BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Persoalan Islam di Eropa

Persoalan Islam di Eropa

Written By gusdurian on Selasa, 13 Januari 2009 | 11.41

Persoalan Islam di Eropa
Tariq Ramadan

Guru Besar Studi Islam pada Oxford University
Semakin meningkatnya kehadiran muslim di Eropa telah menjadi isu sentral bagi semua negara Eropa, Timur maupun Barat. Berbagai debat yang telah bermunculan di seluruh benua ini mengenai "multikulturalisme," "sekularitas," atau bahkan "identitas" hampir selalu dikaitkan dengan faktor "Islam".

Pengaitan ini tidak perlu dianggap sebagai sikap yang tidak menghargai perbedaan karena terdapat hubungan mendasar antara "nilai" dan "hukum" di satu pihak serta "budaya" dan "keragaman" di lain pihak. Sesungguhnya, lebih daripada sekadar debat mengenai "Islam" dan "muslim," Eropa membutuhkan dialog yang serius dengan dirinya sendiri karena ia sekarang sedang menghadapi krisis.

Sebenarnya pertanyaan yang harus diajukan: dapatkah Eropa tetap konsisten dengan nilai-nilainya sendiri (demokrasi, persamaan, keadilan, respek, dll) dan pada saat yang sama mentoleransi dan mengakomodasi warga-warga baru dengan latar belakang dan agama yang berbeda? Atau, dengan kata lain, apakah masyarakat Eropa sudah siap secara intelektual, linguistik, dan kultural untuk menghadapi tantangan mengawinkan persamaan dengan kewarganegaraan Eropa yang semakin beragam?

Titik tolaknya dalam hal ini sebenarnya jelas: pemerintah jangan mencampuradukkan persoalan sosio-ekonomi (pengangguran, kekerasan, marginalisasi, dll) dengan persoalan budaya dan agama. Dengan kata lain, kita jangan "membudayakan," "mengagamakan," atau "mengislamkan" masalah-masalah sosial.

Fakta bahwa sebagian besar masyarakat di Eropa yang mengalami pengangguran atau marginalisasi sosial adalah orang-orang kulit hitam, Asia, Afrika Utara, atau muslim tidak berarti bahwa agama, etnisitas, atau budaya merekalah yang menjadi persoalan. Setiap penentuan yang merujuk kepada budaya, agama, atau ras memang berbahaya: pengangguran dan marginalisasi mencerminkan proses sosio-ekonomi, dan kita memerlukan kebijakan sosial dan ekonomi untuk menyelesaikannya.

Menggunakan alasan yang tidak jelas berdasarkan budaya, agama, atau ras merupakan resep yang ampuh untuk tidak mengambil sesuatu tindakan, jika bukan mengambil tindakan yang salah arah.

Dimensi budaya, ras, dan agama jelas merupakan faktor subordinat yang perlu dipertimbangkan, tapi ia bukan penyebab utama pengangguran dan marginalisasi. Pemerintah di negara-negara Eropa, daripada mengikuti sugesti retorika partai-partai ekstrem kanan, sebaiknya menerima kenyataan akan perlunya mengambil kebijakan yang kreatif dalam menangani pendidikan sebagai akar masalah (sekolah kelas dua atau yang disegregasi, kurikulum, dll), peluang kerja yang tidak adil, serta kondisi perkotaan yang buruk.

Sesungguhnya, bertentangan dengan apa yang sudah menjadi kearifan umum (artinya menormalkan apa yang selalu disuarakan partai-partai ekstrem kanan), muslim Eropa tidak punya masalah dengan "integrasi" agama atau budaya. Sebaliknya, mereka frustrasi dengan tidak adanya (atau gagalnya) kebijakan sosial yang menangani kebutuhan mereka.

Kegagalan ini tidak berarti bahwa suatu jenis baru rasisme--"Islamofobia"--sedang berkembang. Tapi orang tidak bisa membantah bahwa individu-individu memang menghadapi diskriminasi karena "agama" yang dianutnya (menurut studi yang baru-baru ini dilakukan lembaga survei Pew, 45 persen masyarakat Eropa mempunyai citra yang negatif mengenai Islam).

Tanda utama bahwa diskriminasi telah disuntikkan ke dalam wacana yang ada saat ini adalah timbulnya obsesi dengan ide "integrasi", walaupun sebagian besar muslim Eropa menaati hukum, kenal bahasa di negara mereka bermukim, dan setia kepada negara (walaupun kadang-kadang bersikap kritis, seperti warga Eropa umumnya).

Rujukan berulang-ulang yang dilekatkan kepada warga "dengan latar belakang imigran" atau kepada "masyarakat tuan rumah" hanya memperkuat gambaran bahwa muslim Eropa bukan Eropa "sebenarnya" atau masyarakat yang "merasa di rumah sendiri". Gambaran semacam ini secara tidak langsung menegaskan bahwa muslim Eropa harus terus-menerus membuktikan loyalitasnya. Persepsi "muslim" sebagai "orang lain" atau "orang asing" merupakan faktor sentral yang mendorong diskriminasi dalam perolehan kerja atau perumahan.

Di luar ketidakamanan dan ketakutan, kita mutlak perlu berpegang pada fakta dan angka yang menunjukkan bahwa, baik pada tingkat lokal maupun tingkat nasional, situasinya jauh lebih baik daripada debat yang berapi-api dan terpolarisasi dalam media dan di kalangan sementara politikus. Jauh dari kontroversi yang berlangsung sekarang, muslim Eropa umumnya hidup tenteram dengan masa depan yang menjanjikan.

Jika negara-negara Eropa ingin tetap setia kepada hak asasi manusia yang universal dan adil serta menghindari godaan atau tarikan ke arah rasisme dan xenofobia, seluruh masyarakat Eropa harus bertindak. Muslim Eropa harus menghindarkan diri dari sikap "mentalitas korban" dan mengakui tanggung jawabnya dalam komunitasnya masing-masing. Pemerintah dan warga, muslim dan non-muslim, harus menghindari setiap bentuk rasisme.

Dalam hal ini pendidikan menempati titik sentral. Kurikulum sekolah harus inklusif (untuk membangun persamaan sejarah memori) dan memperluas pengetahuan siswa akan agama dan budaya. Dalam media, wartawan harus dilatih menyoroti "kisah sukses", bukan cuma berfokus pada masalah. Secara keseluruhan, retorika yang secara tidak langsung mengaitkan kata-kata "ilegal" dan "kriminal" dengan "imigran" atau "muslim" harus dipandang sebagai sesuatu yang menumbuhkan ketakutan dan reaksi xenophobic.

Muslim Eropa sedang menghadapi rasisme baru, dan mereka harus berjuang memperoleh hak-hak mereka. Tapi mereka harus melakukan hal itu bersama warga lainnya dan dalam banyak bidang: politik domestik dan luar negeri, pendidikan, media, dan aktivitas sosial. Masyarakat Eropa jangan lagi merasa berpuas diri dengan keyakinan bahwa mereka bagaimanapun terlindungi dari kebangkitan rasisme atau pengkhianatan terhadap hak asasi manusia ini. Dan muslim Eropa jangan lagi beraksi dan bereaksi terhadap masalah yang mereka hadapi dalam kesendirian.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/12/Opini/krn.20090112.153486.id.html
Share this article :

0 komentar: