BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Fuad Bawazier : Ekonomi Abunawas

Fuad Bawazier : Ekonomi Abunawas

Written By gusdurian on Minggu, 18 Januari 2009 | 11.17

Tokoh Abunawas bukan saja cerdik dan jenaka, tapi tingkah laku dan perkataannya juga sering menjengkelkan. Bahkan sesudah mati pun ciri khas Abunawas tetap terbawa.


Bagian depan kuburnya dipagar dengan gembok raksasa sehingga rasanya penziarah tidak mungkin bisa masuk untuk menyentuh pusaranya. Namun samping kanan dan kiri kuburnya itu tidak dipagar alias terbuka sehingga pagar dan gembok di bagian depan tidak ada artinya apaapa.

Abunawas memang menghibur sekaligus menjengkelkan. Entah karena mau meniru Abunawas atau karena kebingungan,banyak pejabat pemerintah dan politikus yang berperilaku,berkata,dan berdebat ala Abunawas.Ketika mahasiswa mengeluhkan mahalnya biaya kuliah, ada pejabat publik yang dengan entengnya merespons bahwa kalau tidak mampu yatidak usah kuliah.

Atau ketika masyarakat mengeluhkan harga gas elpiji yang naik,pejabat publik yang lain meresponsnya dengan jawaban serupa,yakni kalau tidak mampu jangan pakai gas elpiji.Atau ketika bahan bakar minyak (BBM) atau pupuk yang merupakan barang-barang monopoli pemerintah susah didapat, dikatakan bahwa itu kesalahan stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) atau distributor.

Respons ala Abunawas ini tentu saja oke bila bukan datang dari pejabat negara, tapi dari direktur perusahaan swasta atau dari kepala rumah tangga. Meski geram mendengar responsrespons konyol tersebut,jujur saja saya terpaksa tersenyum karena teringat lelucon Abunawas.Namun yang paling lucu adalah ketika akhir-akhir ini gas elpiji susah didapat dan si pejabat penting meresponsnya bahwa hal itu sebagai suksesnya program konversi minyak tanah ke gas elpiji.

*** Menghadapi krisis ekonomi global yang berimbas pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia, pemerintah yakin bahwa tahun 2009 justru pengangguran akan menurun. Pernyataan ala Abunawas ini tentu dapat dimaklumi bukan karena kalkulatornya sedang rusak, tetapi karena 2009 merupakan tahun pemilu dan pilpres sehingga berkaitan dengan kesuksesan kampanye.

Sejalan dengan itu,karena logikanya penurunan pengangguran akan diikuti dengan penurunan kemiskinan, pemerintah pun mendahului membuat opini dini bahwa tahun 2009 angka kemiskinan akan menurun. Tampaknya fakta dan logika akan dicoba dikalahkan oleh mesin propaganda dan opini yang dibangun sedini mungkin.Apalagi bila ada dana untuk iklan di media cetak dan elektronik.

Inilah negeri yang paling banyak pejabat publiknya nampangmelalui iklan di media cetak,elektronik,dan di tempat- tempat umum yang tentu saja diongkosi duit negara. Entahdisengajaatautidak,kitajuga sering melihat iklan-iklan model Abunawas yang mengecoh program negara seolah-olah milik parpol atau sukses parpol atau sukses tokoh parpol.

Banyak juga program-program kerakyatan pemerintah seperti pemberdayaan masyarakat dan kredit usaha rakyat (KUR) yang kesuksesannya baru sebatas gencarnya iklan.Kabarnya sudah banyak kabupaten dan kota yang menolak Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dengan alasan rawan politik uang dalam kaitannya dengan pemilu.

Trik-trik atau manuver politik ala Abunawas ini bisa jadi memang berhasil mendongkrak perolehan suara pemilih, lebih-lebih bila diikuti dengan pembentukan opini melalui survei-survei pesanan produk dari lembaga-lembaga yang kredibilitas dan independensinya diragukan.

Praktik Abunawas juga datang melalui pernyataan-pernyataan kesuksesan ekonomi yang sering dilontarkan pejabat ekonomi pemerintah dan tokoh- tokoh dari partai politik penguasa. Saya heran dari mana mereka mendapat keberanian berbohong seperti itu? Bila digunakan ukuran-ukuran resmi seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004–2009, praktis apa yang dicapai pemerintahan SBY-JK gagal total.

Begitu juga bila dilihat dari kegagalan pencapaian target-target dalam APBN. Sasaran-sasaran dalam RPJM 2004–2009 seperti penurunan pengangguran, kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi tidak tercapai. Pertumbuhan sektor industri yang ditargetkan 8,56% hanya tumbuh rata-rata 5,2% (2005–semester I/2008), jauh di bawah pertumbuhan 1980-an dan 1990-an.

Padahal sektor manufaktur ini (pernah) berperan sekitar 85% ekspor nonmigas atau 2/3 dari total ekspor Indonesia. Turunnya sektor industri merupakan bukti nyata seretnya sektor riil,terutama dengan ditutupnya pabrik-pabrik atau pengurangan produksi.

Diperkirakan tahun 2009 belum akan membaik mengingat melemahnya pasar ekspor dunia dan problem klasik kekurangan daya listrik di dalam negeri. Namun dengan mengesampingkan ukuran-ukuran resmi RPJM dan APBN serta menggantinya dengan ukuran dari sumber antah-berantah,pemerintah selalu mengklaim serbasukses.

*** Perkembangannya semakin menarik karena ternyata jawaban ala Abunawas yang mirip debat kusir itu mulai berkembang ke pejabat pemerintah yang nonpartai politik. Melihat rupiah yang terus melemah dan gonjangganjing, pejabat otoritas moneter dengan gaya teknokratnya mengatakan bahwa “itu tak apa”, sebab yang penting BI selalu menjaga nilai rupiah stabil dan realistis, tanpa menjelaskan pada kurs mana yang stabil dan realistis di antara Rp9.000 hingga Rp12.000 per dolar.

Apakah semua kurs stabil dan realistis? Sementara itu atas situasi yang sama pejabat tinggi otoritas fiskal dengan me-lankolisnya mengatakan,”Biarkanlah kurs rupiah mencari ekuilibriumnya yang baru,” persis dosen yang sedang mengajarkan mata pelajaran pengantar perdagangan internasional.

Sebenarnya petinggi-petinggi negara ini sedang tidak bisa berbuat banyak alias kebingungan dengan situasi yang dihadapi dan karena itu merasa nyaman untuk ikut-ikutan berakrobat ala politikus Abunawas. Para petinggi negara ini sedang berharap agar semua persoalan akan terselesaikan sendiri dengan berjalannya waktu.

Sementara rakyat harus membuang waktu produktif mereka untuk antre atau berburu gas elpiji, premium, pupuk, dan sebagainya tanpa tahu kepastian waktu kapan persoalannya akan selesai. Semoga Allah mengampuni Abunawas dan rakyat memaafkannya.(*)

Dr Fuad Bawazier
Mantan Menteri Ekuin
Ketua DPP Hanura


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/204846/
Share this article :

0 komentar: