BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Dalih Psikologis 'Saudara Tua'

Dalih Psikologis 'Saudara Tua'

Written By gusdurian on Senin, 16 Februari 2009 | 11.21

Dalih Psikologis 'Saudara Tua'
Suara fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat terbelah soal siapa yang seharusnya menyidik tindak pidana umum yang dilakukan tentara. Dalam sidang 12 Februari 2009, suara pendukung sikap pemerintah lebih besar dari yang bersikap sebaliknya. Apa sebenarnya dalih utama pemerintah meminta agar penyidiknya tetap polisi militer, bukan polisi? Inilah ulasannya.
Untuk pertama kali suara Panitia Khusus DPR Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer terbelah serius menghadapi pemerintah. Dalam pemandangan umum fraksi pada Kamis lalu, menyikapi pemerintah yang mengusulkan penyidikan tindak pidana umum yang dilakukan TNI dilakukan oleh polisi militer, bukan polisi, lima menyatakan mendukung, empat menolak. "Saya kaget melihat hasil itu," kata Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer Andreas Parera.

RUU Peradilan Militer merupakan salah satu warisan legislasi DPR periode 1994-2004. Rancangan ini disepakati untuk dijadikan usul inisiatif DPR. Inti dari undang-undang ini adalah anggota TNI akan diperlakukan seperti warga sipil jika melakukan tindak pidana umum, seperti melakukan kekerasan, pencurian, perampokan, dan sederet tindakan kriminal lainnya: diproses dengan hukum acara sipil. Ini bagian dari penerapan prinsip persamaan di depan hukum.

Konsekuensinya, tentara harus disidik polisi (serta jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus korupsi), dituntut jaksa, dan diadili di pengadilan negeri. Ini berbeda dengan aturan sebelumnya. Dengan dasar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, semua tindak pidana yang dilakukan tentara, tak peduli itu mencuri atau desersi, disidik oleh polisi militer, dituntut oleh oditur militer, dan diadili di Mahkamah Militer.

Bagi DPR, kebutuhan untuk melakukan amendemen terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 bukan semata karena "warisan" legislasi dari Dewan sebelumnya. Menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan, Nursjahbani Katjasungkana, amendemen ini merupakan satu paket regulasi reformasi dan profesionalisme TNI. "Setelah keluar dari politik, keluar dari bisnis, sekarang giliran TNI diminta menyerahkan yurisdiksi pengadilannya pada sipil untuk tidak pidana umum," katanya. Menurut dia, Undang-Undang Peradilan Militer ini merupakan "pilar" terakhir yang direformasi.

Tapi nasib pembahasan soal penting ini tak semulus yang dikira--meski ini tak sepenuhnya mengherankan. Menurut Direktur Utama Institute for Defense, Security, and Peace Studies Mufti Makarim, rancangan ini dinilai akan mengurangi sejumlah privilese yang dimiliki TNI di masa lalu.

Fakta soal pembahasan rancangan itu memang menguatkan dugaan-dugaan ini. Dalam rapat pada 2 Februari 2006, pemerintah dan DPR sepakat untuk langsung masuk ke pasal-pasal krusial, yaitu soal soal kewenangan peradilan militer serta koneksitas. DPR dan pemerintah punya keyakinan, jika dua soal ini beres, sekitar 300 pasal lainnya tinggal mengekor.

Dalam usulan pemerintah, substansi pasal 9 tetap sama seperti Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997. Prinsipnya, peradilan ditentukan oleh subyek hukumnya. Artinya, semua tindak pidana yang dilakukan militer diadili di pengadilan militer. Pemerintah juga mengusulkan pengadilan koneksitas, yang biasanya digunakan untuk mengadili perkara yang melibatkan orang sipil dan militer, tetap dipertahankan.

Panitia Khusus DPR satu kata soal ini. Dalam rapat 9 Februari 2006, semua fraksi kompak menolak usulan pemerintah. Pemerintah juga tak mau kalah. Pada rapat berikutnya, 16 Februari 2006, giliran pemerintah yang bersikap sama. Klop. Pembahasan yang sudah mulai dilakukan tahun sebelumnya, dengan lebih-kurang 17 kali rapat dan pertemuan, akhirnya berujung di jalan buntu.

Melalui sejumlah lobi dan pertemuan, keduanya kembali ke meja rapat. Pemerintah akhirnya menawarkan kompromi: penyidikannya tak dilakukan polisi, melainkan dilakukan polisi militer. Alasannya psikologis. Dalam sebuah pertemuan, wakil dari pemerintah mengatakan polisi adalah saudara muda dari saudara tua Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Pemerintah khawatir, jika polisi diberi kewenangan menyidik tentara, akan memperparah bentrokan di antara keduanya.

Dalam soal inilah sikap fraksi terbelah. Dalam sidang 12 Februari 2009, sikap Fraksi Golkar, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Demokrat, Fraksi Bintang Reformasi, dan Fraksi Partai Damai Sejahtera berada di kubu pemerintah, sedangkan fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi PDI Perjuangan, dan Fraksi Partai Amanat Nasional di sisi sebaliknya: tetap polisi yang harus menyidik tentara yang melakukan tindak pidana umum.

"Sulit dibayangkan ada polisi menggeledah tangsi militer," kata juru bicara Fraksi Golkar, Afifuddin Thaib, membela argumentasi pemerintah. Juru bicara Fraksi Partai Amanat Nasional, Azlaini Agus, menepis alasan itu. Menurut Azlaini, adanya hambatan faktor psikologis sehingga penyidik polisi enggan memproses anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana umum, "Hanya asumsi."

Penjelasan cukup gamblang soal alasan "psikologis" dari sikap resistan tentara disampaikan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Marsekal Muda Sagoem. "Masak saudara muda mau memeriksa saudara tua," ujarnya. Polisi dan tentara, kata Sagoem, pada dasarnya berasal dari satu rumah. Jika diibaratkan sebuah keluarga, polisi adalah saudara bungsu tentara. "Ibaratnya dia anak keempat, anak yang paling kecil," ujarnya.

Menurut dia, alasan psikologis ini bukan sesuatu yang direka-reka. Secara institusi, kata dia, TNI bisa menerima bila memang undang-undang menentukan tentara harus disidik polisi. "Tapi perorangan di tentaralah yang belum bisa menerima itu," ujar Sagoem.

Andreas menilai sikap pemerintah yang minta penyidiknya dari polisi militer itu sebagai sebuah perubahan sikap yang lebih maju. Sebelumnya tak bersedia diadili di peradilan umum, kini berkompromi dengan meminta agar penyidiknya tetap polisi militer, bukan polisi. Menurut dia, "kemajuan" ini juga yang jadi pertimbangan sejumlah fraksi yang mendukung sikap pemerintah. Ia mengibaratkan "dua pertiga" dari tentara sudah bersedia mengadopsi peradilan umum. "Tinggal sepertiganya yang belum," kata dia.

Namun, ia tak setuju dengan alasan psikologis yang disampaikan pemerintah. "Itu alasan klasik," kata dia. Ia mengingatkan bahwa TNI adalah organisasi yang diikat oleh komando. Prajurit, kata Andreas, akan ikut jika komandannya memberi perintah. Ia mempertanyakan ketegasan sikap Presiden sebagai panglima tertinggi tentara soal ini. Menurut dia, menjadikan polisi militer sebagai penyidik akan membuat inkonsistensi dalam penerapan sistem hukum. "Kita ingin perubahan seluruhnya," kata dia.

PDI Perjuangan dan sejumlah fraksi yang menolak usulan pemerintah menilai proses penyidikan sangat penting bagi penyelesaian soal pidana umum. "Penyidikan itu bahan utama bagi penuntutan dan pengadilan," kata Andreas. Hasil penyidikan sangat menentukan baik-buruknya penuntutan, juga putusannya.

Mufti Makarim sependapat dengan Andreas. Menurut dia, alasan yang dipakai Sagoem tak tepat. Menurut dia, yang lebih tak siap sebenarnya adalah "saudara tua", bukan saudara muda. Ia menyitir pernyataan Kepala Kepolisian RI Sutanto yang menyatakan polisi siap menerima amanat itu jika diberikan undang-undang. Mufti percaya polisi bisa melakukannya. Ia merujuk pada kasus pembunuhan Munir, yang menyeret sejumlah pejabat Badan Intelijen Negara, meski hasilnya kurang memuaskan.

Menurut Mufti, masyarakat sipil khawatir, jika penyidiknya tetap dari kalangan polisi militer, akan kembali melahirkan impunitas--seperti praktek umum peradilan militer di masa lalu. Ia menyebut sejumlah kasus, antara lain kasus pengadilan terhadap Kopassus yang melakukan penculikan aktivis. Trauma praktek peradilan militer di masa lalu, yang relatif tertutup dan tak mudah diakses, membuatnya dinilai kurang memuaskan korban yang mencari keadilan. Abdul Manan | Titis Setyaningtyas | Dwi Riyanto

Jalan Alot RUU Peradilan Militer

24 Mei 2004 DPR sepakat menjadikan amendemen Undang-Undang Peradilan Militer sebagai usul inisiatif.

22 Juni 2005 DPR mengesahkan usul inisiatif RUU Peradilan Militer.

28 Juni 2005 DPR membentuk Panitia Khusus.

Februari 2006 Pembahasan terhadap RUU Peradilan Militer dimulai. Pemerintah dan DPR tak menemukan kata sepakat soal yurisdiksi peradilan militer dan pengadilan koneksitas.

16 Maret 2006Pembahasan deadlock. Pemerintah ingin tentara yang melakukan tindak pidana umum tetap diadili di pengadilan militer, fraksi-fraksi berpendapat di peradilan umum.

1 November 2006 DPR mengirim surat kepada Presiden soal macetnya pembahasan RUU Peradilan Militer.

22 November 2006DPR menggelar rapat panitia khusus dan mengutus dua anggota untuk melobi pemerintah. Menanggapi surat Dewan, Presiden menyatakan tentara tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

24 Januari 2007Pertemuan Menteri Pertahanan dan Panitia Khusus menyepakati pasal mengenai tindak pidana umum yang dilakukan tentara akan diubah.

22 Februari 2007Fraksi di DPR meyakinkan Juwono agar tak mengaitkan pemberlakuan RUU Peradilan Militer dengan revisi empat undang-undang lain—Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Dalam rapat di awal bulan, ada pembicaraan untuk melakukan amendemen terhadap empat undang-undang itu.

27 Juni 2007Pemerintah mengajukan Daftar Inventaris Masalah RUU Peradilan Militer. Sampai September, pemerintah dan Dewan masih berbeda pendapat tentang siapa yang berwenang menyidik tentara yang melakukan tindak pidana umum.

Desember 2007Dewan meminta pemerintah memperbaiki usulan tentang masa transisi pemberlakuan UU Peradilan Militer, revisi empat undang-undang lain, dan kewenangan penyidikan. Pemerintah menyampaikan perbaikan pada Februari 2008.

16 Oktober 2008Suara DPR terbelah menanggapi penjelasan pemerintah yang mengusulkan penyidikan dilakukan oleh atasan hukum tentara. Pemerintah juga meminta, sebelum undang-undang ini diberlakukan, empat undang-undang lain diubah.

12 Februari 2009RUU Peradilan Militer kembali dibahas dan suara DPR terbelah soal apakah polisi militer atau polisi yang berhak menyidik tentara yang melakukan tindak pidana umum. TITIS SETYANINGTYAS



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/16/Nasional/krn.20090216.156967.id.html
Share this article :

0 komentar: