Cermin Retak Pemberantasan Korupsi
Reformasi sebagai sebuah komitmen politik penataan ulang bangsa ini
hanya akan bermakna kalau korupsi diperangi secara sistematis. Sebagai
sebuah komitmen bernilai tinggi, segera setelah (reformasi) digulirkan,
dibentuklah serangkaian undang-undang.
Selain membentuk undang-undang yang mengatur prinsip-prinsip
penyelenggaraan negara, dibentuk juga UU No 31 Tahun 1999 menggantikan
UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena
spektrum korupsi telah sedemikian luas,UU 31 Tahun 1999 itu pun diubah
lagi.Lahirlah UU No 20 Tahun 2001.Komitmen ini menggeliat terus dengan
dibentuknya UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK).
Kehadirannya menambah semarak bukan cuma terhadap institusi
pemberantasan korupsi konvensional (kepolisian dan kejaksaan), tetapi
juga menyemarakkan hiruk-pikuk politik pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Problem Politik
Berkaca pada postur pemberantasan korupsi sejak 1957 hingga kini,
termasuk di belahan dunia lain, tampaknya tidak terlalu keliru untuk
berdalil bahwa pemberantasan korupsi di mana pun, dalam kehidupan
politik dan sistem hukum apa pun,sepenuhnya merupakan perkara politik
dan hukum yang tidak netral.
Perkara ini unik karena dapat dijadikan komoditas politik–– yang mungkin
paling seksi. Selain itu relasi politik dan hukum dalam lingkungan
politik dan sistem hukum yang demokratis sekalipun selalu mengh a s i l
k a n institusi hukum yang tidak otonom. Kalangan hukum yang kritis tahu
bahwa hukum tidak pernah beroperasi dalam lingkungan yang otonom. Betapa
pun demokratisnya lingkungan politik selalu ada pengaruhnya terhadap
pelaksanaan hukum.Bagi kalangan ini watak substansial hukum boleh saja
responsif, tetapi tidak untuk penegakannya.
Nixon, Presiden Amerika Serikat yang dituduh terlibat dalam apa yang
dikenal dengan Irangate, dan Bill Clinton dalam beberapa kasus beberapa
waktu yang lalu menjadi buktinya. Menariknya, korupsi tetap menjadi isu
genit bagi segelintir orang politik. Apalagi kalau kenyataannya korupsi
berlangsung sedemikian telanjang, sistematis, dan kemelaratan rakyat
bergerak ke arah titik nadir serta kebobrokan penegakan hukum sudah
sedemikian menjengkelkan.
Menariknya pula rakyat banyak tidak akan tergerak dalam memerangi
masalah ini. Mungkin tepat tesis Gaetano Mosca bahwa orang-orang yang
terbanyak memang terlahir untuk diperintah. Karena itu tidak keliru
kalau dikatakan bahwa membayangkan munculnya gairah rakyat untuk
menggempur korupsi pasti merupakan sebuah mimpi yang terlalu buruk.Sama
buruknya dengan memimpikan uluran tangan politisi dan pengusaha untuk
bahu-membahu menggempur korupsi (Ichlasul Amal,1991).Dalam sejumlah
kasus, politisi dan pengusaha justru saling membutuhkan.
Apalagi politisi mungkin, karena kodratnya, selalu dibelit kebutuhan-
kebutuhan terhadap uang yang tak ada ujungnya untuk membiayai pergerakan
politik mereka. Tidak terlalu mengherankan kalau mereka selalu bergairah
membangun jalinan persahabatan politis dengan sebagian besar pengambil
keputusan dalam birokrasi, termasuk penegak hukum. Koneksi ini selalu
indah dan dinantinanti oleh mereka. Bos-bos di bawah menteri juga
memerlukan koneksi dengan para pengusaha dan politisi untuk berbagai
macam alasan dan kebutuhan.
Mimpi Buruk
Bangsa ini memiliki catatan sejarah yang menarik tentang pemberantasan
korupsi. Sejak 1957, bangsa kita telah berurusan dengan isu busuk
ini.Namun isu ini cuma menggeliat sebentar, ditandai dengan beberapa
petinggi di kabinet Juanda dibawa ke pengadilan pada akhir tahun 1958.
Setelah itu langsung meredup. Berakhirnya politik Banteng salah satunya
disebabkan tidak adanya dukungan politis fanatik oleh partai politik dan
birokrasi terhadap politik ini. Kegagalan yang sama terjadi dalam
politik pemberantasan korupsi pada pemerintahan Presiden Soeharto.
Secepat kilat isu pemberantasan korupsi naik tensinya dan secepat kilat
pula isu ini menghilang ditelan gegap gempita pembangunan.
Sistem hukum yang berinduk pada sistem politik kala itu,dengan presiden
di puncaknya, jelas berandil besar terhadap matinya politik
pemberantasan korupsi pada masanya. Reformasi boleh saja muncul
menggantikan Orde Baru, tetapi politik pemberantasan korupsi tetap saja
cuma indah dalam pidatopidato dan di warung-warung kopi.
Korupsi tetap saja sama gilanya dengan masa lalu dan hukum tetap saja
tertatih-tatih, persis seperti pada masa lalu,terutama di daerah yang
kurang tersorot oleh pers nasional. Terbunuhnya wartawan Radar Bali,
demonstrasi yang berujung perkelahian antara demonstran dengan petugas
kejaksaan di Kendari, pemblokadean jalan di Situbondo beberapa waktu
lalu, tak jelasnya penanganan laporan Agus Condro, tak kunjung tuntasnya
penyelesaian RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan berbagai kasus
lain menjadi contoh tanpa menutup mata terhadap sejumlah kasus korupsi
yang telah diungkap.
Contoh tersebut cukup untuk menandai kerapuhan politik kita dalam
memberantas korupsi. Postur politik hukum pemberantasan korupsi yang
demikian itu paralel dengan cermin retak. Cermin,betapapun parah
keretakannya, tetap dapat digunakan untuk becermin walaupun pasti tidak
dapat memantulkan bayangan kita secara utuh. Cermin ini akan terus
berlanjut sampai ada orang yang sangat jujur di panggung politik
memimpin perang melawan korupsi.
Selama tidak ada orang seperti ini, selama itu pula politik
pemberantasan korupsi tetap berkarakter cermin retak-retak.Apalagi kalau
politik pengisian jabatan beroperasi dengan biaya tertentu dan kompetisi
pengisian jabatan politik juga beroperasi dengan biaya ekstra.Kalau
situasi ini menjadi postur asli pemberantasan korupsi, mimpi tentang
kesejahteraan rakyat benar-benar merupakan mimpi buruk.(*)
Margarito Kamis
Doktor dalam Bidang Hukum Tata Negara
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/246100/
Cermin Retak Pemberantasan Korupsi
Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.47
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar