BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menakar Program Ekonomi Capres

Menakar Program Ekonomi Capres

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.42

Menakar Program Ekonomi Capres
Oleh Achmad Deni Daruri President Director Center for Banking Crisis


R OSTOW pernah mengatakan “The stages of growth are an arbitrary and
limited way of looking at the sequence of modern history: ... to
dramatize not merely the uniformities in the sequence of modernization
but also--and equally--the uniqueness of each nation’s experience.” Tak
mengherankan kalau para capres terperangkap oleh mazhab neoli - beral
hingga ‘lompat katak’ ala Mao Zedong tanpa melihat kekuatan dan
kelemahan anak negeri sendiri. Target ekonomi para capres baru sebatas
tingkat pertumbuhan ekonomi, namun itu sudah merefl eksikan strategi
ekonomi mereka
Berdasarkan incremental capital output ratio (ICOR), strategi ekonomi
yang paling rasional adalah yang mampu membawa perekonomian Indonesia
yang sustainable. Peran investasi tidak terabaikan dan juga tidak
dianggap berlebihan
Jika pertumbuhan ekonomi hanya dipatok sebesar 7% per tahun, itu sama
artinya dengan pemerintah tidak bekerja keras untuk membangun iklim
usaha yang kondusif dan pemerintah tidak peduli dengan penciptaan
lapangan kerja baru agar pengangguran dapat dihapus
Jika pertumbuhan ekonomi ditetapkan 10% per tahun (atau lebih tinggi),
pemerintah tidak berpikir cerdas karena mesin ekonomi akan terkendala
oleh kondisi ‘overheating’ yang justru menyebabkan pertumbuhan ekonomi
gagal berlangsung secara terus-menerus. Pertumbuhan ekonomi antara 7,5%
hingga 8,5% per tahun adalah pertumbuhan ekonomi yang dapat menyehatkan
pembangunan ekonomi di Indonesia karena pemerintah tidak tidur.
Pemerintah aktif membangun iklim usaha yang lebih kondusif, pengangguran
dapat dikurangi dan lebih penting dari itu memanasnya mesin ekonomi
dapat dihindari
Dari kategori ini, target pertumbuhan dari JK lebih rasional ketimbang
para capres lainnya
Jangan lupa bahwa kaum neoliberal mengasum
sikan netralitas Hicks dalam kemajuan teknologi sehingga ICOR juga
terperangkap dalam kaidah neoklasik. Dalam arti ini, target ekonomi SBY
sebesar 7% (itu pun pada akhir tahun kelima mendatang) sebetulnya
membuktikan bahwa teknokrat SBY terperangkap oleh mazhab neoliberal dan
menjadi tawanan pola pikir Adam Smith. Perlu diingat bahwa selama SBY
menjadi presiden, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanyalah 5,8%
per tahun
Sebagaimana yang dikatakan Friedrich List bahwa perekonomian Indonesia
sudah tertawan oleh mazhab neoliberal: “The manufacturing and
agricultural interest must be promoted and protected even by sacrifi ces
of the majority of the individuals, if it can be proved that the nation
would never acquire the necessary perfection ... without such protective
measures.” Jauh di bawah kemampuan untuk menciptakan kondisi ‘take off’
bagi perekonomian Indonesia sebagaimana yang dikemukakan oleh Rostow.
Jika para teknokrat terbelenggu oleh pemikiran neoliberal, strategi
ekonomi yang dianut juga terpaksa mengadopsi strategi ekonomi yang
keliru sehingga persyaratan untuk ‘take off’ menjadi tidak terpenuhi
Bahkan dapat dikatakan dalam lima tahun terakhir ini perekonomian
Indonesia mengalami abort to take off atau gagal lepas landas tanpa
kendali karena pergeseran dari V1 ke V2 belum mencapai kecepatan
pertumbuhan ekonomi yang memadai. Sementara itu dari sisi kemajuan
teknologi yang bersifat Harrold Neutral maka target pertumbuhan ekonomi
dua digit menyerupai upaya Mao Zedong dalam strategi ‘leap frog’-nya
itu. Strategi yang terbukti gagal yang menyebabkan ratusan juta rakyat
China terjerumus ke dalam kelaparan mahadahsyat
Dalam konteks perekonomian Indonesia, ‘take off’ hanya akan terjadi jika
akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai titik ketika
pengangguran terbuka dan terselubung dapat mengalami penurunan. Tidak
dalam konteks penurunan yang revolusioner, tetapi penurunan yang
gradualis sehingga tidak membuat ‘overheating’ mesin perekonomian.
Dengan kapasitas
perekonomian yang semakin menghemat tenaga kerja dan pertumbuhan sektor
industri yang terseok-seok, saat data terakhir justru memperlihatkan
pertumbuhan sektor industri lebih rendah daripada sektor telekomunikasi,
pertanian, dan pertambangan, pertumbuhan ekonomi yang ideal harus
berkisar antara 7,5% hingga 8,5% per tahun. Jika pengangguran dapat
secara sistematis dikurangi, Gini Koefi sien juga akan dapat dibuat
lebih ideal. Dengan strategi pertumbuhan ekonomi yang hanya 7% (apalagi
di bawah itu), Gini Koefi sien tidak akan mengalami perbaikan yang
berarti karena ‘lumpur’ kemiskinan terus mengisap perekonomian nasional
Sementara itu jika pertumbuhan ekonomi mencapai dua digit, mesin ekonomi
akan ‘stall’ yang menyebabkan stagnasi dalam perekonomian (menciptakan
kemiskinan yang lebih dahsyat lagi seperti pada kasus Mao Zedong)
Gini Koefi sien akan membaik secara necessary condition jika pertumbuhan
ekonomi dapat dijaga pada posisi 8% per tahunnya. Namun, upaya itu harus
didukung dengan suffi cient condition yaitu berupaya program kemandirian
ekonomi nasional yang berbasis industrialisasi
Jika upaya ini dilakukan, investasi yang diperlukan akan semakin efisien
sehingga ICOR saat ini sebesar 3,5 dapat ditingkatkan menjadi 4,5.
Dengan strategi yang bebas dari Hicks Neutral, investasi yang masuk juga
bukan hanya berupa ‘hot money’ yang merupakan investasi portofolio,
tetapi juga investasi yang bersifat melekat pada kualitas sumber daya
manusia
Jika strategi pembangunan ekonomi seperti saat ini (baca: strategi
ekonomi neoliberal), pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010 hanya mencapai
4% per tahun, karena perekonomian terperangkap pada kapital yang
bersifat Hicks Neutral. Jelas sekali strategi seperti ini akan banyak
mengandalkan investasi portofolio yang berpotensi mencapai 20% hingga
40% dari kebutuhan investasi bagi pembangunan. Strategi seperti ini
bukan hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang rendah, tetapi juga bersi
fat fl uktuatif. Kemandirian perekonomian juga akan sulit terjadi karena
modal yang masuk bersifat bebas dan tak mengandung kemajuan teknologi.
Perekonomian akan semakin tertawan oleh pembangunan ekonomi berdasarkan
konsumerisme hedonistik yang merupakan motor utama dari aliran
neoliberal dengan pakem liberalisasinya itu. Pertumbuhan konsumsi
masyarakat akan ditargetkan tinggi sebesar 4,5% per tahun dan konsumsi
pemerintah mencapai 6,5% per tahun. Sementara itu, sektor industri
dibiarkan tumbuh di bawah 2% per tahun. Padahal menurut Rostow, strategi
high mass consumption baru terjadi ketika perekonomian mencapai tahap
pembangunan ekonomi yang paling tinggi seperti yang terjadi di Amerika
Serikat
Strategi pertumbuhan ekonomi di bawah 7% hingga 7% per tahun adalah
strategi ‘hara-kiri’ bagi keberadaan NKRI! Dengan ekonomi yang lumpuh,
wilayah Indonesia secara sistematis juga semakin rentan untuk dicaplok
oleh pihak asing seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Padahal List juga
sudah mengingatkan: “A nation would act unwisely to endeavour to promote
the welfare of the whole human race at the expense of its particular
strength, welfare, and independence. It is a dictate of the law of
self-preservation to make its particular advancement in power and
strength the fi rst principles of its policy.” Perekonomian Indonesia
membutuhkan askelerasi pertumbuhan ekonomi, dan juga tidak membutuhkan
‘lompatan kodok’ yang terbukti gagal dijalankan oleh Mao Zedong
Kita harus belajar dari China khususnya Deng Xioping yang merupakan
murid ideologi dari Friederich List yang kata-katanya sangat menggugah
itu yaitu “Any nation which by means of protective duties and
restrictions on navigation has raised her manufacturing power and her
navigation to such a degree of development that no other nation can
sustain free competition with her....” Lemahnya pertumbuhan sektor
industri di Indonesia merupakan bukti bahwa ‘otak’ teknokrat Indonesia
telah terjajah oleh ‘kitab suci’-nya Adam Smith!

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/11/ArticleHtmls/11_06_2009_021_004.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: