BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Blunder Kebijakan Pemerintah

Blunder Kebijakan Pemerintah

Written By gusdurian on Rabu, 07 Januari 2009 | 20.48

Blunder Kebijakan Pemerintah
M. Kholid Syeirazi
Staf ahli di DPR RI, Jakarta
Dampak krisis finansial global mulai merambah ke sektor riil di Indonesia. Sektor perkebunan dan properti mengalami pukulan paling telak. Harga karet dan kelapa sawit jatuh karena merosotnya permintaan dunia. Akibatnya, para petani sawit dan karet di Sumatera dan Kalimantan terancam kehilangan sumber penghasilan. Sektor properti mengalami kesulitan karena tingginya bunga bank, yang membuat masyarakat menengah ke bawah sulit memperoleh kredit perumahan. Industri hilir yang terkait dengan properti, seperti pembuatan genting, batako, kusen, dan interior, mulai mengurangi kuota produksi. Sektor industri padat karya di sejumlah tempat sudah mulai kolaps karena hasil produksinya tidak dapat dipasarkan. Akibatnya, beberapa perusahaan berencana merumahkan karyawan mereka.
Di tengah ancaman krisis yang memukul sektor riil, pemerintah justru mengambil kebijakan yang kurang tepat. Pertama, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter menempuh kebijakan menaikkan suku bunga perbankan. Dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengendalikan harga dan menekan inflasi, kebijakan ini kurang tepat diambil di negeri yang problem utamanya adalah kemiskinan dan pengangguran, seperti Indonesia. Menaikkan suku bunga perbankan berdampak pada pengetatan likuiditas. Akibatnya, sektor riil sulit mendapatkan kredit, baik untuk refinancing utang, modal usaha, maupun ekspansi. Kinerja korporasi juga menurun sehingga berpotensi melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap buruh/karyawan. Angka pengangguran tinggi akhirnya menurunkan daya beli. Penurunan daya beli menghambat pertumbuhan ekonomi. BI, sebagaimana kebijakan ekspansif yang ditempuh negara lain, seharusnya menurunkan suku bunga bank agar kegiatan ekonomi dan investasi tetap kondusif sehingga dapat menambah permintaan tenaga kerja, menopang pendapatan riil masyarakat, dan mengurangi pengangguran.

Kedua, pemerintah menurunkan harga BBM jenis premium Rp 500 per liter, yang mulai berlaku pada 1 Desember 2008. Kebijakan ini mudah tergelincir menjadi kosmetik politik karena dua hal; besaran penurunan harga tidak signifikan dan jenis BBM yang dipilih untuk diturunkan. Dalam hitungan para ahli, dengan tingkat harga minyak dunia berada di kisaran US$ 50-55 per barel, laba bersih minyak (LBM) tetap diperoleh Pertamina jika pemerintah menurunkan harga bensin hingga Rp 1.000 per liter. Penurunan harga sebesar itu baru efektif membantu memulihkan daya beli rakyat dan sektor riil dari kemungkinan kolaps akibat krisis keuangan global.
Mengapa pemerintah hanya menurunkan harga premium? Subsidi premium memang menyedot alokasi subsidi BBM paling besar. Dari 37 juta kiloliter target volume BBM bersubsidi pada 2008, 16,95 juta kiloliter di antaranya adalah premium, sementara solar hanya 11 juta kiloliter. Namun, dari data segmen konsumen BBM yang diperoleh dari BPH Migas, konsumen solar terbesar adalah kendaraan umum, sementara pengguna premium terbesar adalah kendaraan pribadi. Kendaraan umum per hari rata-rata menggunakan 30 liter solar dan 22 liter premium. Bus besar rata-rata menggunakan 80 liter solar per hari. Kendaraan pengangkut barang menggunakan rata-rata 12 liter solar dan 11 liter premium per hari. Karena itu, menurunkan harga premium tanpa menurunkan harga solar mengundang tanda tanya. Sebab, solar justru lebih berkaitan dengan ekonomi rakyat yang menggunakan angkutan umum dan juga para nelayan. Pemerintah harus terbuka. Jika dulu pemerintah menyatakan bahwa setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel berarti kenaikan subsidi hingga Rp 3 triliun, mengapa pemerintah kini bungkam tentang berapa subsidi BBM yang dihemat dengan turunnya harga minyak?
Ketiga, di tengah bayang-bayang ancaman PHK massal, pemerintah menerbitkan SKB Empat Menteri, yang salah satu pasalnya menyatakan penetapan upah minimum diupayakan tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, penetapan upah tidak lagi melibatkan pemerintah, melainkan negosiasi langsung antara pengusaha dan buruh (bipartit). Meski telah direvisi, ketentuan ini mengancam hak buruh atas upah yang layak. Di tengah bayang-bayang krisis, ketentuan ini rentan memicu efek proletarisasi massal. Karena itu, pemerintah sebaiknya mencabut SKB Empat Menteri dan mengembalikan pedoman penetapan upah minimum berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2005, yaitu penentuan upah minimum mengacu pada standar pencapaian kebutuhan hidup layak (KHL), bukan mengacu pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Sektor riil Untuk mencegah efek pendalaman krisis, pemerintah sebaiknya berfokus pada penyelamatan "ekonomi riil" ketimbang "ekonomi finansial". Selain membenahi iklim investasi di sektor riil, pemerintah dianjurkan menempuh sejumlah langkah, di antaranya memperketat impor barang jadi dan mencegah barang impor ilegal, memacu pembangunan infrastruktur, dan memberikan insentif pajak untuk perusahaan yang berorientasi ekspor, seperti tekstil, industri hilir, dan industri padat karya. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah, pemerintah daerah sebaiknya menarik Dana Alokasi Umum (DAU) yang selama ini disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan menggunakannya untuk menggerakkan ekonomi lokal. Total DAU yang diparkir dalam bentuk SBI kini mencapai sekitar Rp 50 triliun. Dana sebesar itu dapat menjadi stimulus bagi perekonomian daerah jika diinjeksikan ke proyek-proyek yang menyerap tenaga kerja.
Yang tidak kalah penting, pemerintah harus segera memperkuat sektor pertanian yang menyerap banyak tenaga kerja dan lokus kemiskinan berada. Indonesia adalah republik pertanian, meskipun nasib petani di negeri ini selalu marginal. Indonesia memiliki delapan jenis komoditas pertanian yang merajai pasar dunia, dari lada, sawit, karet, beras, kopi, kakao, hingga teh. Namun, sektor pertanian mengalami involusi (meminjam istilah Clifford Geertz) karena gagal menopang sektor industri. Untuk sekian waktu yang lama, sektor pertanian diisap, tapi bukan untuk mendorong industrialisasi dan memperkuat struktur ekonomi domestik. Para petani di Jawa terisap dan menderita, namun bukan untuk apa-apa (Clifford Geertz, 1971: 143). Rendahnya pertumbuhan sektor pertanian tecermin dari makin lemahnya daya serap sektor ini terhadap tenaga kerja.
Ditambah dengan kelangkaan pupuk yang dihadapi para petani di pulau Jawa saat awal musim tanam tiba sekarang ini, ketahanan ekonomi rakyat benar-benar dalam pertaruhan. Kelangkaan pupuk mengancam kelangsungan produksi pertanian, yang pada gilirannya mengancam kedaulatan pangan nasional. Pemerintah harus segera membereskan kelangkaan pupuk bersubsidi. Selain meningkatkan produksi pupuk, pemerintah harus mengawasi rantai distribusi pupuk. Kendaraan pengangkut, pengecer, dan distributor harus teregistrasi. Pengecer hanya boleh melepas pupuk kepada petani yang sudah terdaftar di wilayahnya. Selain itu, pemerintah harus segera membenahi
database pasokan dan permintaan, membatasi ekspor pupuk, mengatur impor dan produksi, meningkatkan efisiensi dan kapasitas pabrik pupuk, mengalihkan pupuk tunggal ke majemuk secara bertahap, serta mendorong penggunaan pupuk organik sebagai komplemen/substitusi pupuk anorganik.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/08/Opini/krn.20090108.153124.id.html
Share this article :

0 komentar: