BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bintang Baru dari Negeri Ginseng

Bintang Baru dari Negeri Ginseng

Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 12.54

Perppu: Kreativitas yang Keliru

Monday, 02 February 2009
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberlakukan mekanisme suara terbanyak dalam penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih dinilai berimplikasi pada terbatasnya peluang kaum perempuan.Benarkah demikian?


Apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun pemerintah melalui perppu dapat mengintroduksi kebijakan afirmatif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan? UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif sebenarnya relatif lebih maju dalam kebijakan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan dibandingkan UU sebelumnya.

Pasal 55 ayat (2) UU tersebut menggarisbawahi bahwa setiap tiga orang (bakal) calon terdapat sekurang- kurangnya satu perempuan (bakal) calon. Akan tetapi perlu segera dicatat bahwa amanat UU Pemilu Legislatif sebenarnya adalah kebijakan afirmatif untuk meningkatkan persentase perempuan minimal 30% dalam daftar caleg yang diajukan setiap partai politik (parpol) peserta pemilu.

UU yang sama tidak mengatur kebijakan afirmatif bagi perempuan dalam mekanisme penetapan caleg. Dengan kata lain, sejak awal desain UU No 10 Tahun 2008 tidak mengatur otoritas KPU untuk menetapkan satu dari tiga caleg terpilih berasal dari perempuan.

Kreativitas yang Keliru

Oleh karena itu,inisiatif KPU yang hendak mengatur keharusan bagi parpol peserta pemilu memberikan satu dari tiga kursi legislatif yang diperolehnya bukan hanya tidak sesuai dengan amanat UU Pemilu, melainkan juga mendistorsi mekanisme suara terbanyak yang diputuskan MK.Apalagi sangat jelas bahwa ruang lingkup tanggung jawab KPU bukanlah menciptakan regulasi baru di luar aturan main pemilu yang diamanatkan UU.

Tanggung jawab KPU terbatas pada pengaturan teknis pemilu sebagai operasionalisasi dari amanat UU Pemilu, termasuk keputusan MK yang merupakan koreksi konstitusional terhadap sebagian materi UU. Kreativitas KPU untuk menerjemahkan UU jelas diperlukan agar proses penyelenggaraan pemilu lebih menjamin tegaknya prinsip kebebasan memilih,kesetaraan kesempatan bagi parpol peserta pemilu, serta berlangsungnya pemilu yang demokratis, fair, dan damai.

Namun jika kreativitas KPU tidak mencakup ruang lingkup tugas pokok, fungsi,dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemilu, jelas hal itu merupakan suatu kekeliruan yang perlu dikoreksi. Di tengah buruknya kinerja KPU dewasa ini yang diperlukan bukanlah kreativitas yang keliru, melainkan kesungguhan para anggota mengoptimalkan segenap pikiran dan energi untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilu yang semakin dekat. Itu artinya KPU perlu melihat kembali fokus dan prioritas agendanya sesuai jadwal dan tahapan pemilu yang telah dibuat sebelumnya.

Perppu Juga Keliru

Dalam perkembangan mutakhir, KPU mengusulkan agar kebijakan afirmasi untuk meningkatkan peluang keterpilihan caleg perempuan diterbitkan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu).Ironisnya,sejumlah pihak, termasuk pemerintah dan beberapa anggota DPR, merespons positif gagasan ini, padahal tidak ada “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai prasyarat utama penerbitan perppu seperti diamanatkan oleh konstitusi.

Karena itu penerbitan perppu bukan hanya berpeluang digugat kembali melalui judicial review oleh para caleg pria terpilih yang berhak (atas dasar keputusan MK sebelumnya),melainkan justru bertentangan dengan materi UU No 10 Tahun 2008 yang sama sekali tidak mengatur kebijakan afirmasi dalam penetapan caleg terpilih.

Pertanyaannya, apakah pemerintah dapat mengintroduksi materi hukum baru melalui perppu jika hampir tidak ada argumen konstitusional yang mendukungnya? Peningkatan keterwakilan politik perempuan, termasuk melalui penetapan caleg terpilih, jelas menjadi komitmen kolektif bangsa kita.

Terbatasnya jumlah kaum perempuan di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif patut menjadi keprihatinan kita sehingga diperlukan kebijakan afirmasi untuk meningkatkan representasinya. Namun tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan hal itu dapat ditempuh melalui cara atau prosedur yang cenderung melanggar hukum.

Apabila sejak awal UU No 10 Tahun 2008 hanya mengatur kebijakan afirmasi dalam rangka peningkatan persentase caleg yang diajukan parpol peserta pemilu, introduksi afirmasi yang sama tidak bisa dilakukan dalam konteks penetapan caleg terpilih. Keputusan MK menggarisbawahi bahwa penetapan caleg terpilih melalui mekanisme suara terbanyak tidak memerlukan revisi UU ataupun perppu.

Apalagi jika perppu yang dimaksudkan itu tak hanya mendistorsi kembali keputusan MK, tetapi juga merupakan materi hukum baru yang jelas-jelas tidak diatur dalam UU No 10 Tahun 2008.

Tambal Sulam

Kecenderungan KPU untuk memanfaatkan “jalan pintas” perppu untuk menutupi ketidakmampuan memahami tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemilu jelas patut disesalkan. Kecenderungan demikian bukan hanya menjadikan berbagai regulasi pemilu tambal sulam, melainkan juga cenderung menciptakan ketidakpastian hukum bagi segenap pemangku kepentingan pemilu.

Komitmen yang besar terhadap peningkatan keterwakilan politik kaum perempuan tidak serta-merta membolehkan KPU,pemerintah,atau siapa pun menghalalkan prosedur hukum yang akhirnya menciptakan pelanggaran sistemik terhadap UU itu sendiri.

Karena itu yang diperlukan saat ini bukanlah kreativitas hukum yang keliru seperti rencana penerbitan perppu kebijakan afirmatif perempuan dalam penetapan caleg terpilih, melainkan mendorong KPU bekerja lebih serius atas dasar aturan main pemilu yang telah ada. Terlalu berisiko bagi bangsa kita membiarkan KPU menciptakan berbagai kreativitas yang bukan hanya keliru, tetapi juga berpotensi melanggar UU.(*)

Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/209921/
Share this article :

0 komentar: