BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Berita Negatif dan Bahasa Hukum

Berita Negatif dan Bahasa Hukum

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.18

Berita Negatif dan Bahasa Hukum

LEBIH dari 20 tahun lalu, perusahaan terkenal, P&G,menuntut seorang guru
ke pengadilan.Berbeda dengan Prita Mulyasari yang menjalani sendiri
masalahnya dengan RS Omni, guru itu hanya menyampaikan apa yang ia dengar.


Apakah yang ia dengar? Ia mendengar P&G adalah penyumbang besar bagi
satanic church. Ia juga mendiskusikan logo P&G yang ditafsirkan dari
jumlah utang–utangnya. Guru itu dituntut dan dihukum. Sejak saat itu,
orang mulai jera menggunjingkan kaitan antara P&G dengan berita–berita
negatif. Sejak itu pula masuklah sejarah itu dalam buku–buku teks
marketing communication, teknik mengatasi gunjingan atau rumor.Teknik
itu adalah ”matikan api kecil sebelum ia menjalar menjadi besar”.

Motivasi Negatif

Dengan kata lain, pendekatan hukum dapat dipakai untuk membuat orang
jera. Berita tentang dipenjarakannya penyebar rumor membuat orang jadi
berpikir.Kembali ke Prita Mulyasari, dapatkah kita mengatakan Prita itu
penyebar berita negatif? Tentu saja tidak. Prita adalah objek, yaitu
cerita dalam berita yang tersebar luas. Ia mengeluh,melakukan sharing.

Orang–orang yang menerima email itulah yang menyebarkan gosip.Mengapa
mereka menyebarkan kepada teman–teman mereka? Teori rumor mengatakan,
orang–orang yang terlibat menyebarluaskan berita negatif mempunyai
banyak motif. Ada yang motifnya meng-entertaindiri,ingin menunjukkan ia
berada di pusat informasi, bersimpati kepada korban, sebagai bahan
introspeksi atau ada kepentingan–kepentingan di balik suatu berita. Apa
pun alasannya,penting bagi setiap perusahaan yang sering menjadi objek
rumor untuk mempelajari mengapa perusahaan, institusi,atau personalnya
menjadi sasaran rumor.

Sebab setiap ada gejala penyebaran berita– berita negatif ada indikasi
lain yang perlu mendapat perhatian, yaitu adanya sesuatu yang
”bermusuhan”. Menurut sejumlah ahli sosiologi rumor, ada suatu praktik,
tradisi, kebiasaan, filosofi atau nilai– nilai yang bertentangan dengan
”tuntutan” komunitas atau pasar. Praktik– praktik atau tata nilai itu
bisa saja positif, seperti orang yang berprestasi di antara orang–orang
yang malas sehingga ia dibicarakan negatif karena sesungguhnya ia
menjadi ancaman bagi komunitas yang sekarang tidak bisa lagi bersembunyi.

Tetapi bahasa instropeksi perlu kita gunakan di sini, yaitu
”jangan–jangan ada yang salah pada diri kita”.Seperti perusahaan–
perusahaan besar, Anda orang– orang hebat pun,mungkin pernah dibicarakan
negatif dan tidak dengan sendirinya berita itu benar. Tetapi kedewasaan
Anda akan muncul manakala Anda mau berintropeksi.

Anda akan menjadi jauh lebih hebat dengan kritik– kritik pedas dan
rumor–rumor yang mendewasakan Anda.Namun bisa jadi juga, sebenarnya
tidak layak kita membantahnya. Bisa jadi juga Anda memang mempunyai
kebiasaan buruk yang harus segera dikoreksi.

Tekanan Hukum Bisa Menjadi Bumerang

Lain dulu lain pula sekarang. Tiga puluh tahun lalu,P&G hidup di zaman
kertas. Sekarang Prita hidup di zaman internet dan dunia digital. Di era
sekarang ini segala informasi begitu cepat beredar dan manusia selalu
bersimpati pada the weak target, yaitu orang–orang lemah,yang terlihat
teraniaya.

Ini pulalah zamannya komplain, semua orang menjadi ahli komplain dan
senang menulis unek-uneknya. Medianya pun tersedia luas. Sulit sekali
membedakan mana ranah publik dan mana ranah pribadi. Semua orang bebas
berbicara dan mereka tidak mewakili kelompok apa–apa selain dirinya
sendiri. Maka, semakin seseorang tepersepsi dianiaya, ia akan semakin
diuntungkan. Di kitab suci pernah dikatakan, mereka yang direndahkan
akan ditinggikan.

Kini hal itu benar–benar menjadi kenyataan. Bagi pengacara Prita,
seperti yang dikatakannya di salah satu stasiun televisi, ”Lebih senang
menghadapi masalah ini dalam ranah hukum.” Karena, katanya, semua akan
menjadi jelas. Namun di masyarakat, masalahnya, publik awam hukum.
Publik yang ”bodoh” ini hanya membaca dengan bahasa simbol belaka,yaitu
bahasa persepsi.Celakanya, semakin keras bahasa tekanannya, semakin
besar kebencian publik kepada mereka yang kuat. Celakanya pula yang
berkelahi itu bukanlah penasihat hukum melawan penasihat hukum,
melainkan publik melawan perusahaan.

Penasihat hukum dapat berbicara terbuka dan jarang dituntut secara hukum
karena mereka sangat ahli terhadap hukum, tetapi perusahaan menyandang
simbol keperkasaan,mampu membeli apa saja karena kekuatan modal. Jadi
apa pun yang terjadi selalu ingatlah bahwa hukum memang harus
ditegakkan, tapi jaga baik–baik kekuatan agar tidak menjadi bumerang.
Gunakanlah kearifan untuk introspeksi karena selalu ada hikmah di balik
setiap masalah.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/246121/38/
Share this article :

0 komentar: