wartawan senior Televisi Republik Indonesia itu selalu muncul di kantor Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Panjaitan, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Dua jam lamanya, Hendro mewawancarai Sintong tentang perjalanan kariernya di dunia militer. Menjelang pukul tiga sore, Hendro pamit. ”Supaya tidak kena three in one,” katanya terkekeh, ketika ditemui pekan lalu di rumahnya di Tangerang, Banten.

Rutinitas itu berakhir pada Februari lalu. Saat itu, semua hasil wawancara Hendro rampung ditulis menjadi sebuah buku berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, catatan kisah Sintong Panjaitan selama berkarier di Tentara Nasional Indonesia. Buku ini dirilis di Balai Sudirman, Tebet, Jakarta Selatan, dua pekan lalu, dan langsung ludes diserbu pengunjung. Pekan lalu, buku ini sudah memasuki cetakan ketiga dan telah terjual lebih dari 25 ribu eksemplar. ”Biasanya, penjualan satu buku baru bisa mencapai angka 10 ribu setelah setahun,” kata Hendro bangga.

Tak mengherankan jika buku Sintong diburu. Isinya memang memicu kontroversi. Di dalam bukunya, Sintong ”menembak” dua purnawirawan jenderal yang kini sedang berjuang menjadi presiden, Jenderal (Purn) Wiranto dan Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto. Buku ini juga laris karena muncul pada momen yang pas: masa kampanye Pemilihan Umum 2009.

Banyak orang lalu menduga ada motif politik di balik buku ini. Tudingan pertama tentu datang dari Partai Gerindra. Wakil ketua umum partai itu, Fadli Zon, terang-terangan menilai buku Sintong adalah kampanye negatif atas partainya. ”Saya tahu siapa di balik buku itu,” kata kawan baik Prabowo ini.

Fadli mengaku mendapat informasi tentang rencana penerbitan buku Sintong sekitar Februari lalu. ”Seorang penulis, teman saya, yang memberi tahu,” katanya. Prabowo sendiri, kata Fadli, tidak mempersoalkan buku itu. ”Pak Prabowo sudah biasa dituduh macam-macam,” katanya. Dia menilai kemunculan buku ini sebagai reaksi atas makin berkibarnya popularitas Prabowo sebagai calon presiden. ”Makin tinggi pohon, makin tinggi anginnya,” kata Fadli beramsal.


l l l
KETERLIBATAN Hendro Subroto dalam buku ini bermula dari pertemuannya dengan Sintong Panjaitan dalam sebuah acara di Jakarta, akhir 2007. ”Waktu itu Pak Sintong bercerita bahwa dia sedang mencari penulis yang bisa membukukan kisah hidupnya,” kata Hendro. Cepat-cepat dia menawarkan diri. ”Kalau Pak Sintong berkenan, biar saya saja yang menulis,” kata Hendro ketika itu. Sintong setuju.

Hubungan Sintong dan Hendro memang punya sejarah panjang. Keduanya sudah saling kenal sejak 1964, sewaktu mereka masih sama-sama meniti karier dari tangga terbawah. Dalam beberapa kesempatan, perjalanan hidup mereka beririsan. Hendro dan Sintong, misalnya, sama-sama terlibat dalam operasi teritorial membuka akses ke Lembah X, di lereng utara Pegunungan Jaya Wijaya, Oktober 1969. Ketika itu Hendro satu-satunya wartawan Indonesia yang terlibat dalam ekspedisi mendebarkan itu.

Hendro sebenarnya bukan orang pertama yang menangani buku itu. Setahun sebelum dia masuk, Sintong sudah mulai merintisnya dengan dibantu dua akademisi dari Yogyakarta. Keduanya adalah utusan antropolog Moeslim Abdurrahman.

Tim itu sudah menyelesaikan satu bab, ketika Sintong meminta proses ini dihentikan. ”Pak Sintong tampaknya kurang sreg dengan mereka,” kata Moeslim. Pasalnya, tim penulis itu tidak paham istilah dan konsep militer. Akibatnya, penulisan buku jadi tersendat-sendat. ”Kalau saja kerja tim itu lancar, mungkin buku Pak Sintong sudah siap diluncurkan pada Maret tahun lalu,” kata Moeslim.

Kenyataannya, baru pada Februari 2009, buku itu selesai. Proses penyuntingan diserahkan ke wartawan senior Kompas, August Parengkuan. Dia dipilih karena buku itu bakal diterbitkan Kelompok Kompas Gramedia. Salah satu perubahan besar yang dilakukan editor adalah memindahkan bab mengenai peristiwa Mei 1998 ke bagian awal buku. ”Awalnya, bagian itu ada di tengah-tengah,” kata Hendro. Menurut dia, pemindahan itu murni untuk kepentingan komersial, agar buku itu lebih laku. Bagian ini memang yang paling ”membara” karena menyentil Prabowo dan Wiranto. Yang pertama dituding berniat menggulingkan Habibie—presiden pengganti Soeharto—dan yang kedua dianggap tak memadamkan kerusuhan Mei 1998 karena ingin dipilih lagi menjadi Menteri Pertahanan/Panglima TNI.

Hendro mengakui bukunya masih jauh dari sempurna. ”Banyak kesalahan tulisan, kesalahan cetak, dan pengulangan,” katanya. Kesalahan itu, menurut Hendro, adalah tanggung jawab penyunting. ”Waktu untuk editing terbatas,” katanya. Penyuntingan dilakukan tergesa-gesa untuk mengejar peluncuran buku pada 11 Maret 2009.

Tenggat itu ditentukan oleh Jenderal (Purnawirawan) Luhut Binsar Pandjaitan, yang aktif membantu penulisan buku Sintong ini sejak awal. ”Tanggal 11 Maret dipilih untuk mendahului proses kampanye dan minggu tenang sebelum pemilihan umum,” kata Hendro. Kalau terlalu dekat waktu kampanye, Luhut khawatir penerbitan buku ini dituding punya motif politik. ”Eh, ternyata tudingan itu tetap saja muncul,” kata Hendro tertawa.

Luhut sendiri menolak diwawancarai. ”Lebih baik saya diam, daripada dituduh macam-macam,” katanya pekan lalu. Sintong mengambil sikap serupa. Sejak bukunya terbit dua pekan lalu, mantan Staf Khusus Presiden B.J. Habibie ini menolak semua permintaan wawancara.

Sumber Tempo menyebutkan, Prabowo sempat menemui Luhut pada Selasa pekan lalu. Dalam pertemuan itu, kepada Luhut, Prabowo mempertanyakan perihal penulisan buku tersebut. Kepada Tempo dua pekan lalu, Luhut membenarkan rencana pertemuan tersebut. Tapi belakangan ia menyatakan pertemuan itu tak jadi terselenggara.


l l l
HUBUNGAN Prabowo dan Sintong Panjaitan memburuk pada Mei 1985. Saat itu Kolonel Sintong baru saja dilantik menjadi Komandan Kopassandha menggantikan Brigadir Jenderal Wismoyo Arismunandar. Salah satu laporan pertama yang dia terima adalah soal belum terlaksananya surat perintah Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Rudini, untuk memindahkan Mayor Prabowo dari Kopassandha ke Kostrad. Sintong heran mengapa surat perintah itu tak kunjung terlaksana. Atas perintah Sintong, surat itu segera ditindaklanjuti dengan perintah pemindahan Prabowo ke Batalion 328 Raiders/Kostrad.

Prabowo, saat itu Wakil Komandan Detasemen-81/Anti-Teror, tampaknya enggan meninggalkan korps baret merah. Dia meminta waktu khusus menemui Sintong. ”Mengapa saya dipindah?” tanya Prabowo kepada atasannya. Dalam bukunya, Sintong mengaku tersinggung dengan pertanyaan Prabowo. Ia meledak. ”Selama kamu di tentara, kamu harus ikut aturan tentara,” kata Sintong tajam. ”Kalau tidak mau, kamu keluar saja dari tentara, masuk Golkar saja,” katanya lagi. ”Sejak itulah, hubungan saya dengan Prabowo, yang semula amat baik, menjadi putus,” kata Sintong dalam bukunya.

Hendro sendiri mengaku mengenal Prabowo dengan baik. Bahkan, sepekan sebelum peluncuran buku Sintong, Hendro mengaku ditelepon khusus oleh Prabowo. ”Pak Prabowo menanyakan apa benar saya sedang mempersiapkan buku mengenai Sintong Panjaitan, yang juga menyebut-nyebut peran dia,” katanya. Hendro mengaku tak ditekan oleh mantan menantu Soeharto tersebut.

Prabowo enggan dikonfirmasi. Kepada Tempo yang menghubunginya Sabtu petang pekan lalu, ia bicara singkat. ”Kita bicara soal waktu. Itu sudah masa lalu,” ujar Prabowo via telepon.

Wahyu Dhyatmika, Munawwaroh, Iqbal Muhtarom



http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/23/NAS/mbm.20090323.NAS129859.id.html
Share this article :

0 komentar: