BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Misi Politik Gereja

Misi Politik Gereja

Written By gusdurian on Kamis, 22 Januari 2009 | 09.39

Misi Politik Gereja


Saut Hamonangan Sirait


Pada 2008, pemilihan umum sudah dimulai pada jenjang tahapan yang paling awal. Tahun ini akan dilaksanakan kampanye terbuka, diikuti dengan pemungutan dan penghitungan suara untuk memilih anggota DPR (legislator), anggota DPD (senator), dan selanjutnya pemilihan presiden.

Seluruh rakyat tentu sangat berharap pemilu berjalan dengan damai melalui penerapan prinsip-prinsipnya. Pemilu yang merupakan pelaksanaan teknis dari pilihan prinsip politik demokrasi tidak akan dibahas di sini. Makna politik dan kaitannya dengan tanggung jawab gereja yang hendak disumbangkan untuk menjadi pemikiran bersama.

Misi (embanan) adalah proses perencanaan dan kehendak untuk mewujudkan sebuah cita-cita. Hanya saja, bagi gereja, misi itu adalah sesuatu yang bersifat status konfesionis, suatu keadaan yang tidak tertolak, yang merupakan pemberian (given). Tuhan sendiri yang memiliki misi atas seluruh tatanan kehidupan alam semesta (bukan hanya manusia). Jadi, sesungguhnya, misi yang dikenal gereja, satu dan sejatinya adalah missio dei.

Penyelamatan atau pemulihan dunia yang telah jatuh ke dalam dosa merupakan ultimate concern (keprihatinan luhur) dalam missio dei. Tuhan mengutus gereja ke dunia pada semua bidang yang menjadi wilayah kehidupan semesta alam, terutama yang memengaruhi dan menentukan hajat hidup orang banyak dan lingkungan semesta. Dengan itu, gereja harus mendinamisasi diri dalam keterlibatannya dengan dinamika sejarah rakyat.

Persoalan utama dan sangat klasik muncul manakala missio dei itu berubah menjadi missio ecclesia. Missio dei yang seharusnya menjadi tema-tema sentral teologia bagi penyiapan fundamental dan basis-basis keterlibatan gereja di tengah-tengah rakyat, berubah menjadi rumusan-rumusan tata gereja dan formula-formula konfesional yang sangat terbatas. Fatalnya, tata gereja dan konfesi itu acapkali menjadi absolut.


Pemaknaan Politik

Kemerdekaan bangsa-bangsa dan pengorbanan-pengorbanan bagi kebebasan, jika dilihat dari sejarah kedatangan Yesus, secara teologis dan imaniah harus dikatakan bahwa hal itu merupakan urusan utama dari ajaran-Nya. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang sangat mendasar menyangkut komunitas kemanusiaan bagi suatu perwujudan kemerdekaan, keadilan, dan kedamaian.

Meskipun sering dihalangi dan berhadapan dengan ujung pedang, laras senjata, meretas bentangan sejarah panjang dalam revolusi-revolusi yang dipenuhi kekerasan, bertabur darah, nyawa yang meregang dan penderitaan-penderitaan, namun, pertaruhannya jelas: menyangkut hak-hak dasar manusia, pada asas-asas non-diskriminasi dalam kehidupan sosial-ekonomi; pada relasi dan interaksi antarindividu, kelompok hingga kesetaraan gender, ras, suku bangsa dan bangsa-bangsa.

Gereja sempat menjadi satu simbol dan legenda dalam kemanusiaan itu. Namun, segalanya bisa berubah. Fungsi-fungsi nabiah gereja tergerus dan terendus, menyempit, bergeser pada wilayah-wilayah pengasingan diri, dalam ritual dan seremoni. Dalam kekosongan itulah gerakan-gerakan politik yang melepas diri dari domain gereja bergerak dengan bebas.

Politik dalam arti luas menjadi sistem dan tatanan suatu masyarakat yang berangkat dari kehendak bebasnya. Melalui kebebasan itu, mereka memberikan haknya untuk diatur dan mengatur, serta diperintah dan memerintah. Kesamaan disebar dan perbedaan ditata melalui produk-produk keputusan politik yang disebut sistem dan hukum yang juga menjangkau agama dalam relasi dan interaksinya di masyarakat.

Pengelolaan tatanan politik itu, tidak dapat dilepas, bahkan menjadi tugas gereja, yang dikenal dengan koinonia (persekutuan) dan diakonia (pelayanan).

Persekutuan bukanlah ruang hampa, dihubungkan dengan missio dei. Istilah itu sangat meluas, holistik dan mondial dalam hubungannya dengan penataan masyarakat, bahkan melampaui arena politik. Demikian juga jabatan-jabatan politik yang sesungguhnya merupakan jabatan-jabatan diakonia, diharuskan melayani kepentingan masyarakat seluruhnya, seutuhnya, dan sepenuhnya.

Semangat pietisme Eropa, dengan core faith menghadapi paganisme (penyembah berhala), tidak membekali gereja dengan doktrin politik Alkitab. Situasi penjajahan yang cukup panjang ditambah proses kooptasi dan depolitisasi Orde Baru mengakibatkan gereja di Indonesia gamang terhadap tanggung jawab politik. Termilogi independensi gereja dimunculkan, untuk menjawab pelbagai kritik atas pembiaran (impunity) terhadap realitas hitam-biru politik. Fatalnya, pengertian mengenai independensi itu mengalami penyelewengan dalam praktiknya. Sebab yang terjadi adalah sterilisasi politik berupa . ruang-ruang gereja yang harus bersih dan kedap dari seluruh resonansi politik.

Padahal, independensi adalah kebebasan untuk melakukan tanggung jawab. Gereja tidak bergantung pada partai politik, apalagi hegemoni politik untuk menyatakan sikap dan tanggung jawab politiknya atas realitas negara, bangsa, dan masyarakat. Dalam kebebasannya, gereja harus bertanggung jawab dengan imannya untuk menyatakan prinsip-prinsip Alkitabiah. Terhadap kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, penegakan hukum, kebebasan berpendapat, berserikat dan asas-asas non-diskriminasi atas segala jabatan publik dan kesempatan untuk berpartisipasi di seluruh struktur negara.


Kelompok Defensif

Politik pasti merefleksikan diri dalam pembentuk hukum, aturan, kebijakan dan eksekusi dalam seluruh bidang kehidupan negara. Membiarkan politik itu berjalan sendiri tanpa kontrol masyarakat, terutama organisasi-organisasi yang mewadahi masyarakat, termasuk lembaga keagamaan, adalah kesalahkaprahan fatal.

Dalam banyak hal, gereja selalu memosisikan diri sebagai kelompok defensif dan reaktif. Manakala suatu produk politik berupa undang-undang muncul dan dirasakan "merugikan" dirinya, gereja-gereja akan bangkit untuk sesaat. Di luar kepentingan sempitnya itu, gereja-gereja tidur lelap. Dalam artian itu, sesunguhnya gereja sangat terasing dan bahkan lumpuh atas realitas politik kepentingan rakyat.

Jika gereja sejak dini mampu memosisikan diri sebagai terompet moral masyarakat yang pas dan nyaman, maka gereja akan menjadi tonggak dan tiang moral yang melembaga di tengah-tengah bangsa. Gereja tidak sekadar memanfaatkan momentum yang diperjuangkan orang lain, tetapi pencipta momentum yang dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan rakyat dan bangsa. Bukan berarti gereja menjadi arena politik, tetapi menjadi sarana bagi proses-proses politik yang bermoral. Juga, ekspresi dan refleksi politik. Gereja bukan sekadar kelatahan membentuk partai, tetapi pada perembesan nilai dan substansi yang dikehendaki Tuhan pada seluruh ruang dan bidang kehidupan masyarakat.

Hal yang paling penting dalam perspektif misio dan politik adalah keharusan gereja melayani dunia politik dengan rumusan teologis yang pasti. Artinya, gereja harus belajar untuk mampu menghubungkan dan terlibat dalam persoalan-persoalan rakyat yang mengalami tekanan dan pengasingan politik. Sistem-sistem politik yang tidak adil akan senantiasa beroperasi dengan cara-cara yang kompleks dengan pelbagai kombinasinya. Penderitaan dan perjuangan orang-orang tertindas harus dapat dihubungkan gereja dalam tata dan tatanan ibadahnya, pada ruang-ruang kultusnya yang kudus.

Dengan cara itu, perjuangan dan penderitaan itu tidak menjadi sesuatu yang terbiasa dan wajar, tetapi sungguh-sungguh menjadi pergulatan yang terus-menerus bagi gereja, dengan tujuan keyakinan yang pasti: pembebasan, penyelamatan dan pemulihan wilayah politik. Gereja memang harus memiliki missio dei politik!


Penulis adalah Pendeta HKBP dan Ketua Umum Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo)



http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=4091
Share this article :

0 komentar: