BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Masuk Gaza Pasca Agresi Israel (1)

Masuk Gaza Pasca Agresi Israel (1)

Written By gusdurian on Jumat, 23 Januari 2009 | 10.31

Masuk Gaza Pasca Agresi Israel (1)

Laporan: Kardono Setyo, Dari Gaza City, Palestina

Mulai Normal, Masih Sering Ada Bom

MASUK Jalur Gaza bukan main susahnya. Meski surat izin dari Kementerian Luar Negeri Mesir sudah di tangan, bahkan sudah tanda tangan tiga kali surat pernyataan ''Saya tidak akan menuntut siapa-siapa bila terjadi apa-apa'' dalam bahasa Inggris dan Arab, sekitar seminggu saya menunggu tetap tak bisa masuk potongan kecil wilayah Palestina yang berbatasan dengan Mesir itu.

Itu dipicu protes Israel kepada Mesir (negeri yang punya hubungan diplomatik dengan negara Yahudi) karena pada Minggu (18/1) mengizinkan sekitar 160 wartawan asing masuk ke Gaza. Akibatnya, sejak saat itu izin masuk ke negeri yang hancur dibombadir Israel tersebut diperkatat.

''Kami tak bisa memastikan kapan akan dibuka lagi. Kemungkinan dalam dua atau tiga hari lagi. Lebih baik tetap menunggu di perbatasan karena sewaktu-waktu bisa dibuka,'' kata Ali Ibrahim, staf press center di Kairo, Mesir, setiap saya konfirmasi.

Titik terang masuk Jalur Gaza mulai ada ketika KBRI Mesir hendak mengevakuasi Umi Saudah, TKW asal Semarang yang ditahan di penjara Saroya, Jalur Gaza, atas tuduhan pencurian. Berbekal dokumen persetujuan dari Kemlu Mesir, kami hendak mendompleng KBRI masuk Jalur Gaza. Alasannya sederhana; meliput evakuasi itu.

Bersama Muhammad Abdullah, pelaksana protokoler dan konselor KBRI Mesir, saya dan sejumlah rekan wartawan yang lain menuju gerbang perbatasan Rafah pada Selasa lalu (20/1). Baru pada Rabu pagi (21/1) kami menuju Makbar Rafah (tempat imigrasi Mesir untuk menuju Gaza).

Namun, menunggu sejak pukul 10.00 hingga 15.00, belum ada kejelasan kami bisa masuk. Menurut Abdullah, masih menunggu surat dari state security pemerintah Mesir (semacam Bakostanas era Orde Baru). ''Sudah kami susulkan dokumen-dokumennya, tapi kok belum ada jawaban,'' tutur Abdullah.

Sekitar pukul 15.15, tiba-tiba gerbang Makbar Rafah dibuka dan rombongan jurnalis asing masuk. ''Mereka membuka gerbang?'' tanya saya kepada seorang jurnalis asal Prancis. ''Tampaknya begitu. Saya sangat berharap segera masuk,'' katanya.

Jawaban itu membuat saya langsung bergegas dan memisahkan diri dari rombongan KBRI. Ternyata benar, saat itu Mesir membuka keran aliran jurnalis ke Jalur Gaza. Namun, tetap saja harus ada pemeriksaan dari para agen Mukhabarat atau intelijen militer. Ternyata saya masih kekurangan satu dokumen lagi. Yakni, surat keterangan dari Press Center Provinsi Sinai Utara. Rupanya, surat dari Press Center Kairo masih kurang. Cepat-cepat saya menelepon Ali Ibrahim dan meminta dia agar menghubungi Press Center Kairo. Untunglah, selembar faksimile persetujuan saya terima sekitar pukul 17.00. Saya sudah cemas saja karena bus terakhir ke Gaza pukul 19.00.

Urus-mengurus dokumen dan cap paspor akhirnya selesai pukul 18.15. Dan yang membut saya bersyukur, saya tak ketinggalan bus terakhir. Saya kemudian membayar 91 pound untuk biaya bus dan semacam ''airport tax''. Eh, di dalam bus ternyata masih kurang. Kernek bus berseragam imigrasi Mesir menarik lagi 30 pound. Untuk apa? ''Untuk biaya listrik,'' jawabnya. Meski tak sambung apa hubungan bus dengan biaya listrik, saya tetap membayar karena paras kernek itu seperti berkata, ''Sudah, tak perlu banyak tanya.'' Lagi pula, semua penumpang juga membayar 30 pound.

Ternyata total 121 pound (sekitar Rp 250 ribu) tersebut hanya untuk mengantarkan sekitar 100 meter -sekitar 3 menit- ke gerbang imigrasi Palestina. Padahal, saya sudah membayangkan tiba di Gaza City dengan bus yang badannya bertulisan Gaza Bus itu. Kami diminta turun untuk berjalan menuju ke Kantor Imigrasi Palestina.

Semua petugas imigrasi adalah orang Hamas. Di antaranya, Fauzi Al Ghozi, juru bicara Hamas pada 2006. Alih-alih melayani keimigrasian, Al Ghozi malah sibuk diwawancarai sejumlah jurnalis asing di ruang imigrasi tersebut.

Proses imigrasi di Palestina sangat sederhana. Paspor kami hanya difotokopi, dibagikan kembali, serta ditanya tujuan dan mau menginap di mana. Tak lebih dari lima menit saya sudah keluar dari Imigrasi Palestina. Kami kemudian naik taksi.

Kata taksi sebenarnya tak cocok. Bodinya taksi, tapi cara pembayaran seperti angkot. Si sopir menunggu penumpang penuh, kemudian baru berjalan. Sopir yang bernama Abdullah itu mengutip 100 pound tiap penumpang untuk sampai ke Gaza City. Penumpang taksi tujuh orang sehingga malam itu dia mengantongi 700 pound (sekitar Rp 1,4 juta) untuk satu rit saja.

Sepanjang perjalanan, meski malam, sisa-sisa keganasan agresi Israel sangat terlihat jelas. Bangunan runtuh, jalan berlubang, dan pecahan-pecahan beton berserak di jalan. Terutama di Khan Younis, kota yang kami lalui setelah Rafah, Palestina. ''Di sini sempat terjadi pertempuran kota antara Hamas dan Israel. Tank juga sempat masuk di sini,'' cerita Abdullah. Saya tiba ke Gaza City sekitar pukul 20.15 dan langsung menuju ke Hotel Az-Zahra, sebuah hotel kelas melati yang dekat Laut Tengah (Mediterania).

Meski sudah ada gencatan senjata, pagi harinya saya dibangunkan suara ledakan bom. Saya bangun, cuci muka, dan segera keluar mencari tahu asal suara bom tersebut. Rupanya, memang ada pengeboman Israel. Kata seorang warga Gaza, tampaknya, pengeboman dilakukan di Jabaliya dan di laut.

Pagi itu saya kemudian ke pantai dan melihat lima kapal patroli Israel menembak-nembak. Menurut Mahmood, seorang nelayan setempat, kapal Israel yang menembak itu merupakan hal rutin. ''Tujuannya menakut-nakuti saja supaya kami tak melaut mencari ikan,'' katanya.

Rupanya, blokade yang dilakukan Israel sudah sampai taraf memaksa para nelayan untuk tak mencari ikan. ''Tapi, kami tak takut. Bagaimana lagi, tertembak patroli Israel memang bisa mati. Tapi, toh kalau kami tak melaut, kami juga akan mati kelaparan,'' tuturnya.

Ucapan Mahmood benar. Setidaknya, pagi itu terdapat sekitar tujuh kapal nelayan yang nekat melaut. Uniknya, Mahmood sempat memperingatkan saya untuk tak mendekat dan memotret. ''Sebab, kamu pakai (baju) hitam-hitam,'' ucapnya.

Mahmood khawatir saya kena tembak. Sebab, mengenakan baju hitam-hitam -yang menjadi warna kebanggaan seragam Hamas- dan memotret bisa membuat kapal Israel mencurigai saya orang Hamas. ''Ada teman saya pakai hitam-hitam dan duduk di tepi pantai. Tiba-tiba kapal Israel menembak dan kaki teman saya tertembak,'' tambahnya.

Setelah dari pantai, saya berkeliling mulai Gaza City hingga Jabaliya, kota yang berada hanya tiga kilometer selatan Gaza. Benar, di dataran tinggi El Raisy, tampak asap mengepul, tanda paginya ada pengeboman. Menurut Ahmad, guide taksi yang saya tumpangi, dataran tinggi El Raisy di Jabaliya merupakan salah satu daerah yang paling parah terkena agresi Israel.

Tuntut Israel Ke Mahkamah Internasional

Menteri Kesehatan Otoritas Palestina Basheem Na'im kemarin berkunjung ke RS Ash Shifa, Gaza City, rumah sakit pemerintah yang menjadi pusat perawatan korban perang. Di sela-sela kunjungannya itu, Jawa Pos sempat melakukan wawancara. Berikut petikannya.

Bagaimana data terakhir jumlah korban?

Dari yang telah kami kumpulkan, korban tewas mencapai 1.400 orang dan luka-luka mencapai lebih dari 6.000. Saya pastikan jumlah ini masih belum final, karena proses evakuasi masih berjalan dan masih banyak korban yang belum ditemukan.

Soal penggunaan bom fosfor, apakah Anda bakal membawa Israel ke Mahkamah Internasional?

Ya, tentu. Tapi, kami masih mengumpulkan data-data. Sebetulnya, kami sudah menemukan banyak bukti soal itu. Di antaranya banyak korban yang kakinya putus sepaha. Seperti seragam. Selain itu, dari bentuk luka dan pecahan bom yang kami temukan. Itu bom fosfor yang penggunaannya sudah dilarang. (pecahan bom fosfor memang tersebar di kawasan Gaza. Jawa Pos sempat melihatnya, dan bahkan pecahan kecil sepanjang 30 cm saja hingga berhari-hari masih terbakar, Red).

Lalu, kenapa Palestina tak segera menuntutnya?

Sabar, sabar. Kami hanya ingin memastikan ketika menuntutnya. Kami sudah membawa bukti dalam jumlah banyak dan sulit dibantah. Selain itu, gerakan yang kami lakukan tak hanya sekadar menuntut Israel ke Mahkamah Internasional. Keadilan tak hanya bisa ditemukan di pengadilan. Kami juga melakukan hal-hal lain terkait masalah itu. (el)


http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=48119
Share this article :

0 komentar: