Blangkon
Apa yang kita ingat tentang 20 Mei 1908? Potret Mas Wahidin
Sudirohusodo. Sang ”dokter Jawa” ini mengenakan blangkon di atas raut
mukanya yang tenang; ia lulusan STOVIA pada awal abad ke-20 yang
bertahun-tahun jadi ikon kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Tapi ingatan orang ramai tak pernah lengkap. Dalam catatan sejarah
Indonesia pada masa itu disebutkan bahwa blangkon, surjan, dan kain—dan
semua ”pakaian daerah” lain—dikenakan para siswa sekolah kedokteran itu
praktis bukan sebagai pernyataan kebanggaan. Blangkon itu penanda
”inlander”; baju dan songkok itu atribut ”pribumi”. Peraturan sekolah
menentukan, kecuali yang beragama Kristen, anak-anak muda itu dilarang
mengenakan jas dan pantalon.
Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh tampak seperti
orang Barat. Mereka tak disebut ”dokter” penuh. Mereka hanya ”dokter
Hindia” atau ”Jawa”. Gaji mereka di dinas pemerintah dan perkebunan jauh
lebih rendah ketimbang para dokter Belanda. Jika bepergian, mereka tak
boleh naik kereta api kelas I—sementara orang Eropa yang berpendidikan
lebih rendah boleh duduk di sana.
Kolonialisme telah menggabungkan apartheid dengan dalih ”orientalisme”
yang kedengarannya murah hati: penguasa Hindia-Belanda, kata mereka,
hendak melindungi ke-”asli”-an para pemuda ”pribumi”.
Tapi para pemuda STOVIA itu merasakan, dari ulu hati sampai ujung kaki,
betapa palsunya sikap murah hati itu. Mereka pun berontak. Sebab memang
tak ada diskriminasi tanpa represi, dan tak ada represi yang tanpa
diskriminasi.
Syahdan, tiap malam, di kamar-kamar asrama mereka, mereka bertemu. Di
sana dengan sepenuh hati mereka nyanyikan lagu Revolusi Prancis, dan
kata-kata sihir Revolusi itu agaknya telah terpahat: libèrté, égalité,
fraternité ou la mort.
Mereka memang mengaduh. Mereka memang terkungkung dalam ketiadaan
”kemerdekaan, kesederajatan, persaudaraan”. Dan dari protes mereka,
mereka ada: mereka jadi subyek. Mereka lemah, tapi tekad mereka
sebenarnya tak mengherankan. Bung Karno berkata dua dasawarsa kemudian:
”…cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!”
Nasionalisme 20 Mei 1908 adalah bagian dari subyek yang
”berkeluget-keluget”—subyek sebagai trauma karena rasa sakit, subyek
yang bergerak untuk menjawab ketiadaan libèrté, égalité, dan fraternité.
Dengan kata lain, subyek yang lahir karena mencoba lepas dari
megap-megap oleh putusnya hubungan dengan ”yang-lain”, dengan liyan,
manusia yang berbeda tapi disebut ”sesama”.
Maka nasionalisme 20 Mei itu bukanlah sebuah solipsisme; ia bukan
kesibukan yang hanya mengakui diri sendiri.
Tentu, nasionalisme itu sikap yang berpihak. Ia partisan. Tapi di sebuah
dunia di mana ada sesama yang diperlakukan sebagai makhluk yang tak
sederajat dan bahkan disisihkan, keberpihakan itu tak terelakkan: para
nasionalis itu berpihak kepada sebuah masa depan ketika tak ada seorang
pun yang dihinakan.
Itu sebabnya mereka mengulangi seruan Revolusi Prancis tentang
”kemerdekaan, kesederajatan, dan persaudaraan” yang mencakup semua
orang. Itu sebabnya Revolusi Indonesia melahirkan sebuah mukadimah
Konstitusi yang menyebut ”hak semua bangsa” untuk merdeka. Mereka
menyuarakan tuntutan universal. Seperti kaum buruh dalam tesis Marx:
proletariat adalah sebuah kelas yang, dari situasinya yang terbatas dan
tertentu, mengusahakan pembebasan tanpa batas, bagi siapa saja dan di
mana saja. Dalam arti ini, Marxisme adalah sebuah humanisme
universal—tapi universalitas yang lahir dari konteks yang spesifik.
Semangat universal ini membuat politik, sebagai perjuangan, jadi
panggilan yang menggugah. Sebab bukan ”aku berontak, maka aku ada”,
melainkan, seperti tulis Albert Camus dalam l’Homme Révolté, ”aku
berontak, maka kita ada”.
Dalam bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”kami”. Bila
pengertian ”kita” lebih menggugah ketimbang ”aku” atau ”kami”, itu
karena subyek, sebagai trauma, merindukan liyan sebagai saudara yang
sederajat dalam kemerdekaan. Dengan kata lain, merindukan agar ”kita” ada.
Dari sini solidaritas lahir dan politik—selamanya sebuah gerak
bersama—bangkit.
Sejarah menunjukkan bahwa solidaritas itu bisa beragam dan berubah-ubah,
sebab ”kita” adalah pertautan ”aku/kami” dengan ”engkau” dalam
multiplisitas yang tak terhingga. ”Aku/kami” dan ”engkau” masing-masing
hanya seakan-akan tunggal pada waktu ke waktu, tapi sebenarnya tak
pernah utuh dan selesai dimaknai. ”Kita” tak bisa sepenuhnya terwakili
dalam organisasi dan identitas apa pun.
Itu sebabnya dari STOVIA, pemberontakan tak berhenti. ”Budi Utomo”
dibentuk sebagai ”aku/kami”, tapi sejarah pergerakan nasional berlanjut
setelah itu. Sebab ”aku/kami” bukan hanya dokter-dokter yang diremehkan.
Kemudian muncul juga ”marhaen”, ”proletariat”, ”pedagang kecil”, dan
entah apa lagi. Nasionalisme sebagai perjuangan pembebasan tak hanya
terbatas pada satu kelompok. Bahkan ”nasionalisme” yang merupakan
perlawanan terhadap imperialisme (dan di sini ia berbeda dari
”nasionalisme” Hitler) hanya bisa setia sebagai perlawanan jika ia jadi
bagian dari emansipasi dunia—seperti semangat yang tersirat dalam lagu
Internationale.
Sebab politik pembebasan adalah sebuah proses: ia lahir dari ”aku/kami”
yang bukan apa-apa menjadi ”aku/kami” yang harus merupakan segalanya.
”Ich bin nichts, und ich müßte alles sein,” kata Marx. Dengan kata lain,
subyek sebagai trauma yang berontak itu harus mencakup semua, siapa
saja. Bukan hanya para pribumi alias inlander. Bukan hanya mereka yang
harus pakai blangkon dengan wajah yang kalem.
/*Goenawan Mohamad
*/
/*http://tempointeraktif.com/hg/caping//2009/05/25/mbm.20090525.CTP130419.id.html
Blangkon
Written By gusdurian on Minggu, 21 Juni 2009 | 12.03
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar