BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Dampak Putusan MK tentang Suara Terbanyak

Dampak Putusan MK tentang Suara Terbanyak

Written By gusdurian on Senin, 19 Januari 2009 | 12.16

Dampak Putusan MK tentang Suara Terbanyak

Tak Ramah bagi Caleg Perempuan

Oleh Wahidah Zein Br Siregar *

Apa konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan calon anggota legislatif (caleg) terpilih berdasar perolehan suara terbanyak?

Tidak pelak, putusan itu melahirkan sikap pro dan kontra. Mereka yang pro mengatakan bahwa putusan tersebut sangat baik karena akan menciptakan fair competition di kalangan para caleg. Kedaulatan rakyat juga benar-benar dikedepankan dalam pemilu. Putusan itu dapat mengakibatkan berubahnya pola rekrutmen caleg di partai-partai politik. Proses rekrutmen caleg di partai politik akan berlangsung secara lebih demokratis berkat putusan MK tersebut.

Sementara itu, bagi yang kontra, putusan MK tersebut dipandang bisa mengakibatkan melemahnya loyalitas para kader di partai-partai politik. Para anggota partai bisa jadi akan enggan berjuang dengan keras karena kerja keras mereka belum tentu dapat mengantar mereka menjadi anggota DPR/D. Mereka yang selama ini duduk di DPR/D karena posisinya yang menguntungkan di daftar caleg termasuk dalam kelompok yang khawatir atas putusan MK itu.

Sebagian politisi dan aktivis perempuan juga khawatir putusan MK tersebut akan berimbas pada menurunnya jumlah keterwakilan perempuan di DPR/D. Penelitian di sejumlah negara membuktikan bahwa dibandingkan dengan sistem lainnya, sistem pemilu proporsional representation (PR) cukup efektif dalam meningkatkan jumlah perempuan di parlemen (Norris, 2005:15; Matland 2006:85; Bacchi, 2006:32).

Tetapi, sistem PR dengan daftar terbuka, seperti yang ditetapkan MK, dianggap tidak ramah kepada perempuan. Budaya patriarki masih kental di masyarakat kita. Pandangan bahwa dunia politik bukanlah tempat yang cocok bagi perempuan masih cukup luas tersebar di masyarakat kita. Hal ini tentu memengaruhi perilaku pemilih.

Putusan MK itu juga dianggap menjadi kontraproduktif terhadap tindakan afirmatif yang diberikan kepada caleg perempuan melalui kuota 30%, yang didapatkan dengan perjuangan yang keras. Padahal, tindakan afirmatif tersebut merupakan salah satu upaya membuka akses perempuan memasuki parlemen. Termasuk di dalamnya membantu perempuan dalam meminimalkan hambatan yang datang dari budaya patriarki.

Kesempatan

Kekhawatiran terhadap akan semakin sulitnya meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di DPR/D karena putusan MK itu tentu dapat dimaklumi. Budaya patriarki telah menyebabkan perempuan lebih belakangan memasuki dunia politik dibandingkan dengan laki-laki. Meski sejak pemilu pertama Indonesia telah menggunakan sistem PR, jumlah perempuan di DPR masih saja sedikit. Sejak 1950 sampai sekarang, persentase tertinggi yang pernah dicapai perempuan Indonesia yang duduk di DPR adalah 13%, yakni pada periode 1987-1992.

Di antara jumlah mereka yang sedikit itu, tidak banyak pula yang telah dikenal secara luas di masyarakat. Dengan kata lain, mereka masih menjadi anggota DPR/D yang masih lebih banyak diam daripada bersuara. Dengan demikian, timbul pernyataan bahwa perempuan di DPR/D adalah minoritas yang diam.

Tetapi, putusan MK tersebut dapat juga dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Putusan itu dapat membantu perempuan keluar dari masalah proses rekrutmen yang kurang demokratis dan transparan di partai-partai politik.

Pengalaman Pemilu 2004 menunjukkan perempuan menghadapi banyak sekali hambatan dalam proses penetapan nomor urut caleg di partai politik. Begitu juga pada proses penetapan caleg Pemilu 2009 yang sudah dilaksanakan pada Oktober lalu.

Para elite partai yang menyusun daftar caleg pada umumnya menempatkan perempuan di nomor urut bawah. Banyak perempuan yang sudah lama aktif di partai, tetapi tidak menempati posisi-posisi yang strategis dalam struktur kepengurusan. Mereka masih menjadi seksi konsumsi dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di partai politik. Akibatnya, sangat ''masuk akal'' jika para elite partai menempatkan perempuan di nomor urut bawah dalam daftar caleg.

Kurang demokratisnya proses penetapan nomor urut caleg juga membingungkan caleg perempuan. Nomor urut atau daerah pemilihan mereka bisa saja berpindah-pindah tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Bahkan, tidak jarang caleg perempuan mengetahui nomor urut mereka di dalam daftar caleg dari Kantor KPU, bukan dari partainya.

Tunjukkan Potensi

Putusan MK itu juga dapat menjadi peluang bagi para caleg perempuan untuk menunjukkan potensi mereka dalam menarik hati para pemilih. Sekaligus menghilangkan tudingan bahwa perempuan dapat duduk di DPR/D karena status sosial dan ekonomi suami atau ayah mereka. Bukan karena kemampuan atau hasil jerih payah mereka sendiri.

Hasil Pemilu 2004 menunjukkan, jika sistem pemilu yang dipakai waktu itu adalah sistem proporsional terbuka seperti ketetapan MK, persentase perempuan di DPR 2004-2009 adalah 13,3 persen, dua persen lebih tinggi daripada jumlah yang ada sekarang (Siregar 2009:184). Persentase ini akan menjadi persentase tertinggi yang pernah dicapai perempuan Indonesia. Data tersebut menunjukkan perempuan memiliki kemampuan yang cukup baik untuk meraih suara pemilih. Masyarakat Indonesia sendiri sudah mulai terbuka menerima kehadiran perempuan dalam dunia politik.

Putusan MK itu dapat juga menjadi pemicu bagi perempuan untuk menjadi substantive representatives, wakil-wakil rakyat yang benar-benar menyuarakan kepentingan pemilihnya dalam pengambilan keputusan di DPR/D. Jika tidak, mereka tidak akan lagi dipilih oleh pemilih pada pemilu berikutnya.

* Wahidah Zein Br Siregar PhD, dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, Surabaya
http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: