BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menjernihkan Pendidikan

Menjernihkan Pendidikan

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.27

Menjernihkan Pendidikan


*Robert Bala*

Mendekati pemilu presiden, pendidikan menjadi salah satu isu penting.

Namun, debat visi dan misi capres kadang menimbulkan kegamangan.
Falsafah pendidikan yang seharusnya menjadi ”harga mati” saat di tangan
politisi ternyata diganti dengan pemahaman pragmatis (Kompas, 1/6).
Bagaimana menjernihkannya?

*Tiga elemen*

Para pakar sepakat, pendidikan harus diteropong dari tiga aspek. Ia
harus memiliki rumusan konseptual baku written curriculum. Di dalamnya
tertuang apa yang harus diketahui dan kompetensi yang harus dimiliki
siswa pada tiap level pendidikan.

Häyrynen dan Hautamäki, J dalam Människans Bildbarhet och
Utbildningspolitiken (1997) memperluas konsep ini. Baginya, sebuah
fungsi pembelajaran bermakna bila tidak berhenti pada aspek pengetahuan
(to know), dan keahlian (to be able), tetapi merambah daya eksplorasi
(to study) dan harapan (to hope).

Selanjutnya dibutuhkan langkah metodologis-pedagogis atau taught
curriculum untuk mentransformasikan konsep ke dalam aksi. Ia adalah
proses vital. Ide yang baik perlu diterapkan oleh pendidik yang
kompeten. Meski demikian, ia bukan akhir. Secara analogis, ia
diumpamakan dengan jembatan yang menyatukan konsep dan perwujudan. Ia
menginspirasi orang untuk terus berjalan, bukan berhenti di situ.

Bila proses ini dilalui dengan baik, barulah kita berbicara tentang
ujian atau learned/assessed curriculum. Pada level paling mendasar, ia
bertujuan mengetahui apakah proses pembelajaran sudah dilewati dengan
baik atau tidak. Kegagalan atau kesuksesan menjadi takaran tentang
kualitas proses itu sendiri.

*Tanpa arah*

Dalam kenyataan, pemahaman pendidikan sering rancu, demikian Hugo
Ferreira Gonzales dalam Calidad Total en la Educación, 2002. Visi
sebagai konsep baku yang seharusnya melandasi cara berpikir dan
bertindak, kenyataannya mudah dikalahkan oleh pragmatisme dan
pertimbangan sesaat. ”Gonta-ganti” kurikulum menjadi contohnya.

Kegelisahan juga terlihat dari minimnya suasana kegembiraan dalam proses
belajar-mengajar. Siswa terlampau dijejali aneka beban belajar. Memang
sekilas hal itu menyenangkan para pejabat yang melihat berkurangnya
kenakalan remaja menjelang ujian. Tetapi, bila dikritisi, esensi
pendidikan sedang dikorbankan. Yang dibuat sekadar menghafal, bukan
belajar dalam arti sebenarnya. Bahkan, menurut Cole, M dalam Cultural
Psychology. A Once and Future Discipline (1996), pendidikan sebagai
bagian dari proses sosialisasi pun diingkari.

Akhirnya, derita dalam pendidikan menjadi lengkap oleh ujian. Yang diuji
bukan lagi pemahaman komprehensif, tetapi sekadar uji daya memori dan
keahlian menjatuhkan pilihan pada alternatif jawaban yang disediakan.
Realitas kehidupan yang begitu kompleks disederhanakan untuk dapat
diselesaikan dalam waktu amat terbatas. Kita lalu puas dengan
meningginya grafik kelulusan. Padahal, kehidupan yang rumit membutuhkan
daya kreasi dan eksplorasi yang hanya muncul dari pribadi yang telah
melewati proses pendidikan dengan gembira.

*Membangun harapan*

Perubahan seharusnya dilakukan jika kita berkomitmen pada visi
kebangsaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya
kesejahteraan sosial.

Pertama, perlu dihidupkan daya eksploratif yang muncul sebagai
konsekuensi pembelajaran atraktif dan menyenangkan. Siswa terdorong
untuk belajar bukan karena tekanan ujian nasional, tetapi karena iklim
rekreatif-pedagogis. Siswa yang gembira secara sosial akan berkolaborasi
membangun negeri dan menjadikannya lebih disegani dalam kancah
internasional.

Kedua, perlu kemauan (willingness) dan kesediaan (readiness) membenahi
proses pendidikan, demikian Snow, R dalam New Approaches to Cognitive
and Conative Assessment in Education (1990). Para politisi harus sadar
bahwa perubahan ada dalam tangan mereka. Kemauan mereka untuk meluruskan
kerancuan konseptual merupakan langkah bijak. Ia lalu diikuti kesediaan
mengorbankan visi pendidikan yang egoistik-pragmatis kepada pemangkuan
visi pendidikan yang lebih komprehensif dan tepat sasar.

Bila proses ini dilalui, harapan sebagai elemen konstitutif pendidikan
akan hadir sebagai ganjarannya.

/*Robert Bala* Mengajar pada Sekolah Tunas Indonesia Bintaro; Lulusan
Universidad Pontificia de Salamanca Madrid, Spanyol

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/12/05360870/menjernihkan.pendidikan
Share this article :

0 komentar: