Peta Golput di Jateng
Oleh Agust Riewanto
TIDAK lama lagi, pemilu legislatif akan berlangsung pada 9 April 2009. Salah satu persoalan yang kini dicemaskan banyak kalangan dalam hajatan lima tahunan itu adalah kemungkinan rendahnya angka partisipasi publik dalam pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Jateng.
Kecemasan terhadap tingginya angka golput di Jateng dalam pemilu mendatang amat beralasan, mengingat sepanjang etape pemilu secara langsung digelar di negeri ini —mulai dari Pilpres 2004 dan Pilkada 2005-2008— angka golput cukup tinggi. Bahkan di sejumlah daerah, perolehan suara golput mengalahkan perolehan suara calon terpilih.
Dalam Pemilihan Gubernur Jateng 2008, misalnya, sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap adalah golput. Sementara pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih, sang pemenang yang dicalonkan PDI Perjuangan, hanya meraih 43,44 persen suara (KPU Jateng, 2008). Perolehan suara pasangan ini terpaut sedikit sekali dari jumlah golput.
Bahkan dalam pilkada di Pati, jumlah orang yang tidak memilih sekitar 48,20 persen dari total pemilih sebanyak 951.840 orang (KPU Kabupaten Pati, 2006). Di Kabupaten Jepara, dari jumlah pemilih 779.630 orang, yang tidak memilih sekitar 44,93 persen (KPU Kabupaten Jepara, 2007).
Dipastikan, fenomena tingginya angka golput ini akan membayangi pada Pemilu Legislatif 2009 di Jateng. Paling tidak terdapat tiga tipologi golput di provinsi ini, yakni golput ideologis, golput politis, dan golput pragmatis.
Golput Ideologis
Golput ideologis adalah golput yang dilatarbelakangi sikap penolakan atas apa pun produk kekuasaan khususnya, dan sistem sosial politik pada umumnya. Tipologi ini pada umumnya lahir dan berkembang dengan sikap sinis dan kecurigaan yang sangat berlebihan terhadap politik.
Tipologi golput ideologis sering dihinggapi perasaan bahwa politik adalah sesuatu yang kotor, sehingga harus dihindari. Masyarakat sinis lahir dari pengalaman dan pemahaman bahwa pemerintah dan elit politik, baik tingkat pusat maupun daerah, selama ini tidak mampu melakukan perubahan sosial politik yang signifikan bagi perbaikan nasib rakyat banyak.
Dalam Pemilu 2009, kemungkinan ancaman tipologi golput ideologis akan ditebarkan oleh kelompok masyarakat yang memiliki akses pengetahuan dan wacana sosial politik. Lewat teks dan konteks yang diketahuinya, kelompok ini dihadapkan pada realitas politik yang didominasi praktik-praktik tak terpuji. Misalnya korupsi yang kerap dilakukan secara telanjang oleh elit politik daerah, hingga menggiring mereka menjadi sinis terhadap dunia politik.
Tipologi masyarakat ini tumbuh subur di kota-kota, termasuk di kalangan mahasiswa, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) kritis, dan ormas-ormas yang sama sekali tidak ada ikatan kultural maupun historis dengan partai politik (parpol) peserta pemilu.
Golput Politis
Golput politis dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Yang dapat digolongkan dalam tipologi ini adalah masyarakat yang umumnya terjebak pada lingkaran alienasi, yaitu perasaan terasingkan dari politik atau pemerintahan. Massa alienasi cenderung berpikir bahwa pemerintahan dan politik hanya dilakukan oleh dan untuk orang lain.
Kelompok ini merasakan dan memandang berbagai kebijakan elit politik atau pemerintah tidak lagi bersesuaian dengan sikap dan pemikiran politiknya atau kepentingan rakyat banyak yang tengah diperjuangkannya. Mereka memandang lingkaran elite politik tidak mengalami perubahan yang signifikan. Kelompok alienasi juga bisa berasal dari elemen masyarakat, yang menjadi korban kebijakan politik pemerintah yang sedang berkuasa.
Pendeknya, tipologi golput ideologis dan politis ingin menegaskan rasa kebosanan yang luar biasa terhadap realitas politik. Mereka merasa bahwa pemilu hanya sekadar rutinitas politik yang tak akan mengalami keberanjakan dan perbaikan sistem sosial dan politik.
Di mata mereka, pemilu tak ubahnya hanya sandiwara politik yang dikemas secara prosedur demokrasi. Sebab, hakikatnya, pemilu hanya akan menguntungkan secara politik dan ekonomi elit politik, namun tetap menyengsarakan rakyat jelata. Karena tak berhasil mengubah nasib hak ekonomi, politik, hukum dan budaya.
Belum lagi melihat banyak aktor politisi dari partai politik daerah yang hanya terjebak dalam perebutan kekuasaan politik lokal, serta melupakan kerja-kerja pemberdayaan dan pembelaan (advokasi) kepada publik daerah. Sehingga ada kesan rakyat daerah hanya diperas suaranya dalam pemilu, dan melupakan nasibnya setelah pemilu.
Golput Pragmatis
Golput pragmatis muncul berdasarkan kalkulasi rasional, bahwa keberadaan pemilu dan aktivitas memilih tidak akan berdampak lebih baik pada diri pemilih. Salah satu kelompok masyarakat yang memberi saham terhadap lahir dan berkembangnya golput pragmatis ini adalah masyarakat yang terjebak pada apatisme.
Apatisme adalah sikap masyarakat yang masa bodoh dan tidak mempunyai minat atau perhatian terhadap orang lain, keadaan, serta gejala-gejala sosial politik pada umumnya. Kelompok apatisme menganggap aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, sehingga sama sekali tidak terangsang untuk beraktivitas di dunia politik. Sikap itu muncul karena mereka sama sekali tidak memahami hakikat politik sesungguhnya.
Dalam Pemilu 2009, kemungkinan ancaman golput dari kelompok ini bisa ditebarkan oleh masyarakat berpendidikan rendah seperti masyarakat miskin kota, tukang becak, pedagang asongan, buruh, dan petani. Kelompok apatis yang memilih golput juga bisa muncul dari masyarakat berpendidikan tinggi yang tak peduli sosial politik, termasuk kelompok masyarakat yang sudah terlalu asyik dengan profesi dan kekayaan yang diraihnya dari sektor-sektor yang tidak bersentuhan secara langsung dengan politik.
Di samping masyarakat apatis, kelompok lain yang turut memberi saham penting bagi munculnya golput pragmatis adalah masyarakat yang terjebak pada sikap anomic, meminjam istilah sosiolog Emile Durkheim (1987). Anomic adalah perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah dan pegangan.
Dipastikan, fenomena tingginya angka golput ini akan membayangi Pemilu Legislatif 2009 di Jateng. Paling tidak terdapat tiga tipologi golput di provinsi ini, yakni golput ideologis, golput politis, dan golput pragmatis.
Kecenderungan ini muncul ketika norma-norma sosial yang selama ini disepakati dan dijabarkan dalam suatu masyarakat mengalami kelonggaran, kegoyahan, dan kehilangan fungsinya yang efektif. Wujud dari sikap anomi bisa muncul pada hilangnya konsensus dan solidaritas sosial, sehingga timbul disorganisasi sosial. Kelompok masyarakat yang terjebak sikap anomi pada umumnya cenderung merasa paling benar dan mau menang sendiri.
Pemetaan atas tiga tipologi golput di Jateng ini mengajarkan pada semua pemangku kepentingan (stake holders), terutama KPUD, parpol, caleg, LSM, pers, dan pemerintah daerah untuk cerdas dalam mendesain aneka cara yang taktis dan strategis agar sejak dini melakukan sosialisasi dan penguatan kapasitas kelembagaan.
Semua itu perlu dilakukan untuk meminimalkan angka golput di Jawa Tengah. Sebab fenomena golput sesungguhnya adalah tanggung jawab dari semua elemen di Jateng. (32)
—Agust Riewanto SAg SH MA, ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sragen, dosen Politik dan Hukum Tata Negara STAIN Surakarta.
http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=51730
Peta Golput di Jateng
Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 11.00
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar