Megawati, Kick Andy, dan Pilpres 2009
Oleh Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom
K ETIKA menyaksikan dua seri talk show Kick Andy di MetroTV (19 dan 26/12/08) dengan tamu istimewa Megawati Soekarnoputri sungguh menarik, menghibur, dan menggugah. Megawati tampil rileks, tampak begitu menikmati acara, dan menjawab semua pertanyaan Andy F Noya (AFN) dengan santai, tapi tetap berbobot. Bahkan selaku pembawa acara, AFN, yang dikenal piawai menggali informasi dari narasumber dengan teknik provokasi yang canggih, berulang kali tergelak melepas tawa spontan. Dalam talk show itu penampilan Megawati begitu cemerlang karena dua hal. (1) Pancaran wajah cantik yang menawan penuh pesona, dan (2) kemampuan menyampaikan pokok-pokok pikiran secara jernih ketika menjawab beragam pertanyaan. Dalam wawancara itu Megawati kelihatan ‘berisi’ dan menunjukkan kelasnya sebagai sosok perempuan politisi tangguh yang kaya pengalaman.
Ada beberapa catatan yang menarik untuk diulas seiring dengan geliat politik menjelang kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2009. Pertama, selama ini publik menganggap Megawati kurang pintar karena ia selalu diam ketika muncul berbagai masalah serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Megawati dianggap tak punya gagasan untuk merespons isu-isu strategis dalam perpolitikan nasional. Kesan kurang pintar ini diperkuat fakta Megawati tidak lulus kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) sehingga banyak orang berprasangka kapasitas intelektual Megawati memang tak memadai. Prasangka itu berlangsung begitu lama sampai kemudian terungkap alasan mengapa ia drop out dari Unpad. Dengan ringan Megawati mengemukakan, ia terpaksa putus kuliah bukan karena persoalan akademis, tetapi lantaran masalah politik. Rektor memberinya dua pilihan saja, yaitu (1) bersedia menandatangani surat pernyataan menerima/mendukung Orde Baru, atau (2) meninggalkan Kampus Unpad. Demi mempertahankan pendirian politik, menjaga harga diri, dan martabat keluarga, Megawati memilih yang kedua.
Kedua, kritik publik acap kali muncul terkait dengan sikap politik Megawati yang dianggap tidak ksatria. Karena, ia tak mau bertemu dan bertegur sapa dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengalahkannya dalam Pilpres 2004. Sikap politik Megawati itu melengkapi tradisi kurang baik di kalangan presiden-presiden sebelumnya, yang juga tak saling bertegur sapa dan tak mau saling bertemu. Ini jelas pendidikan politik yang tidak baik bagi bangsa. Tanpa tahu apa yang sesungguhnya terjadi, publik membuat kesimpulan sepihak dengan mengaitkan ketegangan hubungan antara Megawati selaku Presiden dan SBY selaku Menkopolkam menjelang Pemilu 2004.
Media massa ramai memberitakan, SBY diperlakukan tak adil, tak diundang dalam sidangsidang kabinet, bahkan diisolasi dari pemerintahan, yang kemudian dieksploitasi sebagai bentuk tindakan penzaliman.
Terlebih lagi Tau?q Kiemas (TK) ikut menyerang dengan pernyataan, “SBY jenderal kekanak-kanakan,” yang dimanfaatkan pers untuk melukiskan bahwa SBY memang korban kezaliman. Untuk menanggapi masalah ini, TK dengan suara bergetar dan penekanan kalimat yang menyentuh berujar, “Kami, keluarga besar Soekarno, sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu dizalimi. Namun, sama sekali tak tebersit di hati kami untuk bertindak zalim kepada orang lain.” Respons ini menggugurkan klaim publik soal tindakan penzaliman Megawati kepada SBY yang berkembang dalam diskursus politik saat itu. Tanggapan TK ini terasa amat manusiawi. Jika dibuat rumusan lain, selama tiga dekade keluarga Soekarno hidup menderita lantaran perlakuan tidak adil oleh rezim Soeharto, untuk apalah Presiden Megawati harus berlaku zalim pada menterinya hanya karena sang menteri berhasrat mencalonkan diri dalam kontestasi pilpres. Yang dipersoalkan Megawati adalah etika dan fatsoen politik SBY. Ia dianggap berlaku tak gentle ketika Megawati beserta segenap jajaran kabinetnya sedang bekerja keras, agar pemilu legislatif dan pilpres langsung--yang baru pertama kali diselenggarakan dalam sejarah Indonesia modern--berjalan lancar dan sukses.
Ketiga, klari?kasi TK soal penzaliman itu sejalan dengan sikap politik Megawati terhadap mantan Presiden Soeharto. Meskipun rezim Soeharto memperlakukan Bung Karno sedemikian buruk, tak dirawat dengan baik ketika sang proklamator menderita sakit, bahkan diasingkan sampai keluarga pun tak bisa membesuk, Megawati tak menunjukkan dendam politik sedikit pun. Meski sedang menjabat sebagai presiden yang memiliki otoritas politik besar, ia tak tergoda untuk memenuhi desakan publik yang menghendaki agar Soeharto diadili dalam keadaan apa pun. Megawati mengabaikan perasaan batin yang pahit dan pengalaman hidup menderita pascakejatuhan sang ayahanda. Ia tak mau dendam pribadi dijadikan dasar untuk mengambil tindakan politik atas kasus Soeharto. “Jika suatu tindakan politik dilandasi rasa dendam,” ia berargumen, “Dendam politik itu akan berlangsung siklikal tanpa berkesudahan.” Karena itu, Megawati ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa selaku korban kezaliman rezim Orde Baru, ia bersedia memutus mata rantai dendam sejarah dan meminta bangsa ini menempatkan pemimpin bangsa pada posisi terhormat dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Keempat, sikap politik Megawati ini tetap disertai tenggang rasa terhadap kalangan Soekarnois, yang tak mau menerima Soeharto sebagai penguasa Orde Baru. Karena itu, ketika sang Jenderal Besar mangkat, Megawati tak bertakziah secara pribadi. Ia mengutus Puan Maharani dan Guruh Soekarnoputra untuk mewakili keluarga besar Soekarno menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Soeharto. Dengan maksud memberi penghormatan kepada kedua belah pihak, Megawati mengatakan bahwa ia harus menjaga pride para pengikut Soekarno. Karena itu, ia mengutus dua orang terdekatnya untuk memberi pride yang sepadan kepada Soeharto sebagai pemimpin bangsa.
Kearifan tokoh nasional Sikap Megawati ini jelas menunjukkan kearifan sebagai tokoh politik nasional, yang mampu mengatasi pergulatan batin menyangkut prokontra dan kontroversi politik yang berlangsung selama bertahun-tahun, terkait dengan dua ?gur pemimpin besar bangsa, yakni Soekarno dan Soeharto. Hanya tokoh yang memiliki kematangan dan kedewasaan berpolitik yang mampu menepis emosi pribadi, dengan memberi penghormatan yang selayaknya kepada lawan politik. Megawati mampu mengelola emosi pribadi itu dengan sangat baik sehingga ia tak perlu mengusik luka batin para Soekarnois, tapi tetap menaruh rasa hormat kepada keluarga Soeharto.
Penampilan Megawati dalam talk-show Kick Andy itu mungkin sedikit banyak akan mengubah persepsi publik yang cenderung kurang positif. Ia mulai membuka diri pada media massa dan bersedia melayani dialog terbuka, yang memungkinkan publik untuk menilai kapasitasnya. Tentu saja sikap terbuka itu positif sehingga sangat mungkin berpengaruh pada kontestasi Pilpres 2009 mendatang. Megawati tampaknya belajar banyak dari kekalahan dalam Pilpres 2004, dan kemudian mengubah strategi untuk merebut kembali jabatan presiden. Ia juga mencoba memperluas dukungan politik di luar basis tradisional, yakni kalangan nasionalis, menjangkau konstituen Islam dengan mengembangkan sayap politik baru, seperti Baitul Muslimin.
Dengan tetap merawat pemilih tradisional, tokoh-tokoh PDI-P yang dimotori Tau?q Kiemas secara agresif melakukan lobi dan pendekatan kepada kekuatan-kekuatan politik berpengaruh, terutama Partai Golkar, partai berbasis massa Islam, dan tokoh-tokoh Islam untuk membangun aliansi strategis guna mengantarkan Megawati terpilih kembali menjadi presiden.
Berbeda dengan kontestasi Pemilu 1999, saat itu Megawati tampil arogan sehingga menyebabkan ia tak terpilih menjadi presiden sekalipun PDI-P adalah pemenang pemilu. Ketika menyongsong Pilpres 2009, ia berusaha tampil rendah hati. Bahkan untuk merebut hati umat Islam, Megawati pun tampil berkerudung ‘simbol Muslim santri’, seperti tampak pada sampul buku berjudul Mereka Bicara Megawati.
Namun, penting dicatat, preferensi politik para pemilih tak lagi sepenuhnya didasarkan pada sesuatu yang bersifat simbolis, tetapi pada proposal kebijakan menyangkut isu-isu fundamental dalam pengelolaan pemerintahan. Megawati dan PDIP mengusung isu kesejahteraan sosial dengan tema kampanye ‘sembako murah,’ sebuah isu ekonomi-politik berdaya tarik kuat karena menyentuh kebutuhan dasar rakyat. Dengan mengangkat isu itu, mampukah Megawati menggugah rakyat untuk memilihnya kembali menjadi presiden? Let the people speak for the better Indonesia!
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/01/14/ArticleHtmls/14_01_2009_021_002.shtml?Mode=1
Amich Alhumami : Megawati, Kick Andy, dan Pilpres 2009
Written By gusdurian on Kamis, 15 Januari 2009 | 12.54
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar