BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Janji Ekonomi Calon Presiden

Janji Ekonomi Calon Presiden

Written By gusdurian on Minggu, 21 Juni 2009 | 11.26

Janji Ekonomi Calon Presiden

KAMPANYE Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 dalam bidang ekonomi semakin
mengerucut pada perdebatan paradigmatik: ekonomi kerakyatan versus
ekonomi neoliberal.

Di satu pihak kenyataan ini menggembirakan, lantaran mengajak kita untuk
berpikir serius tentang komitmen ideologi dan kontrak sosial kita
sebagai bangsa.Suatu upaya untuk keluar dari jebakan pragmatisme ekonomi
yang selama 64 tahun merdeka belum membawa kepastian perwujudan
cita-cita kedaulatan dan kemandirian.

Di pihak lain,bila tidak disertai jabaran dan penjelasan yang rinci,
perdebatan tersebut mudah tergelincir menjadi retorika politik, yang
akan berlalu begitu saja. Soalnya, pada dataran normatif, semua pihak
seperti memiliki citacita dan program kerja yang sama. Semua menempatkan
kepentingan rakyat sebagai prioritas utama.

Sesungguhnya kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pembangunan ekonomi
selama ini bukan hal yang baru. Kritik terhadap pembangunan ekonomi yang
mengandalkan utang dan pengurasan kekayaan alam sudah lama kita dengar.
Gugatan terhadap pembangunan yang memperbesar kesenjangan ekonomi juga
bukan barang baru.

Kesadaran kita bahwa yang terjadi dalam pembangunan bukan
efektetesanembun(trickle- down effect) melainkan efek penghisapan ke
atas (trickle-up economy) juga telah berkali-kali kita dengar.
Perdebatan tentang pilihan pertumbuhan disertai pemerataan (growth with
equity) dengan pemerataan sebelum pertumbuhan (equity before growth)
pernah pula berlangsung seru.

Upaya untuk mencari perimbangan yang pas antara intervensi pemerintah
(visible hand) dan peran mekanisme pasar (invisible hand) telah lama
menjadi pembicaraan umum. Bahkan, renungan soal mana yang lebih parah
antara kegagalan pemerintah (government failure) atau kegagalan pasar
(market failure),pernah dikemukakan secara luas.

Mengapa tiba-tiba jargon neoliberal begitu populer? Jawabnya sederhana,
karena selama ini masyarakat luas lebih banyak disuguhi tontonan
keberpihakan kebijakan terhadap kepentingan modal besar; dan pada saat
yang sama terjadi semacam pembiaran terhadap dampak negatif dari
pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas.

Keberpihakan terhadap modal besar terlihat dari politik alokasi kredit,
politik liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif dan pembebasan
impor,politik alokasi anggaran (termasuk stimulus fiskal) dan
sebagainya. Pada saat yang sama, kita menyaksikan pedagang kaki lima
yang diuber-uber, pengemis jalanan yang berjubel, penduduk miskin yang
diberitakan makan nasi aking, daging tiren serta makanan sisa olah hotel
dan restoran.

Pada saat subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan diturunkan, ada lembaga
dan sejumlah ilmuwan yang beramai-ramai beriklan, mendorong agar
pemerintah tak perlu ragu-ragu menaikkan harga BBM. Sebuah pemberian
legitimasi akademik-intelektual. Sementara pada saat korban lumpur
Lapindo mencari keadilan,yang ditemukan kebisuan dan suasana mencekam.

Kondisi ini membawa rakyat mempertentangkan antara kebijakan yang
“prorakyat” dengan yang “propasar”.Juga terjadi akumulasi kekecewaan dan
perasaan bahwa, mengutip puisi yang pernah dibacakan Rendra, “Kita bukan
sekutu.”Padahal, mekanisme pasar mengandung benih-benih yang menjunjung
tinggi kebebasan memilih,kedaulatan konsumen, dan penghormatan terhadap
kepemilikan— hal-hal yang juga menjadi ciri ekonomi kerakyatan yang
bermartabat.

Kampanye capres yang berisi janji dan upaya mencari solusi terhadap
berbagai persoalan ekonomi harus segera ditindaklanjuti dengan deskripsi
dari program kerja ekonomi yang jelas dan terukur. Rakyat berhak
memperoleh informasi tentang perbandingan program kerja ekonomi yang
riil antarkandidat. Haluan ekonomi kita telah jelas, yaitu apa yang
merupakan roh dan menjadi kesepakatan dalam konstitusi.

Jangan sampai kita terjebak dalam dikotomi, seperti misalnya, fakir
miskin dan anak telantar dipelihara negara (amanat konstitusi), dalam
kenyataan fakir miskin dan anak telantar dipelihara jalan raya
(neoliberal). Merupakan tugas kita bersama untuk menyalakan kembali
semangat konstitusi dalam berbagai kebijakan ekonomi nasional.

Sebagai bangsa, kita memang harus selalu terbuka untuk menarik manfaat
dari hal-hal baru, pemikiran dan pengalaman baru, tetapi tetap harus
berpihak pada nilai-nilai inti (core values) yang telah menjadi
konsensus para pendiri bangsa. Kita telah berjanji, maka kita harus
memberi bukti.(*)

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO
PH.D* Guru Besar FE UKSW,
Salatiga


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/242003/38/
Share this article :

0 komentar: