BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Renungan Hari Pers Nasional

Renungan Hari Pers Nasional

Written By gusdurian on Senin, 09 Februari 2009 | 11.37

Renungan Hari Pers Nasional

Oleh Sirikit Syah

Amplop Media di Tahun Pemilu

Baru saja KPU memasukkan anggaran Rp 1,09 miliar untuk pos honorarium peliputan media. Ini pun hanya sebagian dari anggaran Rp 4,7 miliar untuk anggaran peliputan dan dokumentasi Pemilu 2009 yang dibuat oleh KPU.

Pertanyaannya, mengapa KPU menganggarkan biaya peliputan? Bukankah peliputan media bukan wilayah kerja KPU, melainkan tugas rutin pers?

Mungkin terjadi kesalahan pembahasaan. Mungkin maksudnya biaya penyebarluasan informasi, sosialisasi, sarana media centre, dan sejenisnya. Kalau ini, masuk akal dan mudah diterima. Tetapi, memberi honor kepada wartawan untuk peliputan media? Benar-benar membingungkan.

Tak hanya membingungkan, ini polusi bagi integritas wartawan. Wartawan yang terus-menerus diingatkan untuk menegakkan kode etik, di antaranya dilarang menerima amplop, oleh KPU malah diiming-imingi honor meliput! Jangan-jangan pers cuma dipakai namanya, tetapi anggarannya akan dibelokkan atau dibocorkan ke mana-mana. Korps berpotensi wartawan dikorup.

Memang istilah "amplop" ini agak sumir. Wartawan nakal sering berkata: "Kami tidak terima amplop. Amplopnya kami kembalikan, isinya saja kami bawa." Ada juga wartawan canggih yang tak pernah bersinggungan dengan ''amplop'', namun nomor rekening banknya sudah di tangan sekretaris narasumber di pos peliputan. Wartawan baik-baik juga sering kebingungan ketika menerima suvenir bolpoin, payung, atau ditraktir makan di restoran mewah. "Ini amplop atau bukan ya?" demikian hati nurani mereka bertanya.

Kesalahannya terletak pada pembahasaan tentang ''amplop'' di berbagai Kode Etik Jurnalistik. KEJ versi Dewan Pers 2006 pasal 6 menyebutkan: "Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap." Narasumber dapat dengan mudah meyakinkan bahwa ''amplop'' pemberiannya bukan suap, karena dia tak memaksakan pemuatan. Wartawan juga yakin dia tidak menyalahgunakan profesinya, karena laporannya tidak terpengaruh oleh ''amplop'' pemberian narasumber.

Kode Etik Jurnalistik versi AJI juga mengandung kesalahan serupa. Pasal 14 menyebutkan: "Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan". Ada penjelasan dari kata "sogokan", yaitu "semua bentuk pemberian berupa uang, barang, dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik".

Kalimat ini juga kurang tegas karena ada unsur ''memengaruhi''. Artinya, bila wartawan tidak terpengaruh, pemberian bukan sogokan. Kode Etik Ikatan Jurnalis Televisi Indoensia (IJTI) berbunyi, "Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apa pun berkaitan dengan profesinya".

Menurut pantauan penulis atas berbagai versi kode etik jurnalistik, KEJ PWI boleh dikata yang paling jelas maksudnya. Wartawan Indonesia, menurut Kode Etik PWI, tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang dapat menguntungkan atau merugikan suatu pihak.

Kalimat ini sering saya jadikan landasan pemahaman tentang makna ''amplop'' di dunia pers. Hanya ada dua jenis ''amplop'' yang secara tegas dapat dilarang, yaitu ''amplop'' perintah pemuatan dan ''amplop'' pelarangan pemuatan. Yang pertama biasanya digunakan untuk promosi diri, propaganda, atau black campaign kepada pihak lawan. Yang kedua digunakan untuk mencegah tersebarnya skandal, untuk menyembunyikan kebusukan.

Berkaitan dengan proses pemilu, ''amplop'' tak hanya menggoda wartawan ujung tombak yang bertatap muka dengan narasumber dan subjek pemberitaan. ''Amplop'' lebih besar tentu saja masuk ke wilayah iklan, yang dilegalkan UU Pemilu dan tidak melanggar kode etik apa pun.

Di sinilah akan terjadi tarik ulur antara divisi iklan dan divisi redaksi. Ada kemungkinan isi iklan berbeda dengan fakta lapangan, yang berarti tidak sinkron dengan isi berita.

Bila dikatakan pemilu tahun ini akan terjadi banyak pemborosan, sebagian besar anggaran itu terserap di media massa, khususnya di ranah iklan. Oleh sebab itu, jelas kurang beralasan bila KPU menambah anggaran dengan honor liputan. Ini pemborosan uang rakyat yang luar biasa. Pelaku media massa mestinya mewaspadai dan bersikap kritis atas anggaran-anggaran yang diatasnamakan mereka.

Baru saja kita dihadapkan pada fakta adanya daftar anggaran bagi wartawan di lingkungan Dinas Perhubungan yang diduga korupsi. Disebutkan terdapat sekitar 14 wartawan yang menerima amplop Rp 10 juta setiap bulan, dengan kisaran Rp 500 ribu sampai Rp 750 ribu per wartawan.

Tentu kita tak boleh begitu saja menuduh para wartawan terlibat korupsi. Pertama, daftar itu belum tentu asli. Bisa saja aspal, yaitu namanya asli tapi tanda tangannya dipalsukan. Praktik semacam ini banyak dilakukan di lingkungan kantor pemerintahan, dan pernah penulis alami sendiri semasa menjadi wartawan pada 80-an. Waktu itu terbukti tanda tangan wartawan dipalsukan oleh seorang kepala humas.

Bagaimanapun, dengan pengalaman mengenyam kebebasan pers selama sepuluh tahun, penulis percaya dan optimistis bahwa wartawan Indonesia semakin meningkat kualitasnya.

Kalau dulu wartawan seangkatan penulis tidak pernah belajar berbuat salah -karena sebelum salah sudah disemprit oleh Bakortanasda, yakni banyaknya pencegahan pemuatan alias sensor- wartawan masa kini banyak melakukan kesalahan, dan itu amat baik bagi penempaan kualitas mereka. Mereka babak belur dikecam korban kesalahan pemberitaan, bahkan digugat di pengadilan, atau diancam dengan kekerasan.

Benturan-benturan semacam ini mendewasakan wartawan Indonesia. Mudah-mudahan persoalan klasik tentang ''amplop'' ini segera punah dari ranah pers Indonesia. Ujiannya sekarang: Tahun Pemilu Indonesia 2009.

* Sirikit Syah, pengajar jurnalistik dan analis media di Surabaya.

http://jawapos.com/


Senin, 09 Februari 2009 ]
Catatan Hari Pers Nasional

Wartawan Perjuangan yang Murni dalam Lima Tahun

Oleh : Dahlan Iskan

PEMBACA koran naik drastis di Amerika Serikat, tapi pembeli koran turun drastis. Demikian juga ''pemirsa laptop'' naik drastis dan pemirsa tv turun drastis. Untuk kali pertama dalam sejarah media, pelantikan Barack Obama sebagai presiden ke-44 AS pada 21 Januari lalu lebih banyak ditonton lewat laptop daripada lewat pesawat televisi.

Naiknya pembaca koran lewat internet dan meningkatnya pemirsa laptop untuk peristiwa besar telah menyusutkan pendapatan iklan kedua jenis media itu. Belum ada usul bagaimana mengatasi ancaman terhadap televisi itu, tapi mulai ada wacana agar perusahaan koran yang mengalami kesulitan keuangan akibat krisis global ini juga di-bailout oleh pemerintah AS. Apalagi, di AS amat terkenal kredo ''lebih baik tidak ada pemerintah daripada tidak ada koran". Kalau perusahaan mobil saja di-bailout, mengapa pilar demokrasi ini tidak.

Perkembangan lain, TV lokal di AS kini mulai bisa mengalahkan jaringan nasional -khususnya untuk tv berita. Ini karena berita yang nasional-nasional akan menjadi garapan empuk jaringan internet yang dengan lebih mudah ditonton di laptop. Sedangkan naiknya pembaca koran secara elektronik menimbulkan kesulitan besar: pembaca membayar bukan kepada perusahaan koran, melainkan ke provider internet.

Perusahaan koran belum menemukan cara yang memadai untuk mendapatkan penghasilan dari hasil perubahan cara baca itu. Memang berita koran -terutama dari koran yang reputasinya baik- lebih dipercaya daripada sumber yang bukan dari koran, tapi tetap saja pengguna internet telanjur terbiasa sejak awal dulu bahwa sesuatu yang di internet itu gratis. Padahal, untuk mendapatkan kepercayaan bahwa ''berita koran itu lebih bisa dipercaya" memerlukan biaya. Kelak, kalau semua pembaca koran tidak mau membayar ongkos untuk melahirkan ''berita koran lebih dipercaya" itu? Dari sinilah awalnya mengapa ada wacana bailout untuk surat kabar. Bahkan, sudah ada yang mewacanakan bahwa surat kabar itu kelak dianggap saja sama dengan rumah sakit atau universitas: universitasnya demokrasi dan rumah sakitnya demokrasi. Atau, mungkin mirip rumah sakit yang sekaligus teaching university. Koran bisa seperti RS Tjiptomangunkusumo atau RS dr Sutomo.

Belum ditemukannya bagaimana cara ''membayar" itu antara lain karena selama ini memang tidak pernah dipikirkan. Kalau toh terpikirkan, barulah yang caranya juga tradisional: siapa yang mengakses koran harus berlangganan. Ini tidak efektif karena psikologi isi internet itu gratis. Baru sekarang ini, sekarang ini, bingung. Yakni, setelah terjadi krisis finansial global yang ternyata juga melanda perusahaan surat kabar AS.

Grup surat kabar terkemuka di dunia Chicago Tribune sudah menyatakan bangkrut. Bisa dibayangkan nasib koran yang lebih lemah. The New York Times yang begitu hebat, sedang di ambang jurang yang sama. Utangnya yang hampir jatuh tempo mendekati Rp 40 triliun, sedangkan dana yang siap baru Rp 4 triliun. The New York Times mengalami krisis dana cash yang luar biasa besar.

Mengapa selama ini tidak dipikirkan cara yang ampuh untuk menghubungkan agar pemanfaatan isi koran lewat internet itu bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan koran? Jawabnya jelas: perusahaan koran sudah seperti perusahaan pada umumnya: "mabuk" pasar modal.

Perusahaan koran berlomba mengumumkan semakin tingginya angka hit terhadap koran mereka. Kian banyak orang mengklik kian bangga -meski itu mencerminkan semakin dijauhinya koran edisi cetak mereka. Dengan menggalakkan edisi on line, perusahaan koran itu sebenarnya sudah mendorong agar pembaca meninggalkan edisi cetak. Bertahun-tahun dorongan itu dilakukan dan hasilnya sangat ''baik": kian banyak orang yang pindah ke on line. Baik menurut ukuran ekonomi saat itu.

Dengan tingginya angka hit sebuah koran, performance mereka di pasar modal semakin baik. Harga sahamnya pun naik drastis. Kenaikan harga saham setiap tahun inilah yang dikejar. Mengejar kenaikan harga saham melalui peningkatan hit di on line lebih mudah daripada memperbesar sirkulasi surat kabar. Usaha memperbesar sirkulasi koran secara tradisional sangatlah sulit: pelaksananya bukan hanya harus pintar, tapi juga harus bekerja keras. Termasuk bekerja keras mengeluarkan keringat di pasar sejak pukul 03.00. Dari segi pemasaran, perusahaan koran tidak ada bedanya dengan tukang sayur: sudah harus ada di pasar sejak sebelum subuh. Sedangkan meningkatkan ''sirkulasi" koran lewat on line meski juga harus pintar, tapi lebih mudah: bisa dikerjakan di ruang AC dengan tidak harus bercucuran keringat. Kalau bisa meningkatkan harga saham dengan cara mudah, mengapa harus melakukannya dengan cara susah payah? Toh, sistem ekonomi pasar di AS saat itu memungkinkan berkembangnya ekonomi yang tidak perlu riil seperti itu dengan penuh gairah.

Itulah gairah yang ''memabukkan". Maka, ketika tiba-tiba terjadi krisis keuangan dan hal-hal yang tidak riil tidak bisa lagi dijual, bangunan megah itu ternyata seperti rumah-rumahan dari styrofoam: terbang terbawa angin ribut. Ketahuanlah bahwa jumlah pembaca koran yang naik terus itu sebenarnya diikuti dengan turunnya oplah. Iklan pun merosot drastis. Pengguna on line sudah telanjur dibiasakan tidak membayar. Harga saham koran seperti New York Time terjun bebas: kini sudah mendekati kategori junk bond.

Di Indonesia belum ada koran raksasa yang mengalami kesulitan -karena selama ini mereka itu sebenarnya memang belum pernah benar-benar jadi raksasa. Belum ada koran raksasa yang terjun ke pasar modal. Baru ada tiga koran yang masuk bursa: TEMPO, Republika dan -melalui induk perusahaannya- Seputar Indonesia. Performa harga saham dua koran pertama tidak pernah tinggi -dan karena itu tidak bisa anjlok.

Sedangkan performa koran ketiga sulit dinilai karena yang masuk bursa bukan koran itu sendiri, melainkan induknya.

Boleh dikata, belum ada perusahaan koran di Indonesia yang "mabuk" pasar modal. Sudah ada memang yang baru ingin mau ''mabuk", tapi sudah keburu ada krisis: Jawa Pos. Jawa Pos sudah lama mempersiapkan diri masuk pasar modal, tapi selalu ditunda karena ragu-ragu akibat baik-buruknya.

Koran di Indonesia juga masih punya waktu kira-kira lima tahun untuk menghadapi ancaman on line itu. Mengapa lima tahun? Jawabnya ini: akhir tahun depan pembangunan Palapa Ring tahap pertama selesai. Yakni, penanaman jaringan fiber optic sejauh 3.000 km di banyak kota di Indonesia. Dengan jaringan fiber optic yang demikian luas, koridor untuk on line sangat leluasa. Akses internet akan mengalami percepatan yang menggila. Apalagi, kalau Palapa Ring sudah terbangun sempurna lima tahun lagi. "Jalan tol" di bawah tanah itu akan jauh meninggalkan kelancaran jalan tol yang di atas tanah.

Lima tahun ke depan ini adalah tahap yang amat menentukan bagi koran di Indonesia. Maju atau mati. Karena itu, Hari Pers Nasional yang diperingati hari ini menyisakan pertanyaan besar: bagaimana wartawan bisa tetap hidup bersama korannya. Wartawan akan terus hidup, tapi akankah dia kerja gratisan untuk pembacanya di on line? Jangan-jangan itulah saatnya yang disebut era wartawan perjuangan, yakni wartawan yang berjuang menegakkan keadilan, kebenaran dan demokrasi, membela yang tertindas, membongkar kejahatan termasuk korupsi, dan melakukan kontrol sosial yang kuat -tanpa jelas siapa yang harus memberi gaji setiap bulan. Kalau itu terjadi, itulah baru yang disebut "wartawan perjuangan" yang murni.

*) Selain sebagai Chairman Jawa Pos Group, Dahlan Iskan adalah ketua umum SPS Pusat (Serikat Penerbit Surat Kabar). Catatan ini menyambut Hari Pers Nasional 2009 yang diperingati hari ini.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=51308
Share this article :

0 komentar: