BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Saya Calon Presiden, Bukan Calon Wapres

Saya Calon Presiden, Bukan Calon Wapres

Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 12.35

Sultan Hamengku Buwono X:
Saya Calon Presiden, Bukan Calon Wapres
DIA dilahirkan dari garis darah raja-raja Yogyakarta. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, adalah sultan terpandang, negarawan yang dihormati, dan pernah menduduki sejumlah kursi terpenting birokrasi tinggi Indonesia: Wakil Perdana Menteri (1966), Wakil Presiden (1973-1978).

Kini, Pangeran Mangkubumi—anak sulung HB IX—yang naik takhta sebagai Sultan Hamengku Buwono X pada Maret 1989 mulai menapaki jejak Sultan sepuh almarhum. Dia merintis jalan ke lingkaran tertinggi Republik. Bedanya, Hamengku Buwono X hanya sudi membidik satu kursi: Presiden Indonesia.

Raja Yogya itu belum meyentuh garis ”pragmatisme” dalam pernyataan politiknya. Dan masih bertahan pada pilihan all or nothing. ”Saya calon presiden, bukan calon wapres,” dia menegaskan kepada Tempo, pekan lalu. Jika tidak ada dukungan menjadi presiden? ”Yo ora opo-opo,” ujarnya.

Toh, silaturahmi Sultan dengan Megawati, calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, melahirkan tanda tanya yang deras, memicu tebak-kancing banyak kalangan. Dia rajin pula menyambangi partai-partai lain. Maka Muladi, anggota Dewan Penasihat Golkar, menganggapnya telah melanggar garis partai dan meminta Sultan keluar dari Golkar.

Apa pun pernyataan resmi Sultan, hawa ”perjodohan politik” Mega-Buwono telah meruap, menyusul pertemuan kedua tokoh itu di Jakarta maupun di Istana Yogya. Tapi sang Sultan menepisnya begini kepada Tempo: ”Kami hanya omong-omong. Ibu Mega anak siapa, saya ini anak siapa, kami harus sama-sama menjaga nama baik orang tua dengan mengabdi.”

Di sela-sela kesibukannya, Sultan menerima Lusia N. Idayani dan Bernarda Rurit dari Tempo untuk wawancara khusus, yang kemudian dituliskan kembali oleh wartawan Tempo Agus Supriyanto. Perbincangan hangat dan rileks berlangsung di ruang tamu kediamannya di Keraton Kilen Yogyakarta, pada Jumat malam pekan lalu. Didampingi dua pendukungnya, Bondan Nusantara dan Dadang Yulianto, Sultan menghabiskan dua batang rokok merek Keraton, selama 90 menit pertemuan.

Berikut ini petikannya:

Anda terlihat semakin dekat dengan Megawati?


Saya tidak tahu. Saya sudah kenal lama sekali dengan dia.

Ketika beliau jadi wakil presiden dan presiden, komunikasi kami tetap secara pribadi. Ini kekerabatan individu. Beliau juga lahir di Yogya.
Jadi, belum ada kesepakatan?


Kami hanya omong-omong, belum final. Kita sama-sama paham Ibu Mega anaknya siapa, saya anaknya siapa. Bagaimana bapak kami berdua berkontribusi untuk negara. Mestinya anak-anak menjaga nama baik orang tua dengan memberi kontribusi maksimal bagi bangsa ini. Hakikatnya, mengabdi.
Apa saja yang sudah dibicarakan?


Bu Mega mengatakan PDI Perjuangan membutuhkan pemimpin nasional, bukan pemimpin partai politik. Berarti tidak mementingkan subyektivitas entah dirinya entah partainya. Negara kita ini kan presidensial. Ini bisa berjalan smooth kalau pemimpin tak lagi menjadi pembina dan pemimpin partai. Begitu pula menterinya.
Apa kriteria partai yang Anda harapkan mendukung Anda?


Semua partai sah, yang penting deal di dalam negosiasi. Koalisi itu kan ada kesepakatan, tidak mungkin waton (asal) mendukung. Hanya kita sering tidak bisa membedakan politik dan kebudayaan. Jangan semua ditafsirkan sebagai hubungan politik.
Apa bedanya politik dan kebudayaan?


Nek mung (bila) ngomong politik tok, tidak bicara peradaban, aku mung diapusi (hanya dibohongi). Jadi politik omong kosong. Dalam hubungan kemanusiaannya bagaimana? Misalnya, pemerintah memu-tuskan memberi orang miskin bantuan tunai langsung. Itu keputusan politik karena dianggarkan dalam APBN. Nah, perilaku membantu orang miskin itu aplikasi kebudayaan. Jika membantu orang miskin lalu bicara tentang politik, podo wae (sama saja) money politic dong.
Soal money tadi, Anda tidak menganggapnya penting?


Yo, mesti nganggo duit to. (Ya, tentu saja menggunakan uang). Naik mobil saja butuh bensin. Tapi soal ukuran kan relatif. Contohnya begini. Kalau Anda datang ke sini, siapa yang membiayai? Kan Anda sendiri. Tapi, kalau saya menyuruh orang menjemput Anda, berarti saya harus mengeluarkan duit. Tapi ini kan tidak. Jadi, beban biaya yang saya tanggung relatif lebih kecil.
Maksudnya, para pendukung Anda membiayai diri sendiri?


Ya, karena mereka punya harapan sama. Bahwa karakter saya sama dengan harapan mereka. Saya ke daerah-daerah itu hanya keluar ongkos hotel dan transpor karena mereka yang mengundang saya. Kalau saya punya tim sukses, saya harus membiayai segala keperluan di daerah-daerah. Kalau perlu yang datang saya bayari, saya beri uang transpor. Kita membangun kepercayaan: kalau rakyat percaya sama saya, kita bisa membangun kebersamaan. Perkara jadi atau tidak itu masalah lain.
Apakah sampai sekarang Anda belum menjalin kesepakatan dengan satu pihak pun?


Belum, karena kalau saya lakukan berarti mendidik yang tidak baik. Dan bertentangan dengan garis imajiner Keraton-Tugu, Keraton-Krapyak untuk membangun masyarakat. Pendekatan saya kebudayaan, peradaban, bukan materi.
Sejumlah politikus mendesak Anda keluar dari Golkar. Apa komentar Anda?


Lho, saya ini tetap kader Golkar. Ini semua proses politik, Golkar pun ada proses politik, menentukan pilihan nanti setelah pemilu. Saya melakukan manuver karena saya sudah mendeklarasikan jadi calon presiden. Selama saya tidak pindah kepengurusan ke partai lain, jadi tidak perlu dipersoalkan.
Benarkah Jusuf Kalla melarang Anda menjadi calon presiden?


Enggak mungkin. Saya sudah kirim surat (tentang pencalonan menjadi presiden), setelah 28 Oktober tahun lalu. Surat itu sudah dijawab. Dan Bapak Jusuf Kalla menyatakan bisa memahami. Kalau ada yang komentar seperti itu kan jealous saja.
Jadi, Anda akan terus di Golkar?


Yang menyuruh saya mundur itu kan maunya tidak ada kompetisi di Golkar. Mungkin orang-orang itu sudah antre jadi menteri. Kalau saya tidak ada di situ, otomatis mengurangi satu lawan politik pada waktu nominasi.
Mengapa Anda tetap di Golkar tapi aktif mencari dukungan dari partai lain?


Karena saya kader Golkar. Kalaupun dicalonkan partai lain, itu tak melanggar ketentuan. Mengapa saya harus memilih partai lain? Ada bupati, gubernur kader Golkar dicalonkan partai lain juga tidak masalah. Lha, terus masalahku ki opo? Sampai sekarang PDI Perjuangan kan cuma membuat kriteria. Umum sekali, siapa pun boleh.
Anda tetap ingin jadi calon presiden?


Deklarasi saya ini calon presiden, bukan calon wakil presiden. Saya beranalisis, wakil presiden itu produk koalisi. Tidak mungkin tanpa koalisi. Artinya, akan terjadi kristalisasi dalam proses membentuk koalisi: siapa akan jadi wakil presiden, siapa akan masuk kabinet. Akan terjadi negosiasi.
Mungkinkah Anda dicalonkan PDI Perjuangan sebagai presiden, bukan wakil?


Kita tidak bisa mengatakan itu sekarang. Setelah 9 April akan mengerucut. Partai yang memperoleh suara 24,5 persen sama artinya dengan yang mendapat 5 persen. Belum cukup memenuhi syarat 25 persen sehingga harus koalisi. Di situ akan terjadi tawar-menawar karena yang jadi presiden hanya satu, wakilnya juga satu.
Bagaimana kalau Anda tak cukup mendapat dukungan sebagai calon presiden?


Ya enggak apa-apa.
Anda akan mundur dari pencalonan?


Itu bisa terjadi. Bisa juga saya minta maaf karena tidak mampu membangun harapan. Tidak masalah, berarti rakyat memang tidak menghendaki. Saya tidak mau mengejar kekuasaan. Kalau tidak diberi kesempatan, yo ora popo (ya tidak apa-apa). Saya dididik oleh orang tua, kekuasaan tidak diperebutkan. Jadi, dari awal saya tidak membentuk partai politik untuk menjadi sekoci dan tidak membuat tim sukses.
Di mana basis kekuatan Anda?


Kalau itu closed, he-he-he.... Itu sama saja membuka rahasia dapur. Ada pengamat bilang Sultan hanya dikenal di Yogya dan sekitarnya. Saya malah terima kasih. Berarti dia enggak ngerti apa yang terjadi. Saya berharap para politikus mengecilkan saya.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/02/NAS/mbm.20090202.NAS129421.id.html
Share this article :

0 komentar: