Menerka Ujung Kasus Agus Condro
/Oleh: Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator ICW/
*SETELAH* sekian lama publik menanti, KPK meningkatkan status kasus
dugaan suap dalam pemilihan deputi gubernur senior BI pada Juni 2004
lalu dari penyelidikan ke penyidikan. Hal itu ditandai dengan penetapan
empat tersangka pertama, yang saat ini semuanya berasal dari kalangan
DPR. Mereka adalah Endin A.J. Soefihara (anggota DPR dari Fraksi PPP),
Dudi Makmun Murod (anggota DPR dari Fraksi PDIP), Hamka Yamdu (mantan
anggota DPR dari Fraksi Golkar), dan Udju Djuhaeri (mantan anggota DPR
dari Fraksi TNI-Polri).
Latar belakang para tersangka yang berbeda fraksi itu semakin menguatkan
dugaan bahwa pemberian cek perjalanan yang nilainya ditaksir Rp 500 juta
per lembar tersebut bukan hanya melibatkan fraksi besar di Komisi IX DPR
periode 1999-2004. Namun, hampir semua fraksi yang ada di dalamnya.
Kalkulasinya mudah, di antara total 56 anggota Komisi IX DPR, calon
pejabat publik yang ingin terpilih harus mendapatkan sekurang-kurangnya
50+1 suara dukungan.
Sementara komposisi anggota DPR di komisi IX tidak ada satu pun fraksi
yang memiliki anggota mayoritas mutlak. PDIP sebagai fraksi terbanyak
hanya diwakili 17 anggota, disusul Golkar dengan 15 kader, 7 dari PPP, 5
dari PKB, 5 dari Fraksi Reformasi, dan 4 dari Fraksi TNI-Polri. Tiga
suara sisa dibagi rata untuk Fraksi Daulat Ummat, Fraksi Bulan Bintang,
dan Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia.
Catatan hasil pemilihan deputi gubernur senior BI pada Juni 2004
menunjukkan, total dukungan yang diberikan kepada Miranda Gultom
mencapai 41 suara. Jika seluruh suara Fraksi Golkar, PDIP, PPP, dan
TNI-Polri digabung, akan terdapat 41 suara, yang berarti klop dengan
dukungan yang didapatkan Miranda Gultom saat pemilihan.
*Naik Pasca-Antasari*
Spekulasi bahwa kasus Agus Condro tidak akan dapat diproses KPK kini
telah dibayar kontan dengan penetapan empat tersangka. Masalahnya,
status kasus itu naik menjadi penyidikan setelah Ketua KPK Antasari
Azhar (AA) harus dinonaktifkan karena menjadi tersangka kasus dugaan
pembunuhan. Ini bisa diartikan, ada masalah nonteknis di KPK selama AA
menjadi ketua KPK yang membuat kasus suap yang dilaporkan Agus Condro
begitu lama tertahan di tingkat penyelidikan.
Oleh karena itu, Komite Etik KPK yang kini tengah mempelajari dan
mendalami berbagai dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua KPK nonaktif
AA perlu juga melihat kemungkinan pelanggaran pada penanganan berbagai
kasus korupsi di KPK. Langkah ini penting untuk mengembalikan KPK
sebagai lembaga independen yang kredibel dan memiliki integritas tinggi.
Agar Komite Etik bisa lebih objektif dan hasilnya mendalam, alangkah
baiknya jika pimpinan KPK saat ini mengakomodasi perwakilan masyarakat
untuk masuk sebagai anggota komite. Mereka bisa berasal dari kalangan
akademisi, tokoh LSM, atau tokoh masyarakat yang sudah diakui serta
dikenal luas integritas dan kredibilitasnya.
*Calo Perbankan*
Belajar dari kasus suap BI terdahulu yang melibatkan gubernur BI dan
petinggi BI lainnya, penetapan empat tersangka oleh KPK dalam dugaan
kasus suap pemilihan deputi gubernur senior BI bisa dilihat sebagai
langkah awal saja. Sebagai sebuah kasus politik uang, tentu di dalamnya
ada yang disuap dan ada yang menyuap. Saat ini KPK baru berhasil
mengungkap sebagian kecil pihak yang menerima suap. Sementara yang
memberikan suap belum diproses sama sekali.
Karena praktik politik uang di DPR merupakan bagian dari bentuk
kejahatan terorganisasi, maka sudah dapat dipastikan jika ada yang
menjadi bos dan anak buah. Merujuk pada pengakuan Agus Condro ke KPK,
bisa disebut bahwa Agus Condro adalah anak buah. Dia tidak mengetahui
sama sekali transaksi politik tersebut.
Pendek kata, kegiatan semacam itu bukan merupakan tugas Agus Condro,
tetapi ada petinggi di komisi IX yang lebih berwenang melakukan
negosiasi. Dengan begitu, mengungkap otak di balik suap itu merupakan
tanggung jawab KPK yang telah menetapkan beberapa anggota DPR sebagai
tersangka.
Pekerjaan berat KPK lainnya adalah mengungkap siapa yang membiayai
transaksi politik uang dalam pemilihan deputi gubernur senior BI.
Kemungkinannya dua. Pertama, transaksi itu dibiayai sendiri oleh Miranda
Gultom. Kedua, ada pihak lain yang menjadi donatur agar anggota komisi
IX memilih Miranda.
Kemungkinan yang pertama sangat kecil. Sebab, catatan kekayaan Miranda
Gultom pada 2001 yang dilaporkan ke KPKPN hanya sekitar 6 miliar rupiah.
Sangat mustahil dalam kurun tiga tahun, yakni pada Juni 2004, Miranda
Gultom mampu membiayai pemilihan dirinya hingga mencapai Rp 24 miliar.
Oleh karena itu, kemungkinan kedua menjadi lebih logis, yakni adanya
donatur yang memberikan dukungan finansial penuh agar Miranda terpilih.
Saksi berinisal 'N' yang disebut-sebut KPK bisa jadi adalah Nunung yang
dulu sempat beberapa kali diperiksa KPK. Nunung adalah istri Adang
Dorodjatun, mantan pejabat Polri dan mantan calon gubernur DKI Jakarta.
Pertanyaannya, dalam kapasitas sebagai apa saksi berinisial 'N'
diperiksa KPK jika bukan karena terkait dengan aliran uang ke anggota
komisi IX?
Sementara jika melihat latar belakangnya, 'N' bukanlah pihak yang
memiliki kepentingan langsung dengan sebuah bisnis yang berkaitan dengan
kebijakan pengawasan Bank Indonesia. Oleh karena itu, hipotesis yang
bisa diajukan adalah bahwa 'N' bukanlah penyumbang sesungguhnya. Bisa
jadi, dia hanya sebagai perantara dalam kasus tersebut.
Lantas, siapa yang menjadi calo dalam pemilihan deputi gubernur senior
BI kala itu? Itulah pertanyaan penting yang harus dicari jawabannya. (*)
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Menerka Ujung Kasus Agus Condro
Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.42
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar