Si Waras di Antara si Gila
Banyak orang berharap bekerja di antara orang-orang waras. Namun, orang-orang ini beda. ''Partner'' kerja mereka justru dari kalangan hilang ingatan. Orang-orang gila.
-----
SEORANG pria tua mendatangi Suroto di Liponsos, Keputih, Rabu (1/4). Terbata-bata, pria itu berujar tentang anaknya yang hilang. Namanya Farid, umur 19 tahun, dari Jombang. Farid, yang agak terganggu jiwanya itu, sudah dua bulan minggat.
Si pria tua mengaku sudah keliling ke berbagai penampungan orang gila, di Lawang, Kediri, dan Madiun, untuk mencari anaknya tersebut. Hasilnya nol besar.
Mendengar kisah itu, Suroto bergerak. Lelaki berumur 60 tahun tersebut bertanya kepada seorang petugas. ''Apa ada nama Farid, asal Jombang, di tempat (penampungan psikosis) lelaki?'' ujar Suroto. ''Mmmm... ada,'' jawab rekannya. Nada suaranya tak meyakinkan.
Suroto lalu membuka gerendel sebesar kepalan orang dewasa yang mengunci tempat penampungan. Rantai panjang yang mengikat kerangkeng hijau setinggi empat meter itu dia sibakkan.
Memasuki tempat tersebut, ayah Farid terlihat bingung. Wajahnya gusar. Dia terlihat bingung mencari anaknya di antara 200 penghuni. Tempat itu memang punya 15 kamar plus sembilan toilet. Tak mungkin rasanya menggedor satu per satu WC tersebut. Tak mungkin pula membangunkan pasien yang tengkurap, hanya untuk melihat wajahnya. ''Mungkin tak ada di sini, Pak,'' kata si pria tua kepada Suroso. Matanya yang kosong bertambah melompong.
Eh, tak disangka, saat menuju pintu keluar, matanya tertumbuk pada pemuda yang sedang melamun di beranda luar kamar. ''Itu Farid! Itu anak saya,'' seru pria tua itu. Matanya yang kosong kini terisi genangan air mata. Dia lantas menghambur dan memeluk Farid. Yang dipeluk tak berekspresi. Datar saja.
Suroto tak mampu menyembunyikan haru. Mata pria kelahiran Tulungagung itu ikut berkaca-kaca. ''Saya sangat bahagia. Masih ada keluarga yang peduli. Kebanyakan penghuni Liponsos itu sudah disingkirkan dari keluarganya,'' ungkap Suroto. ''Bahkan, banyak orang yang menganggap anggota keluarganya yang di Liponsos ini telah mati,'' lanjutnya.
Menurut dia, momen seperti Farid dan ayahnya itu merupakan hal yang paling dicintainya sepanjang 38 tahun karirnya menjadi perawat pasien psikosis. Padahal kata Suroto, mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan kali dirinya terlibat dalam kejadian-kejadian serupa.
***
Di antara lima pegawai tetap dan 54 pegawai honorer di Liponsos saat ini, hanya Suroto yang mengenyam pendidikan keperawatan. Lainnya, terutama petugas-petugas yang mengurus lima ruangan tempat penampungan, rata-rata lulusan SMA dan atau sederajat.
Sebetulnya, Suroto sudah pensiun pada 2005 dari RSJ Menur. Tiga tahun berselang, dr Hendro Riyanto, direktur RSJ Menur saat ini, menawari Suroto pekerjaan. ''Mau atau tidak menjadi tenaga perawat di Liponsos Keputih?'' ungkap Suroto menirukan ucapan Hendro.
Suroto mengiyakan. Dirinya memang butuh pekerjaan. Apalagi, tiga tahun terakhir, dia merasa melalui hari-harinya dengan biasa. Bahkan sangat biasa.
Hampir saban hari dia bercengkerama dengan istrinya, Endang Sulistyowati. Tiga anak Suroto sudah dewasa dan mempunyai pekerjaan mapan. Dua yang pertama sudah menikah. Tapi, mereka masih belum memberi cucu. ''Yah jujur saja, sepanjang hari berada di rumah rasanya mblenger,'' tegasnya.
Pada Oktober 2008, secara resmi Suroto bekerja di Liponsos. Saat dia masuk, jumlah perawat 24 orang. Tentu itu tidak ideal. Mereka harus melayani 600 hingga 700 penghuni panti penampungan tersebut. Sekarang, jumlah perawat sudah 54 orang.
Tugas Suroto di Liponsos adalah merawat, mengawasi, serta memberikan obat secara rutin kepada penghuni yang psikosis. Saat Kamis, hari-hari Suroto sibuk. Sebab, hari itu semua penghuni menjalani pemeriksaan kejiwaan rutin.
Tugas itu bertambah dengan didirikannya Poliklinik Panti Rehabilitasi Sosial pada 9 Februari. Poliklinik yang di-backup Puskesmas Klampis Ngasem tersebut setiap hari melakukan tes fisik pada pasien. ''Seringnya, saya membagikan obat dari dokter kepada penghuni yang telah rampung menjalani tes fisik,'' jelasnya.
Pekerjaan seperti itu memang sudah dijalani Suroto selama lebih dari tiga dekade. Namun, menurut dia, setiap hari dirinya harus terus belajar menghadapi para penghuni. Sebab, penderita psikosis sering bertindak spontan dan mengejutkan. Misalnya, tiba-tiba menjadi agresif dan menyerang. Bahkan, tidak jarang mereka ingin menyakiti diri sendiri.
Tapi, selama ini Suroto mengaku tidak pernah disakiti dan memperoleh pengalaman sangat buruk dengan penderita psikosis. Sebab, dia paham betul mengatasi pasien penderita gangguan kejiwaan. Caranya, komunikasi yang baik. Mereka diperlakukan sebagai manusia normal. ''Kalau kita baik, mereka akan baik. Kalau kita sopan, mereka juga akan memperlakukan kita seperti itu,'' tegasnya.
Suroto melanjutkan, kalau ada penderita psikosis baru datang ke Liponsos, dirinya tidak segan mengajak ngobrol orang itu sebanyak-banyaknya. Apa pun yang diucapkan orang tersebut sebisa mungkin harus ditanggapi senormal mungkin.
Misalnya, tiga hari lalu, Liponsos kedatangan orang baru bernama Suroso. Lelaki tersebut punya halusinasi tinggi tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bagi dia, saat ini Indonesia masih dalam genggaman penjajah Belanda.
Tidak segan, Suroso sering menurunkan bendera merah putih di tempat mana pun yang dia temui. Tidak hanya itu, lelaki tersebut punya kecenderungan menyobek sebuah bendera. Suroso merasa semua bendera merah-putih masih mengandung warna biru di bawahnya.
Terakhir, dia ditangkap Satpol PP Tunjungan karena nekat. Yakni, memanjat dan mencoba menurunkan bendera dari Hotel Majapahit. Suroso juga merasa pernah mengangkat bambu runcing pada 1945. Dengan fasih dia bisa menirukan gaya pidato Bung Tomo. Dalam alam pikirnya, dia adalah anak buah Bung Tomo. Padahal, Suroso lahir pada 1959.
Menghadapi pasien jenis itu, Suroto harus sabar dalam berkomunikasi. Dia pun harus seolah-olah berada dalam alam perjuangan yang sama dengan Suroso. Namun, tetap ada pesan moral yang berusaha disampaikan. Misalnya, menurunkan bendera adalah hal yang buruk.
Meski demikian, ada topik yang bagi Suroto agak susah dilakukan. ''Yakni, tanya alamat. Itu mungkin salah satu yang tersulit. Setiap hari bisa saja berubah-ubah. Ketika pertama ditanya, si A njawab-nya Solo, eh besoknya jadi Ngagel,'' katanya. ''Bahkan ada yang bilang rumahnya di Kecamatan Surabaya, Kabupaten Madiun. Itu kan lucu,'' lanjut Suroto lantas tertawa.
Kalau begitu, yang diperlukan adalah kesabaran. Menurut pria kelahiran 8 September 1949 itu, menangani pasien sakit jiwa justru sangat mudah. Selain terus mengajak penderita ngobrol, perawat harus memberikan obat-obatan yang tepat. Itu harus berjalan beriringan. Jika bisa sinergis, penyembuhan akan mudah tercapai.
Bagaimana dengan pasien yang agresif? Menurut Suroto, itu justru lebih mudah diatasi. Kalau kumatnya sedang memuncak, pasien cukup dikasih obat penenang. Tangan dan kakinya diikat di kasur dengan ikatan yang selalu berubah tiap jam. ''Mungkin dalam sehari, penderita akan tenang,'' imbuhnya. Namun, secanggih-canggihnya pengobatan, tidak akan maksimal kalau keluarga tak lagi memedulikan.
***
Seorang pasien Suroto bernama Agus. Wajah pasien itu cukup bersih dibanding pasien lain. Agus lancar berbicara, tak muncul kesan bahwa dirinya gila.
Lirih Agus berucap, ''Pak Roto, aku pingin mulih (mau pulang, Red)''.
''Lha, omahmu nang endi, to (rumahmu di mana, Red)?'' balas Suroto.
''Cedek, kok, Pak. Nang Ngagel. Aku wis gak krasan nang kene (saya sudah tidak kerasan di sini, Red),'' ungkap Agus.
Suroto tak bisa menjawab. Mulutnya terkunci. Dia sadar, Agus sudah dianggap meninggal oleh keluarganya. (ahmad ainur rohman/dos)
http://jawapos.com/metropolis_weekend/index.php?act=detail&nid=61423
Si Waras di Antara si Gila
Written By gusdurian on Sabtu, 04 April 2009 | 14.17
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar