BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Citra dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Citra dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Written By gusdurian on Kamis, 12 Februari 2009 | 12.47

Citra dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Nunik Maharani Maulana

Director & Senior Partner Kiroyan Partners
Bencana alam, baik dengan sebab alamiah atau akibat perilaku manusia, kian kerap mengintai di mana-mana. Indikator sederhananya adalah pemberitaan yang dilansir dan ditayangkan media massa cetak, digital, radio, dan televisi.

Di musim hujan, misalnya, banjir dan tanah longsor menjadi headline dan isu harian. Di musim kemarau, kebakaran merajalela, terutama kebakaran hutan, yang membuat negara-negara jiran ikut terimbas asap, yang mencemari udara, mengganggu kesehatan, serta menghentikan sejumlah aktivitas sosial dan produktivitas ekonomi.

Di Indonesia, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tegas menyatakan: "Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana." Pada Pasal 6 disebutkan tanggung jawab itu meliputi seluruh aspek terkait, mulai pengurangan dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan hingga ke aspek yang tak langsung terkait dengan keselamatan jiwa dan harta benda, yaitu pemeliharaan arsip atau dokumen otentik serta kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Tapi benarkah seluruh beban berat berkaitan dengan seluruh aspek antisipasi, penanggulangan, dan perlindungan terhadap bencana menjadi semata tanggung jawab pemerintah? Jawabannya adalah "tidak", karena keselamatan manusia dan peradabannya sesungguhnya menjadi tanggung jawab semua pihak, terutama yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melakukannya.

Berpaling ke CSR

Salah satu pihak yang memiliki kapasitas dan kapabilitas itu adalah kalangan dunia usaha, yang karena berbagai aspek--terutama teknis, akses, dan dana--bahkan dalam banyak kasus, lebih berdaya dan mumpuni dibanding pemerintah. Apalagi tanggung jawab ini, berkaitan dengan perkembangan konsep terbaru dunia usaha dalam operasinya, menjadi sangat relevan dan faktual. Kata kuncinya adalah "tanggung jawab sosial perusahaan" atau yang populer dengan corporate social responsibility (CSR).

Di antara banyak definisi, salah satunya adalah dari Bank Dunia (2008), yang menyatakan CSR sebagai "komitmen bisnis untuk berperilaku etis dan berperan serta dalam pembangunan berkelanjutan dengan bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan guna memperbaiki kehidupan mereka dengan cara yang bermanfaat bagi bisnis, agenda pembangunan berkelanjutan, serta masyarakat umum".

CSR di Indonesia memang baru menjadi isu penting tiga-empat tahun terakhir. Sebaliknya, di sejumlah negara maju, khususnya Eropa dan Amerika, banyak korporasi yang telah menjadikan CSR bukan hanya sebagai komitmen manajemen dan strategi perusahaan, melainkan juga budaya perusahaan.

Kalangan dunia usaha, sebagaimana yang dipaparkan Ira Jackson dan Jane Nelson dalam Profits with Principles (2004), telah berevolusi dan makin menyadari bahwa tujuan utama perusahaan pada akhirnya lebih dari sekadar menciptakan keuntungan. Perusahaan modern, menurut mereka, antara lain dituntut memberikan nilai tambah secara sosial bagi masyarakat dan lingkungan serta harus mampu menciptakan nilai-nilai baru melalui kemitraan dengan para pemangku kepentingannya.

Bukan hanya citra

Lalu bagaimana dengan bencana, terutama yang secara langsung terkait dengan para stakeholder? Berkaitan dengan komitmen dan implementasi CSR, yang menurut konsep arus utama adalah tanggung jawab etis dan moral, langkah strategis apa yang dapat diambil oleh kalangan dunia usaha?

Menjawab pertanyaan itu, yang terlebih dulu harus dipahami adalah area tindakan yang terkait dengan bencana. Respons terhadap bencana dapat dibagi menjadi dua. Pertama, tanggap darurat (emergency response), yaitu upaya yang dilakukan segera setelah terjadi bencana untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban, harta benda, evakuasi, dan pengungsian. Kedua, penanggulangan bencana (disaster management), yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan, sebelum, saat, serta sesudah terjadi bencana, mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan.

Karena CSR adalah kesukarelaan, komitmen dan implementasinya sebagai strategi perusahaan agar kompetitif dan sustainable, pencegahan dan pemulihan bencana dapat dibagi dalam dua pendekatan utama. Pertama, internal, yang meliputi adanya standard operation procedure, benchmark (komitmen perusahaan terhadap isu lingkungan), serta budaya perusahaan terhadap perlindungan lingkungan. Kedua, eksternal, berupa edukasi (sebagai tindakan pencegahan), engagement berkaitan dengan disaster management, dan partisipasi teknis dalam bentuk volunteerism (sukarelawan, termasuk employee volunteerism).

Dua pendekatan tersebut, bila dilakukan terencana, terstruktur, dan terintegrasi dengan seluruh strategi perusahaan, akan menempatkan perusahaan pada proses yang bermuara pada pencapaian maksimal kinerja CSR-nya. Sebab, perusahaan yang sungguh-sungguh ingin menerapkan pendekatan etis dan moral dalam operasinya, menurut Dale Neef dalam Managing Corporate Reputation and Risk: A Strategic Approach (2005), setidaknya akan melewati empat fase: reaktif, public relations, CSR di tahap awal, dan akhirnya CSR di level yang maksimal serta efektif.

Tanggap darurat bencana yang dikelola tepat guna-tepat sasaran dan dikomunikasikan dengan efektif adalah fase reaktif dan kemudian public relations. Sedangkan penanggulangan bencana, yang merupakan tindakan menyeluruh, yang menjadi bagian integral dari strategi perusahaan, adalah fase tertinggi, yaitu komitmen dan implementasi CSR yang maksimal dan efektif.

Bahwa komitmen dan implementasi CSR yang maksimal dan efektif akan menghasilkan citra positif bagi perusahaan adalah keniscayaan sepanjang konsep ini dilaksanakan sebagaimana substansinya. John Doorley dan Helio Fred Garcia (2007) dalam Reputation Management: The Key to Successful Public Relations and Corporate Communication menggambarkan: "Reputasi adalah hasil akhir dari kinerja dan perilaku yang konsisten, yang kemudian secara konsisten pula dikomunikasikan ke tengah publik."

Bagi para praktisi komunikasi, pada akhirnya apa yang dikemukakan Alison Theaker (2001) bahwa "Public Relations is about reputation--the result of what you do, what you say and what others say about you," harus diterjemahkan secara utuh. Dengan kata lain, kinerja dan pencapaian yang baik sama pentingnya dengan mengkomunikasikannya. Demikian pula, kinerja dan pencapaian yang baik tidak akan memberi nilai tambah jika tidak diketahui publik.

Dan yang terpenting dari kinerja serta upaya mengkomunikasikannya ke publik untuk membentuk reputasi positif, agar tercipta citra yang mendukung keberlangsungan operasi perusahaan, adalah: komunikasi (atau PR) dalam bentuk dan upaya apa pun tidak dapat menggantikan atau menutupi kinerja yang buruk. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/11/Opini/krn.20090211.156430.id.html
Share this article :

0 komentar: