BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memperebutkan Mendiknas

Memperebutkan Mendiknas

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.25

Memperebutkan Mendiknas


*DARMANINGTYAS*

Hiruk-pikuk kampanye calon presiden dan calon wakil presiden juga
diwarnai tarik-menarik kepentingan partai politik peserta koalisi.
Peserta koalisi pendukung capres-cawapres mulai pasang ”tarif” terkait
dengan jabatan sebagai imbalan. Salah satunya, memperebutkan jabatan
menteri pendidikan nasional.

Perebutan kursi mendiknas ini merupakan berita menarik karena sebelumnya
jabatan yang paling diperebutkan adalah di kementerian bidang
perekonomian, terutama keuangan, BUMN, dan pertambangan. Baru kali ini
jabatan mendiknas diperebutkan secara terbuka. Atau, mungkin karena
setelah reformasi menteri pendidikan dijabat golongan tertentu terus,
maka dianggap given sehingga tidak diperebutkan secara terbuka. Baru
setelah peta politik berubah, perebutan terjadi.

*Mengapa diperebutkan?*

Mengapa jabatan mendiknas diperebutkan?

Pertama, tiap tahun Departemen Pendidikan Nasional mengelola sekitar 35
juta siswa (TK sampai SMTA). Bila ditambah jumlah mahasiswa, guru, dan
dosen, sekitar 40 juta jiwa. Ini potensi massa amat besar bagi parpol
yang ingin memenangi pertarungan di masa mendatang. Sejarah membuktikan,
Orde Baru dapat bertahan lama salah satunya karena mampu ”mencuci otak”
pelajar dan mahasiswa sehingga tiap lulusan tidak terbiasa menghadapi
perbedaan pendapat. Para pengurus parpol tahu potensi itu, maka perlu
direbut.

Kedua, Depdiknas memiliki anggaran paling besar dibandingkan dengan
departemen lain. Dana pendidikan bukan hanya dari APBN, tetapi juga dari
APBD dan iuran masyarakat. Secara akumulatif, dana yang terhimpun di
dunia pendidikan, TK-perguruan tinggi, bisa mencapai Rp 200 triliun
lebih per tahun dan dapat digunakan untuk apa saja.

Ketiga, menguasai Depdiknas berarti menguasai murid, mahasiswa, guru,
dosen, dana, kurikulum, prasarana dan sarana, serta kebijakan. Semua itu
dapat dipakai untuk apa saja, termasuk indoktrinasi nilai-nilai yang
sesuai dengan garis politik penguasa. Kata Althusser, institusi
pendidikan itu bagian dari aparatus ideologi, yang mengajarkan know-how,
tetapi dalam bentuk memastikan kepatuhan terhadap ideologi yang sedang
berkuasa. Dengan demikian, tidak terelakkan kepentingan penguasa akan
tersampaikan melalui sekolah/kampus dengan segala kebijakannya. Jabatan
mendiknas itu amat strategis.

Namun, sungguh tragis sekaligus hancur bangsa ini bila jabatan mendiknas
dipegang oleh parpol/golongan tertentu sebagai imbalan mendukung
capres-cawapres. Sebab, kebijakan pendidikan yang dibuat tidak akan
terbebas dari kepentingan partai/golongan. Padahal, pendidikan
seharusnya berpihak pada semua golongan, termasuk mereka yang tidak
beragama dan tidak ikut parpol.

Untuk itu, perlu ditegaskan, siapa pun presiden terpilih, mendiknas
jangan dijadikan bagian dari dagang sapi. Presiden perlu memiliki visi
bahwa pendidikan adalah bagian dari proses integrasi sosial dan bangsa
sehingga harus dijaga netralitasnya dengan tidak menyerahkan kepada
parpol atau golongan tertentu. Terlalu besar risikonya bagi bangsa ini
bila mendiknas diserahkan kepada parpol.

*Mendiknas seperti apa yang diperlukan*

Pertama, mendiknas yang mampu berpikir luas, tidak hanya melihat
pendidikan dari aspek pendanaan, tetapi juga dari perspektif filsafat
manusia, peradaban, budaya, seni, sosial, dan keutuhan bangsa. Seorang
mendiknas yang mampu membuat kebijakan yang memanusiakan manusia,
menjunjung tinggi peradaban dan budaya bangsa. Mendiknas hendaknya tidak
memenjarakan jiwa manusia dan mengarahkan kita hidup dalam satu dimensi
(teknologi informatika) belaka dengan corak budaya tunggal.

Kedua, mendiknas yang mampu memahami bahwa pendidikan bukan sekadar
masalah manajerial saja—sampai harus disertifikasi dengan ISO—tetapi
bagian dari proses kebudayaan guna menumbuhkan kepercayaan dan
integritas diri sebagai individu, warga, bangsa, dan negara. Dengan
demikian, pendidikan akan melahirkan manusia yang memiliki kepercayaan
diri tinggi untuk hidup merdeka.

Ketiga, mendiknas harus mampu mengembalikan sekolah dan perguruan tinggi
negeri (PTN) menjadi milik publik, bukan membiarkan kian elitis karena
hanya dapat diakses kelompok berduit. Masyarakat miskin yang seharusnya
menjadi tanggung jawab negara terpaksa ke sekolah swasta yang biasanya
harus ditanggung sendiri. Di negara-negara normal, sekolah negeri/PTN
dibuka bagi semua, sedangkan yang mahal ada di sekolah-sekolah swasta.
Konsekuensi dari pengembalian sekolah negeri/PTN menjadi milik publik
adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan yang liberalistik itu harus direvisi atau dicabut.

Keempat, mendiknas harus mampu menjadikan pendidikan sebagai bagian dari
proses integrasi sosial dan bangsa. Karena itu, berbagai kebijakan
pendidikan yang mengarah pada eksklusivisme, termasuk melalui
formalisasi agama di sekolah negeri hingga murid diketahui agamanya
melalui seragam yang dipakai, pemisahan siswa laki-perempuan dalam
kelas/kegiatan, dan menutup akses golongan minoritas ke sekolah negeri
tertentu, tak boleh dibuat. Kebijakan yang aneh-aneh itu hanya boleh
dilakukan sekolah swasta, bukan sekolah negeri. Sekolah negeri harus
terbuka bagi semua golongan tanpa membedakan agama, suku, etnis, dan
ekonominya.

Kelima, mendiknas harus bisa diajak berdialog, misalnya soal ujian
nasional. Apakah ujian nasional akan dipertahankan sebagai standar
kelulusan—meski penuh manipulasi dan kebohongan—atau sebagai pemetaan
dan standardisasi mutu yang tidak berdampak pada kelulusan dan tidak
harus dilakukan tiap tahun? Konsekuensinya, perlu revisi PP No 19/2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.

Bila Anda profesor doktor yang merasa mampu memenuhi minimal kelima
persyaratan itu, silakan mengajukan diri sebagai calon mendiknas.
Tetapi, bila Anda seorang profesor doktor yang sepaham dengan aneka
kebijakan pendidikan yang liberalistik, diskriminatif, dan eksklusif,
jangan bermimpi menjadi mendiknas karena hanya akan memerosokkan bangsa
Indonesia ke jurang kehancuran, secara ekonomi, politik, sosial, budaya,
maupun peradaban.

Penolakan terhadap mendiknas dari parpol juga didasarkan pada sikap
pesimisme terhadap mereka yang tidak mungkin mampu menciptakan kebijakan
pendidikan yang netral, terbebas dari kepentingan agenda politik
internalnya. Untuk itu, dibutuhkan presiden yang sensitif terhadap aneka
persoalan kebangsaan agar tidak salah dalam memilih mendiknas.

/Darmaningtyas Aktivis Pendidikan; Tinggal di Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/12/05351268/memperebutkan.mendiknas
/
Share this article :

0 komentar: