Jejak Pungli Sepanjang Jalan
Pungutan liar (pungli) seperti jamur yang sulit diberantas. Sekali ditertibkan, ia tetap saja muncul di kemudian hari. Tempo berusaha merekam jejak pungli sepanjang jalan dari sebuah truk kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok yang diduga banyak terdapat pungutan tak resmi itu.
Siang itu matahari seperti memanggang kulit saya. Perjalanan menyusuri jejak pungli saya mulai bersama seorang sopir truk kontainer bernama Odoi yang bermarkas di Cakung, Jakarta Timur. Hari itu kami akan mengambil kontainer barang konsumsi di sebuah pabrik di Cibitung, Bekasi. Saya menjadi kernet di kontainer Odoi.
Truk kontainer yang dikemudikan Odoi berukuran 40 kaki atau sekitar 12,19 meter. Truk itu bisa memuat satu kotak kontainer berukuran sama atau dua kontainer berukuran setengahnya. Untuk kombinasi yang kedua itu, kalangan sopir menyebutnya "kombo". Melalui pintu tol Cakung, perjalanan menuju Cibitung ditempuh dalam waktu 30 menit.
Sesampai di pabrik, kami harus menanti lebih dari tiga jam untuk proses memuat barang dalam kontainer. Waktu tiga jam, kata Odoi, terbilang singkat. "Saya pernah mengantre selama tiga hari empat malam," tutur ayah dua anak itu.
Saat menunggu itulah saya mendapat berbagai kisah pilu para sopir kontainer tentang tindak-tanduk aparat, petugas keamanan, serta pihak manajemen perusahaan yang sewenang-wenang dan tidak memperhatikan kesejahteraan mereka.
Proses memuat barang akhirnya selesai. Di sini Odoi merogoh koceknya untuk memberi Rp 10 ribu bagi para kuli angkut. Saya kemudian mengambil surat perjalanan di loket ekspedisi pabrik. Selesai semua urusan, truk yang telah penuh berisi 32 ton barang itu beranjak menuju Pelabuhan Tanjung Priok.
Beban yang berat membuat kendaraan kami berjalan lebih lambat dibanding perjalanan ke pabrik tadi. Kami tiba sekitar pukul 19.00 WIB di pintu 9 Pelabuhan Tanjung Priok. Di gerbang, setiap kontainer yang masuk harus membayar biaya resmi dengan tiket warna kuning sebesar Rp 5.000.
Malam itu pelabuhan padat. Jalan yang rusak menambah lama perjalanan kami. Setelah 40 menit berada di jalanan berdebu, kami akhirnya tiba di Stack 115, tujuan akhir kontainer yang kami bawa. Para sopir kerap menyebut tempat itu Kade 115. Di sanalah rantai pungli itu mulai berjalan.
Stack 115 adalah salah satu lapangan parkir dermaga atau penampung kontainer yang akan dikapalkan untuk tujuan domestik. Saya mendapat tugas menyampaikan surat jalan dan mengurus surat, sekaligus melihat lebih dekat bagaimana pungli itu terjadi. Turun dari truk, kaki saya arahkan ke sebelah kanan Kade 115.
Tempat yang saya tuju adalah sebuah kantor kecil yang terbuat dari kontainer kosong. Kantor kecil itu ada di balik susunan kontainer-kontainer yang lain. Tiga pria berpakaian rapi dan seorang berseragam satuan pengamanan duduk di sana. Salah seorang dari mereka sibuk menghitung dan menyusun berlembar-lembar uang Rp 1.000 dan Rp 5.000 di tangannya.
Saya kemudian menyerahkan surat jalan untuk kemudian ditukarkan dengan surat keterangan dari pengelola pelabuhan. "Empat ribu, Mas," kata seorang petugas berpakaian seragam. Uang yang memang sudah saya siapkan itu saya serahkan sembari bertanya, "Uang apa itu, Pak?" Satpam itu menjawab dengan cepat, "Uang daftar."
Para sopir dan kernet lain juga telah menyiapkan uang dalam pecahan yang sama sambil mengantre. Mereka tak pernah tahu uang itu untuk apa. "Mau gimana lagi," kata Agus, salah seorang kernet. "Kalau nggak dikasih, barang kita nggak diturunkan (dari truk)," tuturnya ketika saya menanyakan kenapa mau menyetor.
Selesai dari meja pendaftaran itu, selanjutnya adalah melapor dan menyerahkan surat pendaftaran ke petugas crane atau alat pengangkut kontainer untuk proses penyusunan kontainer di lapangan dermaga. Dua pria berompi biru telah siap menyambut. Seorang petugas mengoperasikan alat itu, seorang lagi bertugas mencatat dan menerima uang. Untuk kontainer kami, si petugas pencatat tadi langsung menagih Rp 14 ribu. "Uang bongkar," katanya dengan singkat tanpa menoleh.
Tagihan yang tak pada tempatnya itu sebenarnya ditolak oleh kalangan sopir. Apalagi uang itu menggerus pendapatan mereka. Untuk sekali perjalanan seperti tadi saja, Odoi hanya mendapat uang jalan Rp 175 ribu. Uang itu dipakai untuk semua pengeluaran, kecuali bahan bakar yang telah disediakan. Pengeluaran itu antara lain untuk tiket tol, tiket pelabuhan, uang makan, serta honor sopir dan kernet.
Selain pungli di pelabuhan, sopir kontainer harus menghadapi pungli di jalanan yang kerap dilakukan oleh para preman. Pemalakan itu, menurut Rahmat, terjadi di beberapa titik seperti Cakung, Kapuk, kawasan Industri, dan di beberapa area pabrik.
Tidak jarang juga terjadi perkelahian antarsatpam dengan sopir yang menolak membayar. "Saya pernah berantem dengan operator dan security karena tidak mau ngasih duit. Wong memang tidak ada duit," tutur Odoi.
Dalam satu rit perjalanan, angka pungli terbesar yang pernah dibayar Odoi mencapai Rp 40 ribu. Jika dalam sehari rata-rata terdapat tujuh kontainer yang pulang-pergi ke pelabuhan, uang yang menguap dari para sopir setiap harinya mencapai Rp 280 juta. Dalam setahun, uang yang raib itu mencapai Rp 100 miliar. tito sianipar
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/16/Metro/krn.20090216.156898.id.html
Jejak Pungli Sepanjang Jalan
Written By gusdurian on Senin, 16 Februari 2009 | 11.23
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar