'Kita berharap penurunan harga BBM tidak menjadi ajang pameran citra politik elite negeri, tapi harus berakibat langsung bagi khalayak banyak.'
SINGKIRKAN dulu prasangka bahwa langkah pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai upaya mendongkrak citra politik menjelang Pemilu 2009.
Jujurlah menjawab, apa yang sudah dirasakan publik setelah harga BBM turun? Belum ada. Harga bahan-bahan pokok tetap bertengger di awang-awang dan tarif angkutan tidak bergerak turun. Alasannya banyak dan kilahnya pun segudang.
Berbeda benar ketika harga BBM dinaikkan. Begitu harga BBM naik, pengusaha bahan pokok dan angkutan segera menaikkan harga dan tarif angkutan. Bahkan, naik tidak proporsional.
Contohnya, pada 24 Mei 2008 pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata 28,7%. Harga premium melonjak dari Rp4.500 per liter menjadi Rp6.000 per liter dan solar melompat dari Rp4.300 per liter menjadi Rp5.500 per liter. Hanya dalam hitungan jam harga-harga pun berlomba dinaikkan, bahkan tidak terkendali.
Ongkos angkutan, yang semestinya diatur pemerintah, secara sepihak ditentukan sendiri oleh pengusaha dengan menerapkan tarif gelap. Sepekan kemudian tarif angkutan umum resmi naik sebesar 15%.
Harga BBM itu bertahan enam bulan. Tatkala harga minyak dunia turun di bawah US$60 per barel, pemerintah merevisi harga BBM dalam negeri. Sejak 1 Desember 2008 harga premium turun Rp500 per liter menjadi Rp5.500 per liter.
Dua pekan kemudian, pada 15 Desember 2008 lagi-lagi pemerintah menurunkan harga premium menjadi Rp5.000 per liter. Harga solar pun terjun menjadi Rp4.800 per liter.
Pada 15 Januari nanti pun harga premium dan solar turun lagi masing-masing Rp500 per liter.
Akan tetapi, sekalipun dalam tempo kurang dua bulan pemerintah tiga kali menurunkan harga BBM, pengusaha belum juga tertarik menghitung berapa besar harga bahan pokok dan tarif angkutan harus turun. Menghitungnya saja tidak tertarik, apalagi menurunkan harga.
Karena itu, beralasan jika Presiden gerah kemudian menggelar sidang kabinet membahas soal harga. Presi den berharap para pengusaha adil dan fair terhadap masyarakat. Jangan saat harga BBM naik pengusaha menuntut harga segera naik, tapi ketika harga BBM turun pengusaha menahan harga.
Pengusaha memang selalu kreatif dan cerdas menghitung saat harga naik, tapi kemudian menjadi bodoh dan bebal menghitung saat harga BBM turun. Argumentasinya pun sesukanya. Saat BBM naik, pengusaha berdalih bahwa BBM merupakan komponen utama harga. Tapi saat harga BBM turun, alasan pengusaha lain lagi. BBM bukan komponen utama harga. Benar-benar mau menang sendiri.
Bandar transportasi pun sama. Tarif tidak turun karena harga suku cadang mahal. Para sopir pun berkilah setoran kepada pemilik angkutan juga tidak turun.
Kita prihatin dengan sikap pengusaha yang mau enak sendiri. Pemerintah seharusnya menekan pengusaha agar menurunkan tarif angkutan. Pengusaha seharusnya bersikap adil, arif, dan fair terhadap masyarakat karena masyarakat adalah pasar utama.
Mengabaikan pasar utama sama dengan bunuh diri. Kita khawatir jika harga tidak segera turun, masyarakat berpaling ke pasar gelap yang pasti lebih murah. Akibatnya, penyelundupan akan marak dan yang berteriak meminta perlindungan adalah pengusaha.
Dampak yang sudah terasa dari penurunan harga BBM adalah dampak politis. Citra pemerintahan Susilo Bambang YudhoyonoJusuf Kalla berangsur pulih setelah melorot pascapenaikan harga BBM pada Mei tahun lalu.
Kita berharap penurunan harga BBM tidak menjadi ajang pameran citra politik elite negeri, tapi harus berakibat langsung bagi turunnya beban kehidupan khalayak banyak. Anda ingin menanggapi "Editorial" ini, silakan kunjungi: mediaindonesia.com
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/01/12/ArticleHtmls/12_01_2009_001_005.shtml?Mode=1
EDITORIAL - Rakyat belum Nikmati Turunnya Harga BBM
Written By gusdurian on Senin, 19 Januari 2009 | 12.12
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar