BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Zainal Arifin Mochtar: Tragedi Legislasi di Negeri Korupsi

Zainal Arifin Mochtar: Tragedi Legislasi di Negeri Korupsi

Written By gusdurian on Kamis, 29 Januari 2009 | 10.50

Oleh Zainal Arifin Mochtar Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM Yogyakarta H INGGA bulan terakhir 2008, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah melakukan beberapa blunder legislasi. Sebut saja Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), UU Mahkamah Agung (UU MA), serta UU Mineral dan Batubara (UU Minerba). Di belakangnya, berderet beberapa UU yang memiliki napas yang kurang lebih sama, yakni kontroversial. Termasuk juga di antaranya beberapa UU yang berkaitan dengan agenda perpolitikan nasional 2009. Bahkan, jika alat analisis ditambahkan dengan jumlah perkara judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), jumlahnya boleh jadi semakin bertambah.
Satu hal yang paling terlihat adalah minimnya partisipasi publik ataupun minimnya adopsi popular will dalam pembuatan UU. Sekadar mencontoh, penolakan mahasiswa atas UU BHP ditanggapi dingin oleh parlemen.

Penolakan masyarakat luas atas UU MA malah makin memacu keinginan DPR untuk menyelesaikan UU tersebut.

Teriakan kemungkinan buruk yang terjadi melalui UU Minerba hanya menjadi angin lalu bagi DPR. Me ngapa ini terjadi?

Quasi bikameral Konsep yang diusung oleh model lembaga parlemen kita yang dua kamar (bicameralism) adalah konsep representasi politik dan ruang (daerah). DPR mewakili partai politik, sedangkan Dewan Per wakilan Daerah (DPD) merepresentasikan perorangan yang berbasis di daerah. Namun dalam proses legislasi, konstitusi dan UU Susduk memosisikan DPR menjadi 'kamar utama', sedangkan DPD hanya menjadi 'kamar kecil'. Keduanya sangat tidak berimbang. DPD menjadi lembaga perwakilan di sistem dua kamar, tanpa wewenang legislasi yang berarti.

Di sinilah salah satu petaka legislasi bermuara. Model kamar yang tidak seimbang ini menjadikan DPR dapat bertindak 'sesuka hati', 'setengah hati', 'tidak berhati-hati' ataupun 'tanpa hati' dalam proses legislasi. Karena praktis, dalam proses legislasi prapengesahan oleh presiden, DPR tidak mendapatkan penjagaan. DPR tanpa checks and balance intraparlemen.

Sesungguhnya, mutu legislasi dapat diperbaiki melalui checks and balance dengan kamar kedua. Konsepnya adalah "two eyes better than one eye". Melalui mekanisme checks and balances intraparlemen, diharapkan ada pengawalan substantif atas pelaksanaan kewenangan DPR oleh DPD. Model representasi ruang ala DPD juga meniscayakan adanya keterlibatan representasi lain selain dari representasi politik yang diusung oleh anggota DPR.

Artinya, selain mengecil karena yang terlibat lebih banyak hanya repre sentasi politik, UU yang diusung ini juga kehilangan penjagaan oleh kamar kedua.

Padahal, kedua hal tersebut tentu PATA AREADI nya merupakan aspek penting dalam konsep legislasi yang melibatkan dua kamar.

Quasi perwakilan Konsep perwakilan dalam model legislasi yang mengecil karena hanya melibatkan lebih banyak partai politik daripada representator daerah, semakin mengecil melalui konsep pemilihan umum legislatif yang kita anut di tahun 2004. Penggunaan nomor urut sebagai faktor penting terpilihnya seseorang menjadi anggota legislatif memberikan dampak bahwa sosok pemilik suara terbanyak (didukung oleh mayoritas pemilih) belum tentu menduduki kursi di Senayan.

Padahal, mafhum kita ketahui bahwa model pemilu seperti itu lebih banyak menegakkan oligarki partai ketimbang demokrasi partai. Orang yang dekat dengan penentu kebijakan partai mendapatkan nomor urut atas dengan kemungkinan terpilih lebih besar daripada yang lain. Meski didukung oleh masyarakat, belum memberikan kepastian terpilih. Karena itu, orang-orang yang terpilih belum tentu orang yang diinginkan oleh rakyat. Tetapi, lebih banyak merupakan orang-orang yang menduduki jabatan penting dalam or ganisasi partai, ataupun orang yang disenangi oleh elite partai.

Legislasi koruptif Parlemen yang memberikan model keterwakilan sangat kecil ini diimbuhi lagi dengan sosoksosok koruptif dan manipulatif, semakin menepikan keterwakil an rakyat dalam proses legislasi. Ada dua hal yang berpengaruh melalui jenis legislasi koruptif ini.

Pertama, legislasi yang ter jadi melalui penyuapan politik (political bribery) memberikan makna tersendiri terhadap UU yang dibuat. Pesanan, titipan, dan permin taan mengiringi uang yang disetorkan kepada sosok 'nakal' anggota DPR telah membuat UU yang cacat. Sekadar mengingatkan, UU Bank Indonesia yang dibuat mengiringi sejumlah dana melalui aliran dana Bank Indonesia memperlihatkan potret buruk legislasi koruptif. Uang memberikan pengaruh besar terhadap proses legislasi. Inilah yang menyeret-nyeret beberapa nama anggota DPR periode lama maupun periode sekarang yang ditengarai terlibat dan menerima aliran dana demi pembuatan UU yang lebih 'ramah' pada pemesannya.

Kedua, yang lebih berbahaya lagi adalah dampak dari ramainya pengungkapan para anggota DPR yang terseret perkara korupsi. Model kedua dari legislasi koruptif kemudian berjalan. Yaitu, memperlambat atau menghambat produk UU untuk penegakan hukum dan agenda hukum antikorupsi. Bagi sosok nakal DPR yang telah terlibat tindakan koruptif, tentunya menjadi gamang untuk membuat UU yang menguatkan agenda penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Penguatan hukum antikorupsi hanya akan membahayakan diri para anggota DPR nakal yang bermain-main dengan uang panas tersebut. Karena itu, mereka kemudian melakukan berbagai upaya untuk memperlambat produksi UU penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Bahkan, dalam posisi tertentu mereka membuat UU penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang 'cacat' dengan daya gedor yang rendah. Buruknya UU MA dan tak kunjung mengadanya UU Pengadilan Tipikor mungkin merupakan contoh menarik untuk hal ini.

Secara keseluruhan, program penyelesaian atas tragedi legislasi tentunya membutuhkan beberapa agenda penting dan wajib untuk dilakukan. Pertama, mengangkat derajat DPD sebagai kamar kedua yang cenderung seimbang dengan kamar pertama. Ide besar menciptakan sistem dua kamar yang efektif tentunya akan mengefektifkan dan mendorong proses legislasi yang lebih baik. Mengangkat derajat DPD ini dapat melalui amendemen konstitusi. Atau paling tidak, dapat dilakukan melalui penguatan peran dan posisi legislasi DPD di RUU Susduk.

Kedua, memperjuangkan sistem pemilu legislatif yang lebih ramah pada dukungan rakyat. Putusan MK perihal ini patut diacungi jempol. MK mengakui suara rakyat lebih penting daripada keinginan elite parpol bermain di nomor urut. Putusan ini tentunya menjadi batu pijakan yang seharusnya segera ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan yang melindungi dukungan mayoritas rakyat.

Ketiga, penegakan hukum antikorupsi yang kuat atas anggota DPR yang terlibat perkara korupsi. Sampai saat ini, masih ada ketidakjelasan perkara yang diduga melibatkan banyak anggota DPR. Aliran dana BI yang di belakangnya terdengar nama puluhan anggota DPR tentunya harus diselesaikan. Kasus testimoni Agus Condro juga seharusnya segera ditindaklanjuti. Sebab, kasus itu juga melibatkan banyak nama anggota DPR yang bertindak koruptif.

Paling akhir, ini saatnya mengobarkan perlawanan atas mereka, para legislator nakal yang sering bermain-main dengan kewenangannya. Mari jangan memilih mereka. Jadikan Pemilu 2009 sebagai judgement day buat mereka. Hentikan kiprah mereka dengan jalan yang mudah, tidak mencontreng mereka.

Tanpa itu semua, kita semua, para rakyat, hanya akan terus menangis dan meratapi lakon menyedihkan, tragedi legislasi di negeri korupsi.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/01/29/ArticleHtmls/29_01_2009_012_001.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: