BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kampanye Tanpa Isu Pendidikan

Kampanye Tanpa Isu Pendidikan

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.21

Kampanye Tanpa Isu Pendidikan


*Ki Supriyoko*

Ada perbedaan signifikan antara kampanye pemilu legislatif dan kampanye
pemilu presiden-wakil presiden tahun 2004 dengan tahun 2009.
Perbedaannya terletak pada diangkatnya isu pendidikan.

Dalam kampanye tahun 2004, berbagai organisasi politik peserta pemilu
serta capres dan cawapres gencar mengangkat berbagai isu pendidikan;
khususnya anggaran pendidikan. Mereka berjanji mengalokasikan anggaran
pendidikan setidaknya 20 persen dari RAPBN jika menang; bahkan ada yang
berani 25 persen. Begitu gencar isu pendidikan ditiupkan sampai ada
komentar pendidikan dijadikan komoditas politik.

Sekarang? Kampanye terfokus pada masalah ekonomi. Isu pendidikan hampir
tidak pernah ditiupkan ke masyarakat. Benar, Megawati dan Prabowo
menyatakan akan menghapus UU BHP Pendidikan, tetapi UU itu bukan isu
primer pendidikan nasional.

*Tiga isu primer*

Masih ada waktu bagi ketiga pasang capres dan cawapres jika ingin
meniupkan isu pendidikan. Ada tiga isu primer yang layak disosialisasi;
yaitu anggaran pendidikan, partisipasi pendidikan, dan kualitas pendidikan.

Isu primer pertama adalah anggaran pendidikan untuk memberikan kemudahan
warga negara dalam mendapatkan layanan pendidikan. Anggaran pendidikan
Indonesia sebesar 20 persen dari RAPBN dan RAPBD amat memadai; jarang
ada negara yang mampu ”bersaing”.

Masalahnya, meski besar anggaran pendidikan telah dipatok dalam UU
Sisdiknas dan UUD 1945, hingga kini tak pernah tercapai. Memang anggaran
kita meningkat, tetapi jangan lupa korupsinya, baik yang kasatmata (real
corruption) maupun yang tidak (invisible corruption) jumlahnya sangat
besar. Alhasil kemudahan mendapatkan layanan pendidikan bagi warga
negara belum berjalan mulus.

Isu primer kedua menyangkut partisipasi pendidikan, yaitu bandingan
antara anak sekolah dan anak yang seharusnya bersekolah. Partisipasi
pendidikan SD/MI di Indonesia kini baru sekitar 93 persen; sedangkan
SMP/MTs baru 65 persen.

Jika kita ingin menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, kita masih
harus menyekolahkan tujuh dari setiap 100 anak usia SD dan 35 dari
setiap 100 anak usia SMP. Ini tantangan amat serius yang perlu dijawab
calon pemimpin negeri ini.

Oleh World Bank, UNESCO, dan beberapa lembaga internasional, partisipasi
pendidikan atau partisipation rate of education telah dijadikan
barometer untuk mengukur sejauh mana negara memberi layanan pendidikan
bagi warganya. Artinya, jika partisipasi pendidikan di Indonesia masih
rendah, berarti negara kita belum memberi layanan pendidikan optimal
bagi warganya.

Isu primer ketiga menyangkut kualitas pendidikan. Banyaknya pejabat yang
korup merupakan cermin rendahnya kualitas pendidikan kita. Mengapa?
Pendidikan tidak saja terkait kecerdasan dan keterampilan (otak kiri),
tetapi juga terkait kejujuran dan perilaku konstruktif lain (otak kanan).

Benar anak kita berhasil memenangi beberapa event internasional, seperti
di SD ada Primary Mathematic World Contest (PMWC), SMP ada International
Junior Science Olympiad (IJSO), SMA ada International Mathematic
Olympiad (IPhO), International Physic Olympiad, dan lainnya. Semua itu
perlu disyukuri. Namun, itu adalah prestasi individual yang tak
mencerminkan anak Indonesia seluruhnya.

Senyatanya prestasi kolektif kita masih rendah; lihat prestasi
matematika dalam Trends of Internasional Mathematic and Science Study
(TIMSS), prestasi membaca pada Progress in International Reading and
Literacy Study (PIRLS), dan sebagainya.

*Perlu diangkat*

Kini, ketiga isu pendidikan itu perlu diangkat dalam kampanye pemilihan
presiden dan wakil presiden. Hal ini bukan hanya untuk mengukur sejauh
mana para kandidat memiliki kepedulian pada masalah pendidikan, tetapi
lebih daripada itu dapat dijadikan indikator sejauh mana para kandidat
memiliki ketepatan strategi untuk mengentaskan bangsa dari keterpurukan.

Secara empirik, negara mana pun di dunia ini sulit maju jika alokasi
anggaran pendidikannya rendah, partisipasi pendidikan masyarakat rendah,
dan kualitas pendidikannya rendah. Keuntungan lain, jika kandidat
presiden dan wakil presiden berani mengangkat isu pendidikan primer itu,
rakyat berkesempatan menagih janji jika kelak apa yang dijanjikan saat
kampanye tidak dipenuhi dalam praktiknya.

Dalam kondisi bangsa yang sedang terpuruk seperti sekarang, wajar jika
rakyat hanya memilih kandidat presiden dan wakil presiden yang memiliki
ketepatan strategi untuk mengentaskan dari keterpurukan dengan menyolusi
ketiga masalah primer itu.

/Ki Supriyoko Direktur Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa
Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/12/05335658/kampanye.tanpa.isu.pendidikan
/
Share this article :

0 komentar: