BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » 43 Tahun Supersemar

43 Tahun Supersemar

Written By gusdurian on Rabu, 11 Maret 2009 | 12.58

43 Tahun Supersemar

Pengambilalihan Kekuasaan yang Merangkak

Oleh Endang Suryadinata *

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) adalah surat sangat sakti penuh kontroversi sekaligus berimmplikasi luas. Bahkan, pada peringatan 43 tahun Supersemar tahun ini, publik tetap mewarisi kontroversi dan memikul beban sejarah atas terbitnya surat itu, baik surat versi asli yang hingga kini tak jelas rimbanya maupun terbitnya berbagai versi yang aspal.

Seperti diketahui, si sumber masalah Supersemar, yakni Pak Harto, mangkat 27 Januari 2008. Bagaimana duduk persoalan surat itu seperti ikut terkubur bersama sosok Soeharto.

Soal saktinya Supersemar, publik sudah tahu karena dengan surat itu Soeharto merasa mendapatkan mandat atau transfer kekuasaan dari Bung Karno. Setelah menerima surat itu, Soeharto bertindak layaknya presiden. Padahal, presiden sah Bung Karno saat pelantikan Kabinet Ampera pada 28 Juli 1966 mengatakan: ''Pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Suharto. Tidak. Its not a transfer of authority to General Suharto. I repeat again, its not a transfer of authority.''

Bung Karno boleh berkata seperti itu. Tapi, kekuasaannya diam-diam dirampas Soeharto. Bahkan, agar Supersemar dinilai legitimate, Soeharto bisa bersekongkol dengan MPRS lewat Tap MPRS IX/MPRS/1966 sehinga membuat Bung Karno, si pemberi mandat, tidak bisa mencabut surat itu.

Lalu, pada 12 Maret 1967, Soeharto dilantik sebagai penjabat presiden dan setahun kemudian dilantik menjadi presiden pada 27 Maret 1968 oleh MPRS. Lalu, dia dipilih kembali oleh MPR hingga 1998.

Kudeta

Tidak heran jika Supersemar dan segala sesuatu yang dilakukan Soeharto terkait surat itu dinilai kudeta merangkak. Karena pemegang kekuasaan sah Presiden Soekarno perlahan tapi pasti bisa disingkirkan, lalu dikarantina dalam keadaan sakit hingga Bung Karno wafat dalam kesepian pada 20 Juni 1970.

Terkait Supersemar, sejarawan atau pakar hukum tata negara sepakat menyebut apa yang dilakukan Pak Harto dan pihak di luarnya, seperti MPRS, ibarat kudeta atau peralihan kekuasaan yang tidak konstitusional.

Teman saya asal Talun, Blitar, mendiang Prof Dr Suwoto Mulyosudarmo, juga sudah membahas hal itu secara lebih detail dalam disertasinya di Unair pada 1990 yang berjudul Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoretis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara.

Cara Pak Harto mengemas kudeta memang amat lihai. Bahkan, semasa berkuasa (1966-1998), Pak Harto dengan amat cerdik bisa mendikte publik, termasuk sejarawan, dengan menciptakan kesan betapa misteriusnya keberadaan naskah Supersemar. Ada yang bilang naskah asli di tanan M. Jusuf. Tapi, mantan Pangab yang wafat 2004 itu mengatakan, naskah asli berada di tangan Soeharto sendiiri. Berbagai versi pun diciptakan, sementara naskah aslinya hingga hingga tetap tidak diketahui.

Machiavellian

Kelihaian Soeharto dalam mengemas kudeta lewat Supersemar serta segala tindakannya sesudah memegang dan meraih kekuasaan mengingatkan saya kepada pemikiran dasar Niccolo Machiavelli tentang politik. Filsuf berdarah Yahudi bernama Italia yang hidup pada 1469-1527 itu sangat diagungkan para diktator dan politisi yang doyan menghalalkan berbagai cara, seperti tampak dari karya abadinya, Il Principe.

Sebenarnya, lewat karya-karyanya, Machiavelli layak disebut sebagai peletak dasar ilmu politik dan pemikir awal yang mendorong terjadinya proses sekularisasi (desakralisasi) politik. Tapi, publik termasuk para diktator atau politisi banal negeri ini (mungkin Pak Harto) menyukai tafsir Machiavelli sebagai penganjur politik menghalalkan semua cara. Dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, segala cara bisa ditempuh, mulai dengan berbohong hingga membunuh (buku Il Principe).

Kalau kita menyimak 32 tahun kekuasaan Pak Harto, praksis (teori dan praktik) politik yang machiavellian dengan mengabaikan etika atau moral memang amat menonjol. Semua hal terpusat pada Soeharto dan bagaimana kekuasaannya bisa dilanggengkan di tangannya.

Memang, ada pemilu atau parpol. Tapi, semua diskenario demi menunjukkan kepada publik dunia seolah dia seorang demokrat. Padahal, tak ada demokrasi. Media pun dibungkam. Penyingkiran lawan politik seperti pembuangan ke Buru, penembakan misterius (petrus), dan penculikan aktivis mahasiswa mengabaikan etika. Martabat manusia bisa dikorbankan demi kekuasaan. Tidak heran, korupsi dan KKN lain tumbuh subur pada era Pak Harto.

Ke depan kita tidak bisa mengharapkan perubahan signifikan jika para politisi dan pemegang amanat rakyat masih melakukan praksis politik yang machiavellian seperti Pak Harto.

* Endang Suryadinata, peminat sejarah Indonesia-Belanda, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam


http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: