BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kebangkitan Hamas setelah Tragedi Gaza

Kebangkitan Hamas setelah Tragedi Gaza

Written By gusdurian on Jumat, 02 Januari 2009 | 13.23

Kebangkitan Hamas setelah Tragedi Gaza
Oleh Gunawan Permadi
BOMBARDIR Israel terhadap Jalur Gaza, Palestina, telah menelan korban jiwa ratusan orang dan kehancuran infrastruktur. Israel berdalih gempuran itu bertujuan memaksa Hamas menyepakati gencatan senjata berdasarkan syarat-syarat yang lebih mendukung tujuan diplomatik jangka panjang negara Yahudi itu.
Tiga ratus warga Palestina di Jalur Gaza tewas dan seribu lainnya terluka. Itulah pelanggaran kemanusiaan terbesar di pengujung tahun 2008, yang telah mengentakkan dunia. Tidak tertutup kemungkinan jumlah tersebut akan bertambah karena Israel masih akan melanjutkan serangannya dalam beberapa hari mendatang, baik melalui serangan udara maupun serangan darat.
Keputusan Israel menyerang Gaza merupakan sikap politik untuk menumpas habis jantung kekuatan Hamas. Sebab, saat ini Hamas merupakan musuh utama Israel karena mereka merupakan faksi politik terbesar yang diduga kuat akan memenangi pemilu yang akan berlangsung bulan depan.
Menurut Zuhairi Misrawi, ketua Moderate Muslim Society, serangan Israel diduga kuat sebagai paket untuk melumpuhkan kekuatan Hamas menjelang pemilu yang akan menentukan arah politik Israel-Palestina pada tahun-tahun mendatang. (Misrawi: 2008)
Para petinggi Israel menyamakan gempuran udara itu dengan strategi perang Lebanon 2006. Ketika itu, penyergapan oleh gerilyawan Hizbullah di perbatasan dibalas secara mengejutkan dengan operasi pengeboman.
Prajurit dan armada tank Israel kemudian merangsek masuk ke Lebanon, unggul dalam posisi pertempuran, dan hal itu menekan komunitas internasional untuk ikut mendorong gencatan senjata. Berdasarkan pengalaman itu, Israel berharap hal itu akan terjadi di Gaza apabila Hamas tidak menghentikan serangan-serangan roket.
Dukungan HamasNamun, berbeda dengan perang Lebanon, bombardir atas Jalur Gaza menuai kecaman dan kutukan keras dari komunitas internasional. Negara-negara di dunia cemas dan mendesak dilanjutkannya gencatan senjata. Meski demikian, seruan itu tidak didengar Israel karena negara Yahudi itu punya rencana lain.Mereka menginginkan ketenangan total yang tidak terganggu sama sekali oleh tembakan-tembakan roket militan Hamas.
Meskipun demikian, Mahmud Mubarak, analis harian Al-Hayat, meragukan bahwa misi Israel kali ini berhasil, khususnya untuk meredam dan membendung kekuatan Hamas yang telah mengakar di Gaza. Alih-alih membabat habis kekuatan mereka, Hamas justru akan semakin populer. Sebagai kelompok yang terzalimi, itu justru akan memberikan dampak positif. Sejak dulu, dukungan kepada Hamas bukan menyusut, tetapi justru bertambah karena Hamas merupakan pihak yang mempunyai sikap tegas kepada Israel.Di samping itu, dukungan dari masyarakat Arab kepada Hamas makin luas. Pemerintah dunia Arab makin terdesak antara mendukung Israel atau mendukung Hamas yang merupakan korban dari penyerangan brutal itu. Tidak bisa dielakkan bahwa para pemimpin dunia Arab akan tertekan, dan mau tidak mau harus memberikan dukungan kepada Hamas. Kebijakan kekerasan tidak akan memberi hasil seperti telah terbukti selama ini.
Kebungkaman ObamaAgresi Israel seperti bukan yang pertama kali. Dunia pernah menyaksikan kebrutalan serupa di Lebanon (2006), saat intifadah pertama kali di Palestina (1987-93), di Beirut barat dan timur (1982), dan bahkan jauh sebelum itu ketika tentara Yahudi menduduki Palestina pada 1948.
Asap masih membubung di Gaza. Israel menyebut operasi ini sebagai ”perang habis-habisan” (all-out war) melawan gerakan Hamas. Namun, sesungguhnya pertempuran itu tidak pantas disebut sebagai peperangan. Tewasnya anak-anak, perempuan, dan warga sipil, menjadikan operasi ini tidak lebih sebagai pembantaian dan penghancuran massal. Negara Yahudi itu boleh jadi lupa pelajaran dasar yang menyebutkan: upaya menumpas musuh hanya akan membuat dia menjadi lebih kuat.
Dua tahun lalu misalnya, kendati gempuran Israel atas Lebanon telah menewaskan ratusan pejuang Hizbullah dan warga sipil, serta memaksa sekitar 800.000 warga kehilangan tempat tinggal, militer Yahudi tidak dapat mengalahkan kelompok Hizbullah. Kelompok itu bahkan tampil lebih kuat dibanding sebelumnya. Selain itu, Perang Lebanon 2006 berbeda dengan operasi militer Israel kali ini. Genpuran militer itu bisa mengubah peta jalan yang selama ini tertutup karena operasi kali ini adalah sebuah blunder besar bagi Israel.
Reaksi dunia terlihat lebih keras dibanding saat agresi di Lebanon. Meski demikian, ’’peta jalan baru’’ itu juga akan sangat bergantung pada sikapn Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama.
Blunder Israel itu sebetulnya bisa membuka kemungkinan bagi Obama untuk merevisi kebijakannya yang selama ini masih belum berani menjaga jarak dengan Yahudi.
Misalnya, Obama bisa menegaskan sikap Pemerintah Indonesia, yang sudah disampaikan kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa, bahwa respons Israel atas tembakan-tembakan roket Hamas sesungguhnya adalah berlebihan.
Operasi militer itu justru lebih meradikalisasi warga Teluk dan bisa memicu munculnya intifadah ketiga. Washington tentu saja tidak perlu membenarkan serangan-serangan roket Hamas. Namun, fakta bahwa serangan roket itu hanya berdaya terbatas tidak sebanding dengan aksi balas dendam Israel yang telah menewaskan hampir 400 orang hanya dalam waktu empat hari.
Bermuka DuaDalam perjalanan 60 tahun kegagalan upaya proses perdamaian Israel-Palestina, tragedi kemanusiaan di Gaza semestinya bisa menjadi momentum untuk memperbarui lagi arah negosiasi.
Arah baru itu adalah melibatkan Hamas dalam proses perundingan. Sebab, hanya melibatkan Presiden Mahmud Abbas dengan faksi Fatah-nya terbukti selama ini gagal menembus jalan buntu. Perihal keterlibatan Hamas itu sebetulnya sudah pernah disuarakan oleh mantan menteri pertahanan Colin Powel.
Selama ini ada sinyalemen bahwa negara Palestina merdeka tidak mungkin terwujud selama faksi-faksi Palestina saling bertikai, terutama antara faksi Hamas dan faksi Fatah. Secara akal sehat, sebenarnya tak mungkin sesama warga Palestina saling menyerang. Mereka mempunyai cita-cita yang sama (berdirinya negara Palestina), juga karena orang-orang Israel (sebagai musuh besar) adalah musuh yang sebenarnya. Karena itu, gangguan dari pihak ketiga jadi salah satu hipotesis di balik perpecahan Palestina.
Analisis lain adalah problem islamisme Hamas versus nasionalisme Fatah. Hamas adalah salah satu faksi di Palestina yang menghendaki Palestina tampil sebagai negara Islam. Fatah yang mengusung semangat nasionalisme. Hamas lebih eksklusif, sementara Fatah lebih inklusif. Perbedaan di atas sering kali menciptakan letupan konflik di Palestina. (Hasibullah Satrawi: 2007).
Pendapat itu agaknya tidak lagi relevan karena organisasi Hamas sendiri telah bergeser dari basis religius ke wilayah politik. Hamas saat ini mengidentifikasi diri melalui perjuangan politik. Salah satu contoh nyata adalah fakta bahwa Hamas selama enam tahun ini telah menghentikan aksi serangan bunuh diri melawan Israel. Sikap itu merupakan ungkapan sikap politik Hamas bahwa perjuangan Palestina tidak lagi melulu berdasarkan alasan ideologi agama.(Murray: 2006)
Sayangnya, sejak Israel melancarkan gempuran itu, presiden terpilih Barack Obama masih bersikap bungkam. Kenyataan itu sangat berbeda ketika Obama langsung berkomentar soal serangan teror di Mumbai, atau pernyataan-pernyataan politiknya soal China-Taiwan dan krisis ekonomi Amerika. Sikap bungkam Obama makin menambah skeptisisme Arab atas perubahan kebijakan Washington kelak terhadap isu Timur Tengah.
Ada pendapat yang menyebutkan, Obama memilih bersikap hati-hati karena isu Timur Tengah bukan prioritas agenda ke depan dan juga karena kelompok Yahudi sudah pernah ’’memperingatkan’’ dia perihal isu Palestina.
Padahal, kalaupun ada ’’hubungan khusus’’ dengan kelompok Yahudi, Obama perlu menegaskan bahwa Israel harus bertanggung jawab atas tindakan agresi itu. Sikap bungkam Obama justru akan membenarkan kecurigaan selama ini bahwa Amerika Serikat adalah ’’mediator bermuka dua’’ dan tidak jujur dalam isu Israel-Palestina karena kedekatan hubungan dengan Yahudi.***
Gunawan Permadi, wartawan Suara Merdeka di Semarang. http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=45634
Share this article :

0 komentar: