BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Memaknai Kepedihan Bersama

Written By gusdurian on Kamis, 16 Desember 2010 | 12.06

Sebuah museum yang tak sekadar membuat pengunjungnya terjebak dalam
masa lalu, atau menangis, tapi memberi makna atas apa yang terjadi.

CHHEU CHAP. Dua kata dalam bahasa Khmer itu menggambarkan kepedihan
dengan iringan sergapan kelumpuhan fisik dan spiritual; serupa rasa
sakit akibat pengkhianatan kekasih bercampur frustasi akan ketiadaan
cara mengatasi rasa sakit itu. Demikian penjelasan antropolog Judy
Ledgerwood dalam “The Cambodian Tuol Sleng Museum of Genocidal
Crimes”, Museum Anthropology, terhadap dua kata yang menjadi komentar
sebagian masyarakat Kamboja dalam buku tamu usai mengunjungi museum
genosida Tuol Sleng.

Tuol Sleng (atau S-21 pada masa rezim Khmer Merah), yang menempati
sebuah kompleks gedung sekolah di Phnom Penh, adalah “tempat orang-
orang masuk dan tak pernah keluar,” ujar seorang pekerja pabrik di
sekitar gedung kepada sejarawan David Chandler dalam Voices from
S-21: Terror and History in Pol Pot’s Secret Prison. S-21 diperkirakan
gabungan dari kata Sala (gedung) dan angka 21 atau kode untuk santebal
(pasukan keamanan).

Keberadaan S-21 sebagai pusat interogasi dan penyiksaan tahanan
tertutup rapat, bahkan disangkal banyak petinggi Khmer Merah, termasuk
Pol Pot. Kepada Nate Thayer, koresponden Far Eastern Economic Review
pada Oktober 1997, Pol Pot menegaskan posisinya. “Saya hanya membuat
keputusan-keputusan besar. Saya ingin sampaikan –Tuol Sleng adalah
buatan Vietnam. Seorang wartawan menulisnya. Orang ramai bicara Tuol
Sleng, Tuol Sleng. Saya tahu Tuol Sleng kali pertama melalui siaran
Voice of America. Saya mendengarkannya dua kali,” ucapnya.

Sejarah revolusi komunis Kamboja, menurut versi pemerintah, tercoreng
oleh segelintir kriminal Khmer Merah, yaitu Pol Pot, Ieng Sary, dan
Khieu Sampan. Ketiganya berambisi menata ulang struktur masyarakat
menjadi tanpa kelas dan berpusat pada pertanian desa lewat peradaban
baru “Tahun Nol Kamboja.”

Setelah merebut Phnom Penh pada 17 April 1975, Khmer Merah mendirikan
pemerintahan Democratic Kampuchea (DK) dengan Pol Pot sebagai perdana
menteri dan memulai misinya. Penduduk kota diharuskan pindah ke desa
untuk menjalani kerja paksa. Semua kepercayaan, tradisi, budaya, dan
interaksi dengan dunia luar dihapus. Mata uang, harta milik, akses,
serta fasilitas perdagangan, pendidikan, dan kesehatan lenyap. Dalam
usia pemerintahan yang singkat, hingga Januari 1979, rezim Khmer Merah
membunuh hampir dua juta penduduk Kamboja.

Peran Khmer Merah sebagai kekuatan politik menguat sejak Jenderal Lon
Nol mengkudeta Pangeran Norodom Sihanouk pada Maret 1970. Lon Nol,
yang pro-Amerika, mengangkat diri sebagai presiden dan mendirikan
Republik Khmer pada 1970-1975.

Dalam pengasingan di Beijing, Sihanouk berupaya kembali berkuasa. Dia
mengangkat diri sebagai Kepala Negara Gouvernement Royal d'Union
Nationale du Kampuchéa (GRUNK) dan menunjuk petinggi Khmer Merah –
Khieu Samphan, sebagai wakil perdana menteri sekaligus menteri
pertahanan GRUNK di Kamboja. Pol Pot bertugas sebagai pemimpin militer
di lapangan. Banyak simpatisan Khmer Merah saat itu mengira mereka
berjuang untuk Sihanouk.

Sementara itu, Amerika dengan dalih Perang Vietnam, menggempur tentara
Vietkong dan Vietnam Utara yang bergerilya hingga ke wilayah Kamboja.
Intensitas pemboman terhadap Kamboja meningkat pada 1970 atas perintah
Presiden Richard Nixon. Sejarawan Ben Kiernan dan Taylor Owen, dalam
Bombs Over Cambodia, mengemukakan, “Kamboja mungkin adalah negara yang
paling banyak mengalami pemboman sepanjang sejarah,” bahkan
dibandingkan total bom yang dijatuhkan Sekutu selama Perang Dunia II.

Kiernan dan Owen menyimpulkan agresi Amerika, selain mendekatkan
tentara Vietkong dan Vietnam Utara dengan Khmer Merah, juga mendorong
penduduk sipil Kamboja bersimpati pada kelompok militan ini. Dukungan
ini dianggap sebagai salah satu faktor kemenangan Khmer Merah
mengambil-alih kekuasaan di Kamboja.

Seperti penjelasan Chhit Do, seorang pejuang Khmer Merah kepada
jurnalis Bruce Palling, “….karena ketakutan dan setengah gila akibat
serangan bom, penduduk mempercayai apa saja yang kami sampaikan.
Kegetiran terhadap ledakan bom membuat mereka terus bekerja sama
dengan Khmer Merah, .… sering bom meledak, menewaskan anak-anak, dan
ini membuat para ayah mengabdikan seluruh hidup mereka bagi Khmer
Merah.”

Pada akhir 1978, Vietnam menginvasi Kamboja untuk menyingkirkan Khmer
Merah yang telah menyerang penduduk Vietnam di perbatasan wilayah. Pol
Pot, bersama beberapa pengikutnya, melarikan diri dan bergerilya di
wilayah-wilayah kecil di sebelah barat Kamboja.

Jurnalis Ho Van Thay beserta rekannya, yang ikut dalam rombongan
militer Vietnam, menemukan Tuol Sleng pada Januari 1979 setelah
mencium bau menyengat di sekitar lokasi. Dalam ruang-ruang kelas,
mereka mendapati 14 jenazah tahanan di atas ranjang besi. Juga
berbagai alat penyiksaan seperti borgol, rantai, cambuk. Van Thay
melaporkan penemuan lokasi itu kepada pemerintah Vietnam. Tumpukan
arsip, dokumen pengakuan, dan foto para tahanan ditemukan di sisi lain
gedung beberapa hari kemudian.

Sebagian besar tahanan S-21 adalah mereka yang memiliki kedekatan
politik dengan pemerintah pendahulu. Namun, tak sedikit anggota DK dan
keluarganya yang dicurigai kontrarevolusi menjadi korban. Termasuk Hu
Nim, menteri informasi dan propaganda DK, dan Chan Kim Srun, istri
seorang pejabat DK beserta bayinya.

Jumlah tahanan S-21 sejak April 1975 hingga minggu pertama 1979
diperkirakan mencapai lebih dari 15.000 orang, termasuk perempuan dan
anak-anak. Tujuh orang tahanan diketahui selamat dari kebrutalan S-21.

Pemerintah Vietnam kemudian membangun Museum Tuol Sleng dan menunjuk
Mai Lam, seorang kolonel Vietnam, sebagai konsultan. Mai Lam juga
telah berperan dalam pembangunan Museum Kejahatan Perang Amerika di Ho
Chi Minh City. Salah satu rekan sejawat Mai Lam adalah Ung Pech, satu
dari tujuh tahanan S-21 yang selamat dan menjabat sebagai direktur
museum pada 1980.

“Bagi kebanyakan orang yang tak memahami apa yang terjadi, museum bisa
membantu. …Penduduk Kamboja yang mengalami perang tak dapat
memahaminya –dan generasi mendatang juga tak mampu memaknainya,” ujar
Mai Lam dalam sebuah wawancara.

Pemerintah Kamboja sempat berpendapat lain. Tuol Sleng kali pertama
dibuka pada Maret 1979 dan hanya untuk warga negara asing. Larangan
bagi masyarakat Kamboja mengunjungi Museum Tuol Sleng dihapus Juli
1980. Hampir 32.000 pengunjung tercatat dalam minggu pertama
pembukaan. Bagi masyarakat Kamboja, Tuol Sleng menjadi tempat mencari
jawaban atas nasib para anggota keluarga yang hilang.

Pada 1989, Vietnam mundur dari Kamboja. Pol Pot terus melakukan
perlawanan terhadap pemerintah Kamboja, hingga meninggal dunia pada
1998.

Ingatan masyarakat Khmer terhadap masa terburuk dalam sejarah bangsa
mereka terus hidup melalui museum Tuol Sleng. “Museum menyediakan
sebuah penjelasan untuk sesuatu yang tak mampu dijelaskan, dan dari
kematian menciptakan kembali identitas nasional,” tulis Ledgerwood.
[MIRA RENATA/KONTRIBUTOR]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-367-memaknai-kepedihan-bersama.html

Misteri Tiga Orang Kiri

BUKU

Bertahun-tahun penguasa Orba menempatkan mereka sebagai mitos sejarah
yang haram untuk diwacanakan.

SEORANG pria berparas dingin, dengan mulut berlumur asap, serius
berkata, “Jawa adalah kunci…”, “Djam D kita adalah pukul empat pagi…”,
“Kita tak boleh terlambat…!”

Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu’bah Asa dalam film
berjudul Pengkhianatan G-30-S/PKI. Melalui film itu, Syu’bah berhasil
menciptakan bayang-bayang di pikiran masyarakat tentang sosok Aidit:
lelaki jahat penuh muslihat, haus kekuasaan, dan dengan dingin
memerintahkan pembunuhan para jenderal.

Tapi itu dulu saat Orde Baru masih berkuasa. Ketika tafsir sejarah
tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tokoh-tokohnya hanya milik
penguasa. Pascagerakan reformasi 1998, yang diikuti dengan jatuhnya
kekuasaan Soeharto, masyarakat mempertanyakan kebenaran tafsir itu.
Berbagai studi tentang gerakan kiri di Indonesia bermunculan. Tak
terkecuali tentang Aidit, Njoto, dan Sjam Kamaruzzaman, yang coba
ditelusuri majalah Tempo. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari
Liputan Khusus majalah itu.

Masa kecil dan muda Aidit tidaklah semengerikan yang digambarkan Orde
Baru. Dia lahir di Belitung, Sumatra Selatan, pada 30 Juli 1923 dengan
nama Achmad Aidit, dari keluarga terpandang dan berada. Achmad
dikenang sebagai sosok abang yang pelindung. Di kampung, Achmad muda
dikenal pandai bergaul dan jago berenang. Pun, seperti kebanyakan
pemuda Belitung seusianya, dia rajin mengaji. Achmad bahkan terkenal
sebagai tukang azan.

Garis politik Achmad terbentuk sejak dia rajin bergaul dengan buruh-
buruh Gemeenschappelijke Mijnbouw Mattschappij Billiton, perusahaan
timah milik Belanda, yang letaknya sekitar dua kilometer dari tempat
tinggalnya. Tapi karier politiknya baru dimulai saat dia bergabung
dengan Persatuan Timur Muda, sebuah perkumpulan pemuda yang dimotori
oleh Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir
Syarifuddin dan Dr. Adenan Kapau Gani. Kecerdasan dan keluwesan Achmad
segera membawanya menjadi ketua umum Pertimu. Di saat aktivitas
politiknya menanjak cepat itulah Achmad Aidit mengganti nama depannya
menjadi Dipa Nusantara Aidit.

Menjelang proklamasi, Aidit yang tergabung dalam kelompok pemuda
Asrama Mahasiswa Menteng 31, terlibat dalam aksi heroik penculikan
Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Semangat revolusi Aidit membuncah
ketika Musso datang dari Rusia. Baginya, kehadiran Musso menjanjikan
aksi, bukan sekadar angan revolusi. Selang waktu sebulan setelah Aidit
menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, pecah Peristiwa
Madiun 1948. Aidit buron. Kabar tersiar dia kabur ke Vietnam Utara.
Ada pula yang mengatakan dia hanya modar-mandir Jakarta-Medan.

Dua tahun kemudian Aidit muncul lagi. Bersama Njoto dan Lukman, dia
mengkonsolidasikan kekuatan partai yang sempat limbung dan terpecah-
belah. Dalam waktu cepat, “trisula” ini berhasil mengembalikan
kebesaran partai. Tahun 1954 Aidit mengambil-alih kepemimpinan dari
kelompok tua, Alimin dan Tan Ling Djie, serta membawa PKI menjadi
partai terbesar keempat dalam pemilu 1955.

Aidit bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Dia punya
teori sendiri tentang Revolusi. Baginya, revolusi bisa berhasil jika
disokong setidaknya 30 persen kekuatan tentara. Tapi teorinya meleset.
Gerakan 30 September 1965 yang dia rencanakan gagal. Aidit tutup buku
dengan cara tragis: di Solo tentara menangkapnya dan menghujaninya
dengan satu magazin peluru kalashnikov.

Njoto berbeda dengan kebanyakan orang komunis. Penampilannya necis.
Jiwa seninya cenderung melankolis. Meski akrab dengan pemikiran Marxis
dan Leninis, Njoto tak menganggap “kapitalis” harus selalu dimusuhi.
Dia belajar politik secara sembunyi-sembunyi. Keluarganya nyaris tak
mengetahuinya.

Petualangan politik Njoto dimulai ketika terlibat dalam perebutan
senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember. Sampai suatu hari
muncul berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) di Yogyakarta, sebagai wakil ketua PKI Banyuwangi.

Njoto berkenalan dengan Aidit dan Lukman di Yoyakarta. Kesamaan
ideologi membuat ketiganya cepat akrab. Njoto menjabat wakil Sekjen II
lalu wakil ketua II CC PKI. Dalam prahara 30 September 1965, banyak
orang tak percaya keterlibatan Njoto. John Rossa dalam Dalih
Pembunuhan Massal menulis, “Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan
sadar tidak diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan
ideologis.” Aidit menganggap Njoto lebih Sukarnois ketimbang komunis.
Sementara wartawan senior Joesoef Isak menganggap ketidaksenangan
Aidit terhadap Njoto karena Njoto, yang telah beristri, memiliki
kekasih, seorang perempuan asal Rusia. Bagi Aidit, perbuatan Njoto tak
etis dan mengganggu citra partai. Joesoef Isak menambahkan, sejak 1964
Njoto sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partai.

Dalam wawancara dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965, Njoto
mempertanyakan dasar logika gerakan itu: “Apakah premis Letkol Untung
tentang adanya Dewan Jenderal membenarkan adanya suatu coup d’etat?”

Di mata anak-anaknya, Njoto dikenal sebagai sosok ayah penyayang. Di
waktu senggang, Njoto kerap mengajak keluarganya berlibur naik trem
atau berpakansi ke pantai. Kebahagiaan keluarga ini sirna
pascaperistiwa 1965. Njoto jadi pelarian. Kabar tersiar dia ditangkap
tentara dan kemudian dieksekusi mati. Sayang, keluarga Njoto tak
pernah tahu jasad atau makamnya.

Tokoh PKI lain yang kerap disangkutpautkan dalam peristiwa 1965 adalah
Sjam Kamaruzzaman. Sjam lelaki misterius asal Tuban, Jawa Timur.
Polisi militer mencatat setidaknya terdapat lima nama alias yang
dimiliki Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali Moechtar, Ali Sastra, dan
Karman. Sjam merupakan mozaik penting dalam prahara itu. Tapi kisah
hidup Sjam lebih mirip mitos ketimbang sejarah. Bahkan banyak petinggi
PKI tak tahu siapa dirinya.

Aidit mengenal Sjam ketika keduanya aktif di Serikat Buruh Kapal
Pelabuhan di Tanjung Priok tahun 1949. Ketika pada 1964 istri Sjam
meninggal akibat tifus, Aidit makin dekat dengan Sjam. Dia meminta
Sjam mengetuai sebuah organisasi rahasia PKI, yang disebut Biro
Khusus. Tugas Biro Khusus mempengaruhi dan mengurus kelompok tentara
yang berhaluan kiri.

Dalam operasi G30S, Aidit kurang korektif dengan laporan Sjam yang
kerap tak akurat. Satu batalyon Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara
yang direncanakan datang, tak pernah muncul. Pasukan tank dan panser
yang diharapkan datang dari Bandung pun tak pernah ada. Dan Bung
Karno, yang digadang-gadang sebagai dalil aksi, juga menolak untuk
menyetujuinya. Operasi itu dapat dilumpuhkan hanya dalam hitungan jam.

Kurang lebih dua tahun Sjam menjadi pelarian dengan melakukan
penyamaran dari satu kota ke kota lainnya. Sampai akhirnya dia
tertangkap pada 9 Maret 1967, di tempat persembunyian di Cimahi, Jawa
Barat. Di penjara, Sjam dikabarkan menjadi informan tentara untuk
membocorkan siapa saja anggota militer yang memiliki kaitan dengan
PKI.

Sama seperti Njoto, akhir riwayat Sjam tak pernah jelas. Menurut
sebuah versi, Sjam dieksekusi mati pada September 1986 di Kepulauan
Seribu. Tapi toh keluarga Sjam tetap tak mengetahui kebenaran versi
ini.

Kisah Aidit, Njoto, dan Sjam dalam buku ini menunjukan kepada kita
bahwa perjalanan hidup seorang anak manusia dalam bingkai sejarah
tidaklah bisa ditempatkan secara hitam dan putih. Dan terlepas dari
segala misteri serta kontroversi yang menyelimuti ketiganya, agaknya
tokoh-tokoh kiri ini memiliki jalan takdir yang sama dengan sebuah
ungkapan “revolusi memakan anaknya sendiri.”[JAY AKBAR]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-365-misteri-tiga-orang-kiri.html

Kristen Abangan ala Sadrach

Dituduh sebagai pemimpin agama yang sesat dan juga pemberontak,
Sadrach terus menyebarkan agama Kristen ala Jawa.

PARA pekabar Injil Belanda kelabakan mencari jalan bagaimana agar
orang-orang Jawa menjadi Kristen yang sungguh-sungguh. Masyarakat Jawa
tak ingin tercerabut dari akar budayanya yang telah dipegang teguh
jauh sebelum Kristen datang. Lain halnya dengan para pekabar Injil
awam Indo-Eropa yang memperhatikan budaya lokal. Maka muncullah jemaat
bumiputera berpenampilan Jawa. Mereka disebut “jemaat Sadrach” karena
pemimpinnya adalah penginjil Jawa kharismatik, Sadrach Surapranata.

Sadrach tinggal di Karangjasa, sebuah desa terpencil di selatan
Bagelan, bekas karesidenan di Jawa Tengah. Sejak pertengahan kedua
abad ke-19, Karangjasa dikenal sebagai tempat mengabarkan Injil oleh
para pejabat kolonial Belanda, Misi Gereja-gereja Gereformeerd Belanda
(ZGKN), dan orang-orang Kristen Jawa. Tapi pemerintah kolonial
menganggap Sadrach sebagai pemimpin pemberontak yang mengancam
stabilitas, ketentraman, dan ketertiban umum. Sedangkan para zending
Belanda menganggap kekuasaan Sadrach dan kepemimpinannya sudah
melampaui batas-batas kekristenan yang benar dan bertentangan dengan
prinsip-prinsip Calvinisme.

“Mereka menuduh Sadrach sebagai pemimpin orang Jawa sesat dan
menganggap ajarannya sebagai campuran antara pemikiran Kristen dan
bukan Kristen. Jemaatnya dianggap orang-orang Kristen palsu atau
jemaat Islam yang berpakaian Kristen,” tulis Soetarman Soediman
Partonadi dalam Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya. “Karenanya
desa Karangjasa yang artinya ‘batu karang yang teguh berdiri’ menjadi
Karangdosa yang artinya ‘batu karang dosa’.”

Saat itu terjadi semacam perbenturan konsep keberagamaan. Agama
Kristen sering dicap sebagai “agama Belanda”. Sementara orang-orang
Kristen Jawa sering dicemooh antara lain dengan ungkapan londo durung
jowo tanggung (orang Belanda bukan, orang Jawa tanggung).

Menurut Soetarman, tempat dan tanggal kelahiran serta kedua orangtua
Sadrach tak diketahui. Dia dilahirkan sekitar tahun 1835 dari keluarga
petani miskin di dekat Jepara, Demak, atau di desa Luring dekat
Semarang. Semua tempat ini berada di pantai utara Jawa Tengah, tempat
Islam kali pertama berpijak.

Sadrach diberi nama Radin –“in” menjadi petunjuk bahwa dia berasal
dari desa. Dia kemudian diadopsi keluarga Muslim kaya, yang
membesarkannya menurut tradisi Islam. Radin muda belajar membaca
alquran, belajar ngelmu Jawa pada Pak Kurmen atau Sis Kanoman di
Semarang, sebelum masuk pesantren di Jawa Timur. Setelah itu dia
kembali ke Semarang dan tinggal di Kauman. Saat itu, dia menambahkan
nama Arab yang telah disesuaikan dengan bahasa Jawa: Abas.

Di Semarang, dia bertemu lagi dengan Pak Kurmen, yang ternyata sudah
masuk Kristen. Oleh Pak Kurmen, Radin Abas diperkenalkan dengan
Tunggul Wulung, penginjil Jawa yang mengkristenkannya lewat debat
umum. “Radin Abas menjadi tertarik pada Kristen. Dia terkesan oleh
Tunggul Wulung dan belajar darinya bahwa orang Kristen Jawa tak harus
meninggalkan adat Jawa. Tunggul Wulung pernah menegaskan keyakinannya
bahwa orang Kristen Jawa hendaknya tetap menjadi orang Jawa dengan
menyatakan bahwa mereka harus mencari seorang Kristus bagi mereka
sendiri,” tulis Soetarman.

Pada 1866, ditemani Tunggul Wulung, Radin pergi ke Batavia untuk
menemui Mr F.L. Anthing, pekabar injil pertama di Jawa Barat yang
kemudian pindah ke Batavia. Anthing menyambutnya dengan hangat dan
menerimanya sebagai pembantu. Di sini Radin dibaptis oleh Rev. Ader,
pendeta De Protestantsche Kerk in Nederlansche-Indie atau Indische
Kerk (sekarang Gereja Protestan Indonesia) dan menerima nama baptis:
Sadrach.

Setelah beberapa tahun, Sadrach kembali ke Jawa Tengah bagian utara.
Pada 1868, dia bergabung dengan Tunggul Wulung dan Pak Kurmen untuk
membangun desa-desa Kristen di Bondo, juga Jawa Timur. Setelah itu
Sadrach pergi ke Tuksanga, Purwareja, selama kurang lebih satu tahun
sebelum pindah ke Karangjasa. Di sinilah popularitasnya merangkak
naik.

Metode Sadrach untuk mengabarkan Injil, tulis Jan S. Aritonang dalam
Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, sama dengan yang
digunakan Tunggul Wulung, yakni berdiskusi dan berdebat, seringkali
berhari-hari, siang-malam, secara terbuka di depan umum. Sadrach
selalu menang dan mengkristenkan sejumlah kiai.

Sadrach juga memimpin kebaktian dalam bahasa Jawa sehingga mudah
dimengerti oleh jemaat. Selain itu, dia dikenal mampu mengendalikan
roh jahat dan iblis. Karenanya, keris yang dikeramatkan dan bisa
dipakai untuk mengatasi berbagai malapetaka dan mengusir setan-setan,
dianggap kekuatan mahasakti dan harus disembah. Keris kemudian menjadi
simbol identifikasi Kristus (keris yang meneteskan darahnya seperti
darah Yesus yang menetes dari paku salib). Cara duduk ketika beribadah
adalah duduk bersila dan para jemaat Sadrach harus menyentuh dan
mencium kaki Sadrach, seperti ketertundukan para murid terhadap Yesus.
Dalam kapasitas ini, Sadrach menganggap dirinya sebagai penampakan
“sang rasul Yesus ke orang Jawa”.

”Sadrach membangun agama Kristen Jawa yang tetap dekat sekali dengan
bentuk-bentuk keagamaan yang dikenal di dalam Islam dan ngelmu. Gedung
gereja disebut masjid dan dibangun dengan bentuk masjid di halaman
rumah pendeta. Pendeta dijuluki imam dan sebelum kebaktian dimulai
sebuah bedug dipukul. Sesudah acara pembaptisan diadakan slametan,”
ujar Alle. G. Hoekema, sebagaimana dikutip Aritonang.

Karangjasa segera menjadi tempat berkumpul orang-orang Kristen dari
berbagai daerah. Jemaatnya meningkat pesat; mencapai hampir 2.500
hanya dalam waktu tiga tahun (1870-1873). Selama masa itu, lima gereja
didirikan di Karangsaja, Banjur, Karangpucung, Kedungpring, dan
Karangjambu.

Sesuai tradisi Jawa, Sadrach menambahkan nama baru, Surapranata, untuk
menunjukkan posisi barunya. Surapranata berarti “dia yang berani
mengatur atau memerintah”. Oleh yang iri, nama itu disalahartikan
menjadi “Tuhan yang memerintah”. Terlebih, tulis Aritonang, setelah
nama itu dilengkapinya menjadi Raden Mas Ngabehi Surapranata dan dia
tampil bak raja, lengkap dengan dayang-dayang. Bahkan ada yang
melaporkan bahwa dia sendiri pernah mengaku sebagai Kristus atau Ratu
Adil.

Peningkatan jumlah jemaat Sadrach menimbulkan kecurigaan pemerintah
setempat. Sadrach dianggap sebagai ancaman politik. W. Ligtvoet,
residen Bagelan, mencari cara untuk menyingkirkan Sadrach. Pengurus
NGZV, Bieger, mengemban misi besar itu. Berkali-kali Bieger meminta
Sadrach agar mempercayakan jemaatnya kepadanya. Karena Bieger gagal,
Ligtvoet turun tangan dengan menahan Sadrach selama tiga minggu lalu
menjadikannya tahanan rumah selama tiga bulan. Alasan penahanan,
Sadrach menolak vaksinasi cacar, yang saat itu lagi mewabah, dengan
alasan agama. Karena tak cukup bukti untuk mengajukannya ke
pengadilan, Sadrach dibebaskan dengan keputusan Gubernur Jenderal pada
1 Juli 1882. “Takut para jemaatnya ngamuk,” tulis M. Alie Humaedi
dalam Keresahan Sosial dalam Isu Kristenisasi ataukah Islamisasi.

Setelah bebas, Sadrach kembali ke Karangjasa. Pamor dan wibawanya tak
tergoyahkan.

Sadrach pergi ke Purwareja untuk meminta Wilhelm, pekabar Injil yang
bersahabat dengannya saat menjadi tahanan rumah, menjadi pendeta
jemaatnya. Pada 17 April 1883, Sadrach dan para sesepuh setempat serta
Wilhelm secara resmi menamakan diri Golongane Wong Kristen Kang
Mardika (kelompok orang Kristen yang merdeka).

Karena merasa direndahkan oleh para zandeling, antara lain tak kunjung
diangkat sebagai pendeta sehingga tak berhak menjalankan sakramen,
sejak 1893, Sadrach memutuskan hubungan dengan mereka. Ternyata
sebagian besar warga Kristen Jawa tetap setia mengikutinya.
Selanjutnya sejak 1894 dia beralih ke Gereja Kerasulan, yang berpusat
di Jawa Barat, dan diangkat menjadi rasul; jabatan yang dia pegang
hingga meninggal pada 1924.

Sadrach menduduki tempat teratas di antara guru-guru Jawa dengan
sebutan khusus kiai. Jemaat Sadrach mencapai 7.000 pada 1890 dan
20.000 saat Sadrach meninggal. Jemaat tersebar di seluruh karesidenan
Jawa Tengah.

Menurut Alie, perkembangan jemaah Sadrach hanya mampu bertahan kisaran
tahun 1939, karena masuknya kekuasaan gereja ZGKN dan didirikannya
Gereja Kristen Jawa, hingga memupus habis gereja Kerasulan ala
Sadrach. Mereka dipaksa mengakui prinsip-prinsip dasar Gereja Kristen
Jawa. Selain di Karangjasa, Gereja Kerasulan yang masih bertahan
hanyalah di wilayah Desa Kasimpar Petungkriono Pekalongan Jawa Tengah
(sampai tahun 1985), yang pendiri dan majelisnya merupakan generasi
langsung dari murid Sadrach.[HENDRI F. ISNAENI]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-368-kristen-abangan-ala-sadrach.html

Mendagri Perkeruh Suasana Yogyakarta

DPD bisa memanfaatkan polemik RUU Keistimewaan DIY sebagai pintu masuk
penguatan lembaga.
PEMERINTAH harus bersiap-siap menda pat reaksi balik dari masyarakat
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) setelah Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) Gamawan Fauzi menyebut pemerintah akan tetap memperjuangkan
sistem pemilihan untuk pengisian jabatan kepala daerah di sana.

Hal itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Ari
Dwipayana kepada Media Indonesia, kemarin. Dalam pandangannya,
pemerintah lewat Mendagri bukannya berupaya menciptakan suasana
kondusif di sana, melainkan kian memperkeruh suasana dengan pernyataan-
pernyataan yang dilontarkannya. Termasuk kalimatnya yang menyebut pe
merintah hanya berurusan dengan DPR, bukan DPRD DIY.

Padahal, DPRD DIY lewat sidang paripurna, Senin (13/12) lalu, telah
memutuskan untuk mendukung penetapan otomatis Sultan Ngayogyokarto
Hadiningrat sebagai Gubernur DIY.

“Pernyataan Mendagri itu bertolak belakang dengan apa yang disampaikan
Presiden.

Dalam pidatonya, Presiden mengatakan akan membuka ruang bagi aspirasi
rakyat dan Keraton Yogyakarta. Ini kok malah sebaliknya,” ujar salah
satu perumus draf RUU Keistimewaan DIY dari Fakultas Ilmu Politik UGM
tersebut.

Ia melihat buruknya konsolidasi internal pemerintah menjadi penyebab
berlarutnya proses RUU itu. Presiden masih ragu untuk menyetujui draf
RUU akibat blunder-nya koordinasi jajaran di bawahnya. Keruwetan itu
juga diperparah ra
puhnya koalisi partai pendukung pemerintah di bawah Sekretariat
Bersama (Sekber) Partai Koalisi.

"Pemerintah, dalam hal ini koalisi, belum solid sehingga satu sama
lain saling tidak percaya diri untuk menyatakan draf ini sudah final
atau belum.
Menko Polhukam bilang belum final, Mendagri bilang sudah.
Mana yang benar?" papar Ari.

Ia menambahkan, nasib RUU Keistimewaan DIY saat ini bergantung penuh
pada keberanian Presiden. "Sekarang tergantung Presiden, meski
Mendagri bilang sudah final," ungkapnya.

Pendapat senada juga disampaikan Wakil Ketua Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN) Yulianto. Menurutnya, pernyataan Mendagri itu
kian menunjukkan rendahnya kemampuan pemerintah dalam menyerap
aspirasi daerah. Harusnya, jika berbicara soal nasib daerah,
pemerintah tetap melibatkan DPRD sebagai saluran aspirasi rakyat di
daerah.

"Sejauh mana pemerintah pusat mendengarkan masukan dari DPRD itu
menunjukkan kemampuan pemerintah dalam menangkap aspirasi rakyat.
Kalau tidak begitu, ini sama saja sentralistis," kata Yulianto.
DPD harus proaktif Di tempat terpisah, pengamat hukum tata negara
Irman Putra Sidin menilai sudah saatnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
segera mengundang DPRD DIY untuk membicarakan kelanjutan dari hasil
sidang paripurna DPRD. Dengan begitu hasil sidang itu akan menjadi
materi pembahasan RUU secara normatif.

"Sebaiknya DPD segera mengundang DPRD DIY untuk menyampaikan hasilnya
ke DPD. Waktunya dalam Sidang Paripurna DPD. Sebab DPD hadir untuk
suarakan aspirasi daerah. Kasus DIY ini juga bisa menjadi pintu masuk
penguatan DPD itu sendiri," ujar Irman.

Dipaparkannya, sikap DPRD DIY itu bisa menjadi parameter
konstitusional untuk mengetahui kehendak rakyat daerah terhadap suatu
persoalan. Lewat sikap DPRD itu, wacana referendum di Yogyakarta sudah
tidak diperlukan lagi, apalagi perdebatan soal survei yang hasilnya
justru kian membingungkan.

"DPD nantinya bisa menyampaikan hasil paripurnanya ke Presiden dan
DPR. Ketika itu sudah dilalui, itu bisa menjadi materi pembahasan RUU
nantinya secara normatif," terangnya.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/12/16/ArticleHtmls/16_12_2010_002_043.shtml?Mode=0

DPR tidak Peka soal Antikorupsi

DPR semakin memperlihatkan motif kepentingan sehingga tidak mendukung
upaya pemberantasan korupsi.
SIKAP enam fraksi di Komisi III DPR ter hadap pendeponiran pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M
Hamzah menjadi ajang serangan balik kepada KPK.

"Kita mengerti anggota DPR banyak yang bermasalah dengan KPK. Mereka
mewakili rakyat, namun mereka mengingkarinya dengan mengatakan rakyat
tidak ingin BibitChandra dibebaskan," jelas mantan anggota Tim 8 Amir
Syamsuddin di Jakarta, kemarin.

Dia menambahkan, penolakan itu semakin menunjukkan DPR tidak mendukung
pemberantasan korupsi. “Semakin jelas motif mereka tidak mendukung
pemberantasan korupsi. Ini sangat disayangkan. Kegeraman masyarakat
ternyata tidak dapat menggerakkan hati mereka,” kata Amir.

Dalam rapat pleno Komisi III DPR pada 13 Desember, enam fraksi menolak
pendeponiran atas kasus yang menimpa BibitChandra. Enam fraksi
tersebut adalah Partai Golkar, PPP, PDIP, PKS, Hanura, dan Gerindra.
Keenam fraksi itu menuntut kasus Bibit dan Chandra dilanjutkan ke
pengadilan.

Tiga fraksi lainnya, Partai Demokrat, PAN, dan PKB menyatakan
menghormati, memahami, dan menilai pendeponiran adalah hak subjektif
Jaksa Agung. Ketiga fraksi itu meminta Kejagung memperjelas
kepentingan umum yang menjadi dasar pendeponiran.

Sementara itu, Jaksa Agung Basrief Arief membuka peluang adanya
eksaminasi bagi jaksa yang menangani perkara Bibit-Chandra yang
berujung pada sikap pendeponiran.

Basrief menyatakan akan membuka berkas dan meneliti alasan pemberian
pendeponiran berdasarkan proses penyelidikan jaksa.
Akan tetapi, lanjut dia, Kejagung berkeras pada opsi pendeponiran
sebagai solusi paling tepat dalam menyelesaikan polemik. Selain itu,
tegasnya, pendeponiran adalah kewenangan dan diskresi Jaksa Agung.

Ia meminta agar pendapat DPR soal pendeponiran disampaikan secara
formal melalui mekanisme kelembagaan.

Hal itu menjadi dasar bagi kejaksaan untuk melakukan penetapan.

“Kalau dari sisi regulasi, pendeponiran merupakan dikresi dan
kewenangan Jaksa Agung. Tetapi, dalam pelaksanaannya harus meminta
pendapat dari badan atau lembaga negara yang berhubungan,” tukasnya.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menyatakan, pimpinan DPR
menargetkan penyerahan pendapat secara resmi dilakukan pada masa
sidang yang
berakhir pada 17 Desember 2010. Kepastian status Juru bicara KPK Johan
Budi tidak mempermasalahkan sikap Komisi III DPR.

"Pak Chandra sudah menyampaikan itu diserahkan sepenuhnya kepada Jaksa
Agung apakah mengeluarkan pendeponiran atau tidak. Apa pun pilihan
Jaksa Agung, Pak Bibit dan Pak Chandra siap," kata Johan.

Tetapi, tambah dia, KPK menantikan kepastian status hukum kedua
pimpinan KPK tersebut. "Secara organisasi, yang terpenting adalah
kepastian status Pak Bibit dan Pak Chandra karena ini seolahseolah
menyandera organisasi KPK kalau tidak ada kepastian secara cepat,"
ujarnya.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/12/16/ArticleHtmls/16_12_2010_003_022.shtml?Mode=0

Ikutilah Jejak Pegadaian

Edy Sasmito, ALUMNUS FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA,
YOGYAKARTA


Semoga turn around Pegadaian ini diikuti oleh BUMN-BUMN lain,
khususnya yang masih berjalan biasa-biasa saja. Kalau laba BUMN
semakin besar, perekonomian nasional akan lebih baik, rakyat lebih
sejahtera.
ada 2007 omzet Perum PegaP daian hanya sebesar Rp 22 tri liun. Pada
2010 ini, sampai periode September omzet Pe gadaian telah menjadi Rp
51 triliun dan sampai akhir tahun diperkirakan sebesar Rp 66,9
triliun. Jadi, dalam kurun waktu tiga tahun, omzetnya sudah meningkat
tiga kali lipat.

Laba Pegadaian juga terus membuncit. Pada 2008 Pegadaian mencatatkan
laba Rp 981 miliar, pada 2009 sebesar Rp 1,2 triliun, dan pada 2010
ini diperkirakan menjadi Rp 1,7 triliun. Artinya, dalam periode dua
tahun Pegadaian mencatatkan pertumbuhan laba 73 persen.

Dari sisi jumlah gerai, sejak 1997 Pegadaian telah menambah kantor
unit rata-rata di atas 1.000 kantor setiap tahun. Sampai akhir 2010
Pegadaian akan memiliki gerai lebih dari 5.000 unit. Gerai-gerai
tersebut bermunculan seperti jamur di musim hujan, misalnya di pasar-
pasar dan di permukiman padat penduduk. Dengan demikian, dalam tiga
tahun terakhir setiap hari Pegadaian membuka tiga gerai atau kantor
layanan yang baru.

Dari fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa Pegadaian sedang
menjalani proses turn around. Titik balik dari yang tadinya berkinerja
biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Dari pertumbuhan omzet dan laba
yang moderat menjadi berlipat ganda.

Proses turn around Pegadaian diyakini akan terus berjalan, terlebih
perusahaan tersebut sedang dalam proses berganti baju menjadi
perseroan terbatas (PT). Setelah itu, untuk terus melakukan
pertumbuhan, Pegadaian ke depan akan melantai di bursa untuk
mendapatkan modal murah guna diputar sebagai modal kerja. Maklum,
selama ini Pegadaian lebih mengandalkan pinjaman dari perbankan dan
penerbitan obligasi untuk menggenjot penyaluran kredit.

Bisnis model Pegadaian yang sudah berjalan lebih dari seratus tahun
terbukti sangat aman dengan non-performing loan (NPL) yang nyaris nol
persen. Padahal beban bunga kepada nasabah cukup tinggi, yaitu 1,3
persen per 15 hari dengan tempo pengembalian selama empat bulan. Aman,
karena apabila terjadi gagal tebus, barang yang dijaminkan nasabah
akan dilelang, yang nilainya akan mampu menutup tunggakan pinjaman
nasabah. Kelebihan lain Pegadaian adalah prosedur pengajuan pinjaman
yang sederhana, yaitu proses pencairan pinjaman hanya butuh waktu
sekitar 15 menit.

Produk baru Pegadaian adalah Krista dan Kreasi, dengan bunga yang jauh
lebih murah, yaitu 0,9 persen dengan sistem yang lebih mirip kredit
mikro bank, dan ternyata NPL-nya lebih tinggi. Jadi, produk andalan
Pegadaian tetap jasa gadai Kredit Cepat Aman (KCA), yang kini memberi
kontribusi di atas 90 persen.
Monopoli Di industri jasa gadai, Pegadaian kini bukan lagi pemain
tunggal karena pemerintah sudah membuka sektor tersebut untuk pemain-
pemain lain. Ba nyak bank yang telah masuk ke jasa gadai karena
melihat potensi pasarnya yang sangat besar.

Menghadapi situasi tersebut, strategi Pegadaian adalah menambah jumlah
gerai unit pelayanan agar dapat langsung melayani nasabah di lokasi-
lokasi yang mudah dijangkau. Gerai-gerai Pegadaian tersebut juga
sederhana, yaitu hanya di kios-kios kecil dengan biaya cukup murah.

Sebagai gambaran, jumlah karyawan di gerai itu hanya dua sampai tiga
orang. Satu orang untuk petugas penaksir dan seorang lagi untuk kasir.
Kalau outlet-nya berlokasi di pasar atau mal yang keamanannya sudah
terjamin, outlet tersebut tidak perlu memiliki tenaga keamanan
sendiri, melainkan cukup menumpang pada tenaga keamanan pasar atau mal
setempat. Sedangkan untuk sewa lokasi kios dipatok hanya sebesar Rp 15
juta setahun, bukan menyewa ruko dua atau tiga lantai yang biayanya
mahal. Bandingkan dengan jumlah karyawan di satu Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) atau kantor unit bank di lokasi yang sama, yang pasti
jumlah anggota staf karyawannya lebih banyak.

Manajemen gerai-gerai itu langsung di bawah tanggung jawab kepala
cabang di daerah setempat. Sebagai contoh, Kepala Cabang Kota
Tangerang, selain mengepalai operasionalisasi cabang, dia mengelola
gerai-gerai yang ada di wilayah Kota Tangerang. Hal sama juga
dilakukan oleh para kepala cabang Pegadaian lain di seluruh Indonesia.
Dengan sistem tersebut, biaya pen dirian dan operasional sejumlah
outlet tersebut menjadi sangat efisien.

Penambahan gerai tersebut akan terus berlangsung pada 2013, yang
diharapkan dapat menjangkau nasabah sampai di daerah-daerah pelosok di
Tanah Air. Dengan jumlah tersebut, Pegadaian akan menjadi lembaga
keuangan mikro (LKM) dengan jumlah outlet terbesar, mengimbangi Bank
BRI yang saat ini sudah memiliki jaringan layanan 4.500 unit.

Target nasabah Pegadaian adalah usaha mikro, seperti para pedagang di
pasar-pasar dan mal, industri kecil, petani, serta keluarga di
permukiman, termasuk pegawai negeri/TNI-Polri serta pegawai swasta.
Pegadaian melayani pinjaman dari jumlah yang sangat kecil, yaitu
minimal Rp 20 ribu, sampai ratusan juta rupiah. Bahkan untuk di cabang
tertentu, Pegadaian sudah melayani jasa gadai efek, yaitu para
investor saham di Bursa Efek Indonesia yang ingin menggadaikan
sahamnya. Hanya, jenis saham yang dapat digadaikan terbatas untuk
saham yang masuk dalam LQ-45.

Semoga turn around Pegadaian ini diikuti oleh BUMN-BUMN lain,
khususnya yang masih berjalan biasa-biasa saja. Kalau laba BUMN
semakin besar, perekonomian nasional akan lebih baik, rakyat lebih
sejahtera. Sebagai catatan, total laba seluruh BUMN di Indonesia tahun
2010 ini ditargetkan Rp 92,7 triliun. Jumlah tersebut masih kalah
dibanding laba satu BUMN di Malaysia, yaitu Petronas, yang sudah
mencapai Rp 100 triliun.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/12/16/ArticleHtmls/16_12_2010_012_003.shtml?Mode=1

Politik Indonesia 2011 masihkah Demokrasi Semu?

Oleh Pramono Anung Wibowo Wakil Ketua DPR RI, politikus PDI
Perjuangan

DALAM sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu, mantan Ketua PP
Muhammadiyah Ahmad Syafi i Ma’arif menilai pemerintah saat ini
menunjukkan gejala mati rasa terhadap berbagai persoalan.

Apa yang disampaikan Buya Syafi i itu, menurut pandangan saya, tidak
saja mengandung kebenaran, tapi-–lebih daripada itu--sejatinya bisa
menjadi evalu asi politik 2010 sekaligus ‘cetak biru’ untuk
menggambarkan politik Indonesia ke depan.

Sebagaimana diketahui, bersamaan dengan tumbangnya rezim otoriter Orde
Baru dan munculnya era reformasi tahun 1998, membumbung pula harapan
masyarakat akan adanya perbaikan di semua lini kehidup an. Itu bisa
dipahami kare na sepanjang Orde Baru ber kuasa, nilai-nilai demokrasi
telah dikebiri lewat berbagai macam cara, semata untuk melanggengkan
kekuasaan dan menyokong berbagai kepentingan si pengua sa berikut
kroni-kroninya.

Harapan masyarakat itu-harus diakui--sempat terkanalisasi seiring
dengan munculnya berbagai kebijakan yang dinilai bisa memberi
penguatan pada nilai-nilai demokrasi. Baik di bidang politik, sosial,
ekonomi, budaya, dan sebagainya. Pers yang selama Orde Baru dipasung,
misalnya, dibiarkan tumbuh dan berkembang sekaligus diberi kebebasan
dengan diterbitkannya UU No 40/1999 tentang Pers.

Sistem pemerintahan yang sebelumnya sangat sentralistik dan semuanya
serba-’Jakarta
sentris’ juga dibinasakan melalui keluarnya UU No22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbang an
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU tersebut
kemudian direvisi menjadi UU No 32/ 2004 dan UU No33/ 2004.

Bahkan, yang sangat menjanjikan adalah soal pemilu presiden yang
sebelumnya dilakukan secara tidak langsung (presiden dipilih MPR),
sejak 2004, untuk kali pertama Indonesia menggelar pilpres secara
langsung.

Setahun kemudian, tepatnya Juni 2005, untuk pertama kalinya juga
negeri ini menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada)
secara langsung.

Perubahan sistem pemilu itu tentu menjadi titik penting dalam upaya
penguatan demokrasi di Indonesia karena kendati pemilu hanya
instrumen, instrumen itulah, diakui atau tidak, yang menjadi esensi
dari demokrasi. Lewat pemilu, terbangun ikatan politik antara rakyat
sebagai sumber kekuasaan dan pemerintahan terpilih sebagai
penyelenggara kekuasaan. Ikatan itu tentu saja me nimbulkan hubungan
timbal balik.

Hubungan timbal balik itu dalam bentuk yang sederhana adalah: pemilih
memberi legitimasi terhadap yang dipilih karena itu pemilih memiliki
hak untuk melakukan kontrol dan pengawasan (tanggung gugat) terhadap
yang dipilih. Atau, dari kacamata lain, pemerintahan yang dipilih
memiliki kewajiban untuk melakukan pertanggungjawaban kepada rakyat
yang telah memberinya
legitimasi kekuasaan.
Demokrasi masih semu?
Namun, apakah saat ini kondisinya sudah berbanding lurus dengan
harapan yang telanjur membumbung tinggi itu?
Jangankan berbanding lurus, mendekati pun publik pasti tidak
melihatnya. Sebab dalam perkembangannya, harapan itu seolah mengalami
stagnasi, bahkan layu tatkala penguatan demokrasi itu ternyata hanya
menyentuh pada aspek prosedural, dan bukan substansial.
Betapa tidak, karena dalam praktiknya--meminjam istilah Buya Syafii--
penyelenggara negara dari waktu ke waktu semakin kuat menunjukkan
gejala mati rasa.

Kita semua bisa melihat gejala mati rasa penyelenggara negara misalnya
dalam soal pembelian mobil mewah untuk para menteri Kabinet Indonesia
Bersatu II atau juga pembangunan pagar istana presiden yang menelan
biaya puluhan miliar rupiah. Kebijakan itu jelas mencederai rasa
keadilan publik karena di saat yang sama kemiskinan masih mengharu
biru Indonesia (jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2010
berdasar BPS sebanyak 31,02 juta orang--relatif tak banyak berubah
jika dibandingkan dengan data per Februari 2005, yakni sebesar 35,10
juta orang).

Publik juga bisa melihat bagaimana penyikapan kasus Lapindo,
terjadinya `kriminalisasi' terhadap dua pemimpin KPK, penanganan kasus
Bank Century yang belum jelas bagaimana akhirnya, serta kuatnya nuansa
tebang pilih terhadap penanganan kasus korupsi.
Kesemuanya itu adalah contohcontoh lain yang harus diakui kian
mengiris rasa keadilan.

Ironisnya lagi, perilaku yang tak populer di mata publik itu
melibatkan elite-elite politik dari lintas partai. Mereka bukannya
mengingatkan munculnya gejala mati rasa dari penyelenggara negara,
melainkan sepertinya justru sengaja berkerumun di lingkar kekuasaan
untuk kebagian `kue' kekuasaan. Akibatnya, yang terekam ke publik
adalah: parpol yang merupakan pilar demokrasi tak ubahnya kumpulan
elite yang hanya berburu kekuasaan.

Situasi itu kemudian diperparah dengan perkembangan yang terjadi yakni
munculnya ‘politik barter’, yakni keuntungan pribadi atau kelompok
menjadi pertimbangan utama.

Adanya politik barter jelas mencemaskan karena tidak saja berpotensi
menggerus kualitas kebijakan, baik berupa aturan
perundang-undangan atau keputusan dalam menentukan pilihan. Tapi juga
membuat pembahasan terhadap peraturan menjadi bertele-tele sekadar
untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok semata. Lebih
daripada itu, `politik barter' memicu terbentuknya politik oligarki,
sekaligus memunculkan demokrasi semu di Indonesia.
Harapan politik 2011 Dari kesemua fenomena yang terjadi itu, masihkah
ada harapan bahwa 2011 nanti perpolitikan, konsolidasi demokrasi, akan
menemui titik terang?
Rasanya jika mengacu pada bagaimana penyelenggara negara menyikapinya,
harapan itu masih menjadi impian. Jika tidak ada terobosan dan komit
men kuat dari penyelenggara negara dan juga elite-elite parpol ke arah
mana keberpihakannya, yang akan muncul dalam beberapa waktu ke depan
justru kian menipisnya kepercayaan publik di satu sisi dan menguatnya
kekecewaan di sisi lain.

Sebenarnya tidak seharusnya publik menyambut tahun 2011 dengan
pesimisme yang akut karena fi losofi bernegara adalah untuk melihat
terwujudnya harapan dan kepentingan kolektif. Namun, dengan
gejalagejala politik akhir-akhir ini sepertinya memang menjadi warning
bagi publik untuk siap menerima kekecewaan lagi.

Sebut saja bagaimana penyelenggara negara memolemikkan keistimewaan
Yogyakarta tatkala air mata sebagian warga Yogyakarta belum kering
oleh bencana meletusnya Gunung Merapi. Dalam soal itu, mestinya
sebagai sebuah bangsa kita wajib menghormati sejarah dan menjunjung
tinggi kesepakatan para pendiri bangsa.

Belum lagi dalam kasus mafi a pajak Gayus Tambunan, dengan Presiden
dalam berbagai kesempatan menyatakan akan menghindari segala bentuk
intervensi terhadap soal ini. Presiden lupa bahwa persoalan Gayus
masih ditangani aparat kepolisian dan kejaksaan yang notabene
merupakan domain eksekutif, bukan yudikatif. Pe nanganan hukum yang
terksesan setengah-setengah seperti itu justru akan membuat kekecewaan
publik semakin me numpuk.

Celakanya, kekecewaan itu sepertinya akan memperoleh sumbu penyulut
dengan bakal lahirnya berbagai kebijakan yang tidak populis dan
cenderung hanya akan semakin membebani kehidupan rakyat sehari-hari.
Misalnya bakal dinaikkannya lagi tarif dasar lis
trik atau dilakukannya pembatasan konsumsi BBM (bahan bakar minyak)
bersubsidi mulai tahun depan. Belum lagi, misalnya, rencana penaikan
tarif kereta api kelas ekonomi.

Karena, bagi rakyat, apa pun alasan pemerintah untuk menaik kan tarif
dasar listrik ataupun membatasi penggunaan BBM bersubsidi tetap saja
sulit dipahami dan diterima. Bahkan, bukan tidak mungkin, penaikan itu
justru akan semakin menguatkan kecurigaan terjadinya ‘patgulipat’ di
tingkat elite pusat sebagaimana halnya yang terjadi dalam penjualan PT
Krakatau Steel, misalnya.

Pada gilirannya, semakin menipisnya kepercayaan serta menguatnya
kekecewaan publik itu bukan tidak mungkin akan menyulut kemarahan
dalam intensitas yang tinggi. Ini tentu perlu diwaspadai karena tidak
hanya akan mengait dengan persoalan keamanan, tapi juga mempengaruhi
stabilitas bidang-bidang lainnya.

Karena itulah, tidak bisa tidak, para penyelenggara negara, serta para
elite politik di negeri ini harus segera melakukan evaluasi sekaligus
reorientasi baik menyangkut perilaku maupun kepentingan. Sudah saatnya
konsolidasi demokrasi tak lagi terus-menerus berkutat pada soal
prosedural belaka, substansi dan etoslah yang mesti hadir dalam
peradaban demokrasi kita di masa yang akan datang.

Hal terpenting juga harapan publik atas penegakan hukum untuk tidak
hanya diarahkan pada lawan politik kekuasaan, serta menghilangkan
‘politik barter’ juga harus diperhatikan.

Karena harus diakui, bahwa kondisi politik kita sudah sa ngat maju
dalam hal strategi, tetapi sangat rendah dalam hal etika.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/12/16/ArticleHtmls/16_12_2010_021_016.shtml?Mode=0

Merajut kembali Iptek Indonesia

Oleh M Evri Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Pemerintah dan wakil rakyat harus duduk bersama untuk menyamakan
pemikiran dan visi, termasuk merevisi aturan yang berkontribusi
menghambat gerak maju iptek Indonesia."
LUASNYA laut, darat an, dan kekayaan sumber daya Indone sia telah
menjadi berkah khusus bagi Indonesia untuk menikmatinya. Dengan cara
apa kita menikmatinya?
Bagaimana cara mengangkatnya dari perut bumi, bagaimana mengonversinya
menjadi sesuatu yang layak guna, layak pakai, dan layak konsumsi?
Semua tentu memakai cara, memakai metode, memakai ilmu, memakai
teknologi, memakai inovasi, yang dikenal dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek).

Negeri ini berisi orang-orang hebat. Terbukti dari prestasi mereka
dalam kancah internasional, melalui olimpiade matematika, kimia,
fisika, dan biologi, yang selalu mendapat tempat terhormat. Lalu apa
tindak lanjut dari semua itu untuk mendayagunakan putraputri terbaik
bangsa? Di tangan mereka bakal lahir inovasiinovasi baru yang menjadi
simbol eksisnya suatu bangsa. Acara Kick Andy di Metro TV banyak
mengekspos orangorang hebat yang lahir di negeri ini. Bagaimana
seorang Nelson Tansu menjadi profesor termuda di Amerika dengan
kemampuan personal yang luar biasa, dan keahliannya diakui secara
internasional. Bagaimana salah seorang putra terbaik bangsa juga kini
tengah menduduki pucuk pimpinan HRD di PLN-nya Swedia.

Iklim penelitian di sana sungguh kondusif, dana sa ngat layak
(defenisi layak mengacu pada internasional), dana mengucur tepat
waktu, prosedur administrasi mudah, dan budaya aparatur negaranya
bersih. Sehingga proses pencairan dana riset tepat wak tu dan tidak
ada yang dicuri. Budaya yang entah kapan bisa ada di bumi ini.

Di era 1970-an dunia takjub akan dunia iptek lewat misi Apollo 13 ke
Bulan. Tepatnya 11 April 1970, ketika Apollo 13 tengah meluncur tiba-
tiba meng alami kendala teknis.

Kalkulasi di atas kertas ternya
ta mampu membim bing para astronaut untuk kembali dengan selamat ke
Bumi.

Sejarah iptek pun telah ditorehkan dalam penyelamatan 33 pekerja
tambang di Cile. Dengan teknologi kapsul yang mampu menembus bawah
Bumi, akhirnya 33 pekerja yang terjebak di areal penambangan selama
berbulan-bulan bisa terselamatkan.

Dua peristiwa besar yang berbeda era tersebut menunjukkan bahwa dari
masa ke masa capaian iptek yang ada di dunia begitu dinamis dan
meningkat pesat. Ada konsistensi dalam menempatkan iptek sebagai soko
guru perekonomian.

Sebagai senjata dan sebagai wahana kemakmuran bagi bangsa yang
melakukannya.

Melihat hal tersebut, muncul suatu perta nyaan dalam benak kita
bagaimana dengan bangsa kita? Bila melirik ke fasilitas-fasilitas yang
sudah diinisiasi di masa BJ Habibie sebagai menristek, kondisi saat
ini sungguh mengenaskan. Tempat yang diisi putra-putra hebat bangsa
ini dalam kondisi memprihatinkan.
Apabila pemerintah konsisten dan berkomitmen untuk membawa bangsa
Indonesia maju, tentu tidak akan ada laboratorium yang menganggur dan
menjadi besi tua.

Apalah susahnya mengalokasikan anggaran yang layak untuk perawatan
fasilitas. Sangat tidak rugi bila pemerintah
mengalokasikan anggaran yang sangat rasional untuk kemajuan iptek
bangsa. Hal itu sangat wajar karena di lumbung inovasi akan melahirkan
`senjata' untuk kemajuan bangsa. Pemerintah harus sadar negara ini
wajib mengalokasikan dana iptek besar, kontinu, dan progresif untuk
investasi bangsa ini.

Anggaran iptek saat ini masih di bawah 1% dari APBN, dari sudut
pandang apa pun tidak bisa bermakna banyak. Tidak perlu jauh-jauh, di
lingkungan ASEAN saja anggaran iptek Indonesia paling kecil. Padahal
potensi anak bangsanya luar biasa. Lalu apa peran pusat penentu
kebijakan nasional melihat hal ini? Banyak sistem yang salah.
Kementerian yang berposisi sebagai pembuat kebijakan malah sebagai
pelaksana teknis juga.

Bila melihat di negara-negara maju, kementerian tidak ada yang menjadi
penerima dana dari aspek apa pun. Mereka hanya membuat kebijakan, dan
eksekusinya diserahkan kepada pihak-pihak yang kompeten.

Apakah melalui kontrak ke
pada laboratorium universitas dan pusat penelitian terbaik di
negaranya, atau kepada konsultan yang memang andal ataupun kepada
perusahaanperusahan yang berkelas.

Sangat perlu pemerintah mengajak dewan meninjau ulang regulasi tentang
iptek yang ada. Dengarkan, simak, pertimbangkan masukanmasukan dari
putra-putra hebat kita, dan kemudian dilaksanakan. Kita tidak bisa
hanya sekadar marah dengan melayangkan protes diplomatik kepada negara
lain yang menyerobot batas wilayah. Saat ini kondisi alutsista kita
tidak berfungsi optimal dan mumpuni, sehingga terbatas untuk mengawal
sumber daya alam kita yang begitu luas.

Putra-putri bangsa sesungguhnya sangat berpotensi dalam membuat
alutsista terbaik juga. Hanya saja kesempatan itu belum sampai secara
signifi kan.

Jangan sampai negara lain yang memberi kesempatan dengan godaan dana
iptek yang besar.

Peta iptek Indonesia sampai 2025, 2050, dan 2100, bagaimana? Kita
tidak ingin mewariskan kebangkrutan kepada
anak cucu kita. Seharusnya semua proyek nasional harus dikerjakan
putra-putri bangsa, bukan orang asing. Pemerintah sebagai pemangku
kebijakan harus bisa merajut iptek Indonesia kembali dengan
perencanaan yang baik, tata kelola yang baik melalui beberapa tahapan.

Pemerintah harus bisa menghilangkan simpul-simpul penghambat iptek
seperti pajak untuk dana riset. Melancarkan simpul aturan dan
birokrasi yang menghambat. Pemerintah juga harus bisa menciptakan
kultur sehat di dunia penelitian dengan cara menambah dana riset yang
sesuai, layak, serta rasional.

Dalam menyelesaikan persoalan iptek nasional ini, pemerintah dan wakil
rakyat harus duduk bersama untuk menyamakan pemikiran dan visi,
termasuk merevisi aturan yang berkontribusi menghambat gerak maju
iptek Indonesia.

Tentu saja hal ini akan semakin sempurna bila media massa cetak dan
elektronik ikut mengibarkan betapa pen tingnya memajukan iptek
berkarakter Indonesia

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/12/16/ArticleHtmls/16_12_2010_021_027.shtml?Mode=0

Tantangan Berat Busyro Muqoddas

Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat RI telah memilih Busyro Muqoddas
sebagai pemimpin sekaligus Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang
baru, menggantikan Antasari Azhar. Dengan tampilnya Busyro, secara
otomatis kandidat lain, yakni Bambang Widjojanto, tersingkir. Secara
kasatmata, gagalnya Bambang Widjojanto menjadi Ketua KPK disayangkan
banyak pihak.

Meskipun kedua calon pemimpin KPK adalah jebolan terbaik dari sebuah
proses panjang seleksi oleh Panitia Seleksi KPK, karakter Bambang
Widjojanto jauh lebih diharapkan dapat mendobrak berbagai kebuntuan
dalam agenda pemberantasan korupsi ketimbang Busyro, yang memiliki
pembawaan lebih kalem.

Tampilnya Busyro sebagai Ketua KPK yang baru sebenarnya sudah dapat
diprediksi sejak awal. Dalam perhitungan politik DPR, Busyro dipandang
lebih dapat memberikan situasi psikologi politik yang “nyaman”,
meskipun publik percaya, baik Bambang Widjojanto maupun Busyro
bukanlah tipikal orang yang bisa diajak berkompromi. Sebaliknya,
publik sekarang sangat berharap pembawaan karakter Busyro yang santun
tidak melunakkan sikap dan keputusan KPK dalam menangani perkara
korupsi, terutama yang melibatkan politikus Senayan.

Kehati-hatian DPR dalam menentukan sikap politik terhadap Ketua KPK
baru diikuti dengan keputusan untuk membatasi masa jabatan Busyro
hanya satu tahun.Tafsir sepihak parlemen tentu saja mengindikasikan
adanya kekhawatiran yang demikian besar bahwa Busyro juga akan membawa
“gempa dahsyat”bagi politikus Senayan jika dibiarkan menjabat hingga
empat tahun ke depan. Sikap tidak konsisten parlemen dalam menafsirkan
isi undang-undang menunjukkan bahwa kepentingan politik sempit lebih
ditonjolkan daripada kepentingan pemberantasan korupsi di Indonesia.
sia.
Masalah internal Tantangan pertama bagi Ketua KPK baru adalah
bagaimana dia mampu mengidentifikasi persoalan internal KPK yang
semakin rumit pascakriminalisasi Bibit dan Chandra. Sinyalemen yang
menunjukkan ancaman bagi integritas kelembagaan KPK bisa dilihat dari
gamangnya sikap kolektifkolegial pimpinan KPK dalam menghadapi
indikasi pelanggaran kode etik yang dilakukan pegawainya. Sebagai
contoh untuk disebutkan, Fery Wibisono, Direktur Penun tutan KPK yang
diduga melakukan pelanggaran kode etik kala memberi perlakuan istimewa
bagi koleganya, Wisnu Subroto, saat diperiksa oleh tim KPK dalam kasus
Anggodo, sampai saat ini tidak diberi sanksi apa pun. Celakanya, saat
ini Fery justru dipercaya merangkap sebagai Direktur Penyidikan KPK.

Demikian halnya, isu mengenai loyalitas ganda penyidik KPK yang
berlatar belakang jaksa ataupun polisi tidak dapat ditutup-tutupi
lagi. Kabar yang beredar, jika hasil keputusan rapat internal KPK akan
dapat diketahui oleh pihak-pihak tertentu di luar KPK, kian menegaskan
terpecahnya orientasi kalangan internal KPK. Jika situasi ini
dibiarkan, ia akan memberi pengaruh negatif terhadap kinerja KPK,
paling tidak menurunkan kualitas penanganan perkara korupsi. Pasalnya,
lembaga penegak hukum yang saat ini mendapat kepercayaan tinggi dari
publik untuk memberantas korupsi hanya KPK. Jika masalah internal KPK
tidak diantisipasi, tentu saja dukungan publik terhadap KPK juga dapat
memudar.

Masalah internal lain yang harus dibaca oleh Busyro adalah bagaimana
dia bisa mengkonsolidasikan kembali kekuatan be
Di luar masalah internal, Ketua KPK yang baru juga dihadapkan pada
persoalan bahwa KPK masih memiliki utang penanganan perkara korupsi.
Khususnya kasus korupsi yang menyita perhatian publik luas. Karena
masa tugasnya yang hanya satu tahun, tentu Busyro tidak dapat
diharapkan terlalu banyak untuk bisa melakukan gebrakan. Hanya, ada
segelintir kasus korupsi yang sepertinya tidak mulus proses
penanganannya.

Salah satu yang bisa disebut adalah kasus cek pelawat. KPK memang
telah menetapkan 26 tersangka yang semuanya berla
tar belakang politikus dan dianggap sebagai penerima suap. Namun masih
ada pertanyaan tersisa, yakni kapan KPK sanggup menyeret pihak-pihak
tertentu yang disinyalir memberikan sejumlah dana untuk keperluan
menyuap DPR agar memilih Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur
Senior BI.

Terkesan, dengan tidak pernah dapat diperiksanya Nunun Nurbaetie
sebagai salah satu pihak yang layak dimintai keterangan oleh KPK, ada
kekuatan besar yang telah memacetkan proses hukum di KPK dengan
sengaja. Meskipun Nunun sudah empat kali dipanggil KPK untuk dimintai
keterangan, sampai detik ini ia tidak mau menampakkan batang
hidungnya. Sikap tak peduli Nunun sebenarnya dapat dipandang sebagai
bentuk nyata pelecehan terhadap penegak hukum. Jika KPK salah dalam
mengambil sikap, sangat mungkin sikap Nunun yang abai terhadap
pemanggilan KPK akan menjadi preseden bagi pihak lain yang tengah
berurusan dengan proses hukum di KPK.Terbukti, sikap mbalelo itu kini
ditunjukkan pula oleh Panda Nababan, salah satu tersangka kasus cek
pelawat yang menolak diperiksa KPK.

Selain kasus cek pelawat, yang juga menjadi atensi publik luas adalah
kasus mafia pajak Gayus dan skandal Bank Century. Jika KPK gagal
menangkap aspirasi publik untuk dapat menangani dua kasus ini dengan
serius, sangat mungkin apresiasi publik terhadap KPK juga akan
menurun. Dalam kasus Gayus, KPK mulai menunjukkan sikap jelas.
Sayangnya, dalam konteks kasus bank Century, KPK tampaknya telah
terpenjara oleh tekanan politik DPR. KPK bimbang dalam mengambil
sikap, akan melanjutkan proses hukum kasus Century, atau bahkan
mengambil keputusan tidak populer, yakni menghentikan penyelidikan
skandal Century jika memang secara hukum mengharuskannya.

Ketiga kasus di atas merupakan parameter bagi independensi KPK
mengingat, pada ketiga kasus itu, dimensi politiknya lebih pekat
dibandingkan kasus lain, semisal kasus korupsi di daerah. Dengan waktu
yang hanya satu tahun, andai Busyro sanggup menyelesaikan persoalan
internal KPK sekaligus membuktikan keberanian yang besar untuk
menuntaskan ketiga kasus di atas, Busyro dan seluruh punggawa KPK akan
dikenang sebagai orang-orang besar yang ada pada zamannya. Akan
tetapi, jika gagal, kredibilitas dan kemampuan Busyro sebagai pendekar
hukum akan dipertanyakan oleh publik luas.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/12/16/ArticleHtmls/16_12_2010_011_010.shtml?Mode=1

Sepak Bola dan Politik

oleh anton sanjoyo

Generasi tim nasional sepak bola Indonesia saat ini boleh dibilang
paling mujur. Meskipun mutu kompetisi tak beranjak banyak dalam satu
dekade terakhir dan tim ”Merah Putih” tiap tahun makin redup pamornya
di pergaulan internasional, tiap kali timnas bertanding, Stadion
Gelora Bung Karno selalu bergemuruh riuh.

Bagi penggila timnas Merah Putih, pada akhirnya kalah atau menang
bukan lagi isu utama. Saat timnas tampil heroik di putaran final Piala
Asia 2007, penonton memuja mereka meski kalah. Apalagi saat menang.
Maka, tiga kemenangan beruntun atas Malaysia, Laos, dan Thailand di
kejuaraan Piala AFF seakan membawa tim ”Garuda” asuhan Alfred Riedl
itu melayang ke langit.

Bagi sebagian besar orang Indonesia yang makin hari makin merasa tak
punya masa depan, di tengah terus melambungnya angka inflasi, di
tengah semakin tidak fokusnya pemerintah menangani problema utama
rakyat, di tengah makin merajalelanya korupsi, sepak bola sekali lagi
menjadi katup penyelamat. Euforia kemenangan Bambang Pamungkas dan
kawan-kawan merembes cepat ke seluruh negeri, ke semua strata dan
kelas masyarakat.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tak ketinggalan larut dalam
euforia ini. Bukan ucapan pujian semata yang dilontarkan dari Istana,
dia pun menyambangi Bambang Pamungkas dan kawan-kawan di lapangan
latihan Senayan. Sempat membuat kalang kabut pejabat PSSI karena
kunjungan mendadaknya, Presiden Yudhoyono memberikan suntikan moral
bagi pasukan Garuda.

Kunjungan mendadak Presiden ke kamp latihan timnas PSSI barangkali
patut dicatat dalam sejarah. Sebab, rasanya baru kali inilah seorang
RI 1 sudi mampir ke lapangan latihan dan secara khusus memberikan
dukungan moral kepada timnas sepak bola. Sulit untuk tidak menduga
bahwa Presiden memanfaatkan euforia luar biasa di tengah masyarakat
berkat penampilan tim Garuda. Dilihat dari sudut komunikasi politik,
Istana memanfaatkan momentum sepak bola untuk menaikkan lagi pamor dan
citranya setelah habis-habisan diterpa badai kritik, terakhir soal
Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta.

Meski begitu, apa pun motivasi di balik kunjungan Presiden Yudhoyono
ke Senayan, hal ini harus dipandang sebagai babak baru pembangunan
sepak bola Indonesia. Perhatian yang sangat besar dari pemimpin negeri
ini terhadap timnas harus pula dipandang sebagai momentum untuk
memberikan tenaga ekstra bagi pembangunan sepak bola. Apalagi,
Presiden Yudhoyono sempat mendapat masukan dari Alfred Riedl soal
buruknya mutu lapangan latihan timnas PSSI, yang notabene masih
menyewa dari Yayasan Gelora Bung Karno, yang berada dalam koordinasi
Sekretariat Negara.

Begitu mendengar keluhan Riedl, Presiden pun segera memerintahkan PSSI
berkoordinasi dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng
untuk proyek perbaikan lapangan latihan timnas. Segera angka-angka
dalam hitungan puluhan miliar rupiah berseliweran di media massa untuk
proyek perbaikan lapangan timnas yang sebenarnya dibandingkan dengan
sejumlah lapangan sepak bola lainnya di lingkungan GBK kondisinya
paling baik. Hanya saja, untuk ukuran lapangan latihan timnas sebuah
negara, memang sangat jauh dari layak.

Sebenarnya, lebih dari itu, Presiden Yudhoyono pun sebaiknya diberikan
informasi lebih lengkap dan komprehensif. Sampai sekarang, timnas
sepak bola tidak mempunyai kamp latihan sendiri. Idealnya, timnas
sepak bola memiliki kompleks latihan sendiri yang modern, dengan
lapangan berstandar internasional serta dilengkapi dengan mes pemain,
fasilitas kebugaran, dan sarana penelitian yang benar-benar mumpuni.

Ketua Umum PSSI Nurdin Halid belum lama membenarkan bahwa timnas yang
merupakan ujung dari pembinaan sepak bola memang harus mempunyai
fasilitas latihan dan kamp tersendiri demi mencetak prestasi yang
lebih baik. ”Kami sedang menyiapkan lahannya di daerah Lido,” ujar
Nurdin. Jika demikian, PSSI seharusnya segera menangkap momentum ini
dengan mengajak pemerintah merealisasikan proyek itu sesegera mungkin.
Dengan ”lampu hijau” dari Presiden, keperluan fundamental timnas itu
seharusnya bisa direalisasikan tahun depan.

Di sisi lain, Kementerian Pemuda dan Olahraga pun seharusnya langsung
menyambar pesan Presiden ini dengan segera membuat perencanaan untuk
membangun lapangan-lapangan berstandar internasional di sejumlah
daerah. Secara gamblang, Riedl sebenarnya menyebut lapangan sintetik
sangat ideal untuk kondisi geografis Indonesia bercurah hujan tinggi.
Meski investasinya lebih mahal ketimbang lapangan rumput, dalam jangka
panjang lapangan jenis ini lebih ekonomis. ”Kalau hujan, tetap bisa
dipergunakan dan teknik pemain tidak akan rusak,” ujar Wolfgang Pikal,
asisten Riedl, dalam sebuah kesempatan.

Lapangan sepak bola dengan kualitas baik memang menjadi salah satu
faktor yang membuat pembangunan sepak bola di negeri ini tersendat. Di
Jakarta saja, mencari lapangan berkualitas baik untuk menggelar
kompetisi ibarat mencari jarum di seonggok jerami. Jika Kementerian
Pemuda dan Olahraga menargetkan paling tidak bisa membangun dua
lapangan sintetik di setiap daerah kantong pemain bola—bekerja sama
dengan pemerintah daerah—rasanya dalam lima tahun ke depan timnas
Garuda sudah mendapatkan ribuan bibit pemain terbaik.

Dalam tiga dekade terakhir, fasilitas lapangan sepak bola di sejumlah
daerah memang tidak sekadar memburuk mutunya, tetapi terlebih merosot
kuantitasnya. Pemda jauh lebih suka menggandeng tangan swasta untuk
membangun lahan bisnis, terutama mal dan perkantoran, dalam
pemanfaatan lahan. Sebenarnya, lahan olahraga pun punya prospek bisnis
yang sangat cerah jika dikelola secara profesional. Barangkali,
memang, tingkat pengembalian keuntungan fasilitas olahraga jauh lebih
lama ketimbang lahan bisnis. Namun, tugas pemerintah, dalam hal ini
pemda, seharusnya juga membangun dunia olahraga. Yang dibutuhkan hanya
sebuah kemauan politik untuk tidak terlalu serakah dalam pemanfaatan
lahan. Tanpa kemauan politik yang kuat, olahraga, khususnya sepak
bola, hanya akan dijadikan alat politik untuk membangun citra alias
politik pencitraan.

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/16/04465083/sepak.bola.dan.politik

Kebijakan Luar Negeri Australia: Menatap ke Barat

Australia menatap ke Timur, menatap ke Utara,namun berjuang untuk
menatap ke Barat. Tentu saja penduduk Australia Barat paham betul
betapa luas Nullabor (daratan di selatan Australia) sesungguhnya,
namun betapa pun jauhnya jarak yang dirasa antara Canberra dan Perth,
keengganan bersejarah Australialah untuk merangkul kawasan Samudra
Hindia terjadi.


Kawasan Samudra Hindia yang luas ini sangat majemuk penduduknya,
kebudayaannya, agamanya, dan sistem politiknya serta tingkat
pembangunan ekonominya. Kawasan yang terdiri atas 48 negara tersebut
berpenduduk 2,6 miliar jiwa, hampir 40 persen penduduk dunia.

Transformasi Besar

Kawasan Samudra Hindia sedang mengalami transformasi besar. Kami
melihat pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di Asia Selatan, yang
dipimpin oleh kekuatan besar yang sedang muncul, yakni India.India
sedang dalam jalur untuk menjadi kekuatan ekonomi terbesar ketiga di
dunia setelah Amerika Serikat dan China, dan penduduk paling besar di
dunia. Kami juga tahu pengaruh global negara-negara Teluk, kepada
siapa dunia bergantung demikian besar dalam hal kebutuhan energi.
Pembangunan infrastruktur yang cepat, perdagangan terbuka, arus modal
dan pasar tenaga kerja di Teluk, menjadikannya pusat yang semakin
penting untuk pertumbuhan ekonomi kawasan.

Transformasi Afrika juga signifikan. Sebuah benua dengan hampir satu
miliar penduduk.Pada 2040 Afrika akan memiliki penduduk dengan usia
kerja terbesar di dunia.Walaupun tantangan keamanan dan pembangunan
yang besar masih terus menggelayutinya, realitas modern Afrika lebih
rumit daripada beberapa stereotipe masa lalu yang pernah diberikan.
Investasi asing langsung di Afrika kini hampir sebesar arus ke China
bila diukur secara relatif dengan GDP dan Afrika kini mempunyai rumah
tangga kelas menengah yang lebih besar dib a n d i n g k a n India.

Signifikan

Namun mengenalnya di atas kertas,mengetahuinya dalam pikiran kita,
belum membuatnya tercakup dalam kebijakan kami. Sekutu kami adalah
Timur di Pasifik; Utara di mana kami mempunyai pembangunan strategis
dan ekonomi yang mendalam di seluruh Asia Timur; kami juga harus
memecahkan tantangan besar dan kesempatan yang hadir di kawasan
Samudra India. Kami tidak bisa lagi hanya mempertimbangkan Samudra
Hindia sebagai sesuatu yang tidak penting.

Ini merupakan kawasan yang berjuang mengatasi aneka tantangan
keamanan, termasuk penyebarluasan senjata pemusnah massal; terorisme
di Afghanistan, Pakistan, Yaman, dan di seluruh tanduk Afrika;
perompakan di Teluk Aden; serta manajemen perikanan, ketahanan pangan,
dan dampak perubahan iklim di negara-negara permukaan yang rendah.
Kepentingan Australia di kawasan adalah signifikan. Lebih dari
sepertiga zona maritim Australia terletak di Samudra Hindia, termasuk
proyek energi dan sumber daya yang tengah dan yang akan berlangsung.
Menjaga proyek-proyek ini sekaligus terus menekankan kedaulatan
Australia atas zona maritim kami yang lebih luas, adalah hal mendasar
bagi kepentingan ekonomi jangka panjang bangsa.

Samudra Hindia juga merupakan sumber daya perikanan yang signifikan
dan merupakan jalur laut komunikasi yang paling penting dan tak
terbantahkan di dunia. Jelaslah bahwa kepentingan Australia di kawasan
memerlukan kebijakan luar negeri Australia yang semakin aktif. Sejak
berkuasa, pemerintah mulai memberi perhatian pada ka wasan Samudra
Hindia yang sudah selayaknya. Kami melakukan hal ini dengan
meningkatkan keterlibatan Australia dengan Asia Selatan, negara-negara
di Teluk dan di Afrika. Kami juga telah memupuk hubungan dengan mitra
Asia Tenggara kami yang juga adalah negaranegara Samudra
Hindia.Tetangga Samudra Hindia kami yang terdekat tentu saja
Indonesia.

Hubungan Australia dengan Indonesia belum pernah sebaik sekarang. Kita
memiliki kemitraan strategis dan kerja sama kawasan dan global kita
erat dan produktif. Demikian pula hubungan kami dengan Malaysia dan
Singapura terus berkembang. Australia juga telah memperkuat perannya
di badan-badan kawasan Samudra Hindia seperti Asosiasi Kerja Sama
Kawasan Asia Selatan dan Asosiasi Kerja Sama Kawasan Lingkar Samudra
Hindia (IORARC). Dalam dua tahun mendatang Australia akan bekerja sama
erat dengan India, sebagai Ketua IOR-ARC, untuk meningkatkan kerja
sama kawasan dalam bidang manajemen perikanan, pelatihan bea cukai,
keamanan energi,dan manajemen bencana. Pada 2013 dan 2014, Australia
akan menjadi ketua IORARC.

Berbuat Lebih

Namun kita mesti berbuat lebih banyak lagi. Untuk mengamankan masa
depan Australia harus menatap ke Barat maupun ke Timur. Perubahan yang
mendalam di kawasan menuntut kami berbuat demikian. Itulah mengapa
pemerintah memilih Perth,pintu gerbang kami ke Samudra Hindia dan ibu
kota Barat kami,untuk menyelenggarakan Pertemuan Kepala Pemerintahan
Persemakmuran tahun depan.

Ini akan menjadi pertemuan puncak politik terbesar yang pernah
diselenggarakan di Australia. Pertemuan ini berpotensi menghasilkan
manfaat-manfaat yang penting bagi Australia maupun untuk keterlibatan
kami dengan kawasan Samudra Hindia yang baru dan dinamis ini.(*)

Kevin Rudd
Menteri Luar Negeri Australia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/370195/

Inisiatif-Inisiatif Muslim Cendekiawan

Ilham Akbar Habibie, putra pertama mantan Presiden BJ Habibie,akhirnya
terpilih dan meraih suara terbanyak dalam pemilihan Presidium Ikatan
Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) pada Muktamar V di Bogor, 6
Desember 2010.


Ilham memperoleh 410 suara, mengungguli 10 kandidat lain, Nanat Fatah
Natsir (Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Bandung),Marwah Daud Ibrahim
(Presidium 2005–2010),Priyo Budi Santoso (Ketua DPP Partai Golkar),
dan Sugiharto (mantan Menteri BUMN). Kandidat lain yang gagal masuk
presidium adalah Zulkifli Hasan (Ketua DPP PAN yang juga Menteri
Kehutanan RI), Azyumardi Azra (Ketua Presidium ICMI 2005–2010), Sri
Astuti Buchori, TA Sanny, Zoerain Dzama, dan Musaad.(SINDO,7/12/2010).
Di tangan Ilham, banyak yang berharap ICMI tak lagi “mati suri”.
Inisiatif-inisiatifnya ditunggu oleh tidak saja umat Islam yang
mayoritas di negeri ini, tetapi juga segenap komponen bangsa. Karena
ICMI adalah organisasi “intelektual cendekia”,maka tentu saja
kegairahan intelektualitaslah yang penting.

Dia harus mampu menyodorkan isu-isu menarik, mendasar dan
strategis,mewacanakannya, dan bergerak menyusun agenda aksi yang
nyata. ICMI harus inspiratif di segala bidang dan jangan terkesan
terlampau politis. Jelas Ilham bukan tokoh politik. Mudah-mudahan dia
punya cukup waktu dalam membawa gerbong ICMI dan menggairahkannya,
mendialogkan kembali apa peran dan aksi nyata muslim cendekiawan dalam
dinamika dan kompleksitas umat dan bangsa detik-detik ini.

ICMI bisa memfungsikan diri kembali sebagai terminal dan resultan
gagasan-gagasan, menjadikan dirinya “rumah”yang nyaman bagi kalangan
intelektual Islam yang belakangan ini terkesan “jarang
bersilaturahmi”secara gagasan— karena mungkin terlalu sibuk berbisnis
dan berpolitik. Ilham harus membuat ICMI menjadi menarik, bukan malah
menjadikan ICMI ke pojok wilayah yang semakin “nyaris tak terdengar”.
Selain itu, dia harus bisa lepas dari bayang-bayang kebesaran ayahnya,
BJ Habibie, tapi melanjutkan warisan intelektualitasnya.

Blantik Sapi

Setahun setelah organisasi ini berdiri, saya kuliah Universitas
Muhammadiyah Malang dan bercengkerama dengan salah satu sosok penting
yang terlibat dalam pendiriannya,A Malik Fadjar.Saya aktif di Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) dan turut merasakan kegairahan intelektual yang
dinyalakan oleh ICMI pada awalawal pendiriannya di kota tempatnya
didirikan. Saya memang tak terlibat aktif di organisasi ini, tapi
selalu berusaha menyimak perkembangan dan mengajukan pertanyaan: apa
yang menarik dari ICMI sekarang? Ketika Muktamar V ICMI
diselenggarakan, saya buka kliping lama dan ketemulah makalah
budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pada sarasehan cendekiawan
muslim di Universitas Brawijaya, 1990 itu.

Cak Nun memaparkan konsep kecendekiaan menurut Alquran.Paparannya
serius.Setidaknya terkandung pesan, tugas muslim cendekia itu berat
dan karenanya harus sungguh-sungguh. Cak Nun mengusulkan frase muslim
cendekiawan,bukan cendekiawan muslim. Subyeknya adalah muslim. Muslim
itu ada yang cendekiawan atau bukan cendekiawan. Muslim yang
predikatnya cendekiawan tentu “beban amanatnya” jauh lebih berat
ketimbang yang bukan cendekiawan.Walau begitu, Cak Nun akan menerima
apa saja nama organisasi cendekiawan yang akan didirikan itu, termasuk
apabila tetap memakai cendekiawan muslim.

Menurut Cak Nun, jangankan “cendekiawan muslim”, mau mendirikan ikatan
blantik sapi pun dia akan menerima sejauh organisasi tersebut
dimaksudkan untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Di tengah kritik
sentimen primordial, organisasi itu kemudian hadir, tetap bernama
ICMI, bukan IMCI.Cendekiawan muslim tentu bukan “blantik sapi”dalam
guyonan Cak Nun. Cendekiawan tentu lebih mengedepankan nilai, etos,
dan cara pandang yang luas multiperspektif, ketimbang blantik atau
makelar yang pragmatis-transaksional. Yang diharapkan dari cendekiawan
adalah produk pemikirannya, bukan semata-mata figurfigurnya. ICMI
memang memerlukan “pendekar-pendekar”, tetapi jauh daripada itu adalah
“kesaktiannya”, kemanfaatannya.

Defisit Tokoh

Dalam perkembangannya,merujuk pada uraian legendaris ICMI BJ Habibie,
pemaknaan politis atasnya tidak dapat dilepaskan. ICMI menjadi simbol
prestisius politik kelas menengah muslim Indonesia, dari yang semula
dirasakan di pinggiran ke tengah. Jargon-jargon “santri-isasi priyayi”
mengemuka. Dekade 1990- an tercatat sebagai titik balik “politik
muslim”atau kelas menengah muslim di Indonesia.Kegairahan “politik”
masih terasa diimbangi kegairahan “intelektual” saat itu, dengan
aktivitas “sayap intelektual” CIDES yang aktif memproduksi wacana-
wacana tertulis yang bermutu.

Tetapi, dalam perkembangannya, seiring dengan menguatnya fenomena
ketergantungan dan “personalisasi organisasi”, ICMI “menurun”.
Dinamika politik memang ingar-bingar setelah 1998. ICMI, dan
kelihatannya juga ormas-ormas Islam lain,“tertimpa politik”.
Kegairahan politik meningkat, tetapi sayangnya tak diimbangi dengan
kegairahan intelektual. Nurcholish Madjid, yang berkontribusi
memberikan catatan semacam nilai-nilai dasar ICMI,kian terkesan tidak
begitu at homedi dalam organisasi cendekiawan yang “penuh sesak” oleh
para birokrat dan politisi itu. Demikian pula tampaknya dengan
Imaduddin Abdurrahim, yang saat itu kian uzur.Tokoh lain seperti Adi
Sasono, Umar Juoro, dan yang lain tampak tak kuat menahan beban-beban
alamiah yang membuat ICMI dan CIDES merosot aktivitasnya.

Maka lantas terkesan bahwa ICMI adalah organisasi cendekiawan yang
sedang “defisit cendekiawan”. Persoalan yang dihadapi ICMI sendiri
kian kompleks. Maka, sebagai wadah, ia perlu tampil semenarik mungkin.
Struktur insentif apalagi yang dapat ditawarkan organisasi ini kepada
para muslim cendekiawan? Yang jelas, bukan lagi “kekuasaan”. Karenanya
sesungguhnya dapat dipahami, mengapa ICMI “menurun”. ICMI lahir karena
“topangan kekuasaan”,walaupun tak sepenuhnya. Ketika tak ada lagi
“topangan kekuasaan”, maka demikianlah konsekuensinya. ICMI kini
berada di era “kompetisi politik bebas”.

Para tokohnya dari beragam partai politik. Problem ICMI dalam konteks
ini nyaris sama dengan organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia
(KNPI) sebagai ormas pemuda yang plural, yang para tokohnya juga dari
beragam partai politik. Tidak menjadi soal, kalau realitas objektifnya
demikian.Tapi karena telanjur memilih predikat cendekiawan muslim,maka
sesungguhnya masyarakat atau umat, masih sangat berharap bahwa “bara
intelektual” ICMI tetap lebih mengedepan.

Bara Intelektual

Inisiatif-inisiatif muslim cendekiawan dalam menyalakan “bara
intelektual” alias apa yang dipopulerkan Bung Karno sebagai “api
Islam” itu tetap ditunggu. ICMI bisa mewadahi potensipotensi kreatif
umat secara inklusif, bukan korporatis-eksklusif. ICMI harus
menginisiatifi berbagai dialog kultural dan peradaban dalam arti yang
luas.Harus proaktif. ICMI harus dinamis karena hakikat cendekiawan itu
sendiri adalah dinamis dalam berpikir. Berpijak dari pengalaman,
sebagai kekuatan masyarakat madani, ICMI harus mandiri dari negara
(state).

ICMI harus tetap menjadi kekuatan independen-kritis, selayaknya citra
yang melekat pada sosok cendekiawan. ICMI tidak boleh turut dalam
politik praktis, kecuali terus-menerus mewacanakan politik nilai atau
nilai-nilai islami dalam berpolitik. Singkat kata, ICMI harus “kebul-
kebul”dengan produk-produk intelektualitasnya, dengan agenda-agenda
aksi nyatanya, untuk umat, untuk bangsa. Akhirnya, selamat bekerja,
Ilham Akbar Habibie. Inisiatif-inisiatifAnda ditunggu.Wallahua’lam.(*)

M Alfan Alfian
Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/370197/

Dokter Wajib Ikuti Praktik Lapangan

Pontianak, Kompas - Para dokter yang baru saja lulus dan diwisuda
diwajibkan mengikuti program internship, yakni praktik lapangan selama
satu tahun dalam pengawasan dokter pengawas. Pada 2011, akan ada 2.000
dokter dari 11 universitas yang mengikuti program ini.

Demikian dikatakan oleh Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih
dalam grand launching program internship dokter Indonesia 2011 di
Pendopo Rumah Rakyat (rumah dinas Gubernur) Kalimantan Barat di Kota
Pontianak, Rabu (15/12).

”Ini adalah program lanjutan dalam kurikulum berbasis kompetensi
setelah seorang dokter diwisuda. Para dokter akan ditempatkan di rumah
sakit di tingkat kabupaten bertipe C dan D serta di puskesmas-
puskesmas,” kata Endang.

Program ini telah dimulai pada 2010 di dua provinsi, yakni Sumatera
Barat dan Jawa Barat. Jumlah dokter yang mengikuti program ini
sebanyak 401 dokter. Pada 2011 mendatang, program praktik lapangan
akan dilaksanakan oleh 11 fakultas kedokteran dari universitas yang
berdomisili di Sumatera Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan
Barat. Dalam dua tahun pertama pelaksanaan program ini, para dokter
masih akan melakukan praktik di provinsi tempat universitas tersebut
berada.

Endang menambahkan, dalam satu tahun praktik lapangan tersebut, dokter
akan menjalani praktik di rumah sakit selama delapan bulan dan di
puskesmas selama empat bulan. ”Mereka akan diawasi oleh dokter-dokter
pengawas dari rumah sakit dan puskesmas setempat yang ditugaskan oleh
Kementerian Kesehatan,” kata Endang.

Tiga keuntungan

Endang mengatakan, ada tiga keuntungan yang diperoleh dari program
tersebut. Pertama, para dokter bisa mengasah ilmu pengetahuan yang
diperolehnya selama mengikuti kuliah. Kedua, masyarakat mendapat
layanan langsung dari dokter-dokter muda melalui pusat pelayanan
kesehatan milik pemerintah daerah. Ketiga, para dokter bisa
memperkenalkan berbagai program jaminan dan subsidi pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan.

Program ini berbeda dengan penempatan pegawai tidak tetap (PTT) yang
selama ini telah berlangsung. ”Setelah mengikuti program internship,
para dokter baru bisa mengikuti penempatan PTT,” kata Endang.

Pemerintah mengucurkan anggaran sebesar Rp 9 miliar untuk membiayai
program ini pada 2010. Pada 2011, anggarannya naik menjadi Rp 33
miliar karena jumlah pesertanya bertambah. Anggarannya akan naik pada
tahun-tahun berikutnya karena jumlah peserta akan bertambah. Pada
2014, diperkirakan akan ada 8.000 sampai 10.000 dokter baru yang
mengikuti program ini.

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengatakan, program
internship merupakan upaya pemerintah untuk menjaga kompetensi seorang
dokter. ”Dari mana pun lulusan dokter tersebut, kami berharap
kompetensinya akan tetap sama, terutama dalam standar minimalnya. Ini
untuk menjaga mutu dokter yang dihasilkan oleh 71 fakultas kedokteran
dari seluruh wilayah di Indonesia,” ungkap Fasli Jalal.

Fasli Jalal mengatakan, Indonesia merupakan pelopor program sejenis di
kawasan ASEAN.

(aha)

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/16/03264847/dokter.wajib.ikuti.praktik.lapangan

Wapres: Perbaiki Citra Pelayanan Publik

ImagePELAYANAN PRIMA Menteri Negara PAN dan Reformasi Birokrasi EE
Mangindaan memberikan sambutan disela-sela penyerahan piala Citra
Pelayanan Prima oleh Wakil Presiden Boediono di Istana Wapres,
Jakarta, kemarin.


JAKARTA(SINDO) – Wapres Boediono meminta kepada semua instansi
pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk memperbaiki pelayanan
publik dengan melakukan gerakan reformasi birokrasi. Wapres berharap,
dengan adanya gerakan ini, pelayanan publik tidak lagi dinilai bertele-
tele oleh masyarakat.

“Sering kali kita mendengar keluhan dari publik, wah yang namanya
birokrasi kok begini ya, birokrasi itu terlalu berteletele,” ujar
Wapres Boediono saat memberikan sambutan pada penyerahan Piala Citra
Pelayanan Prima di Istana Wapres,Jakarta. Wapres Boediono siang
kemarin menyerahkan piala Citra Pelayanan Prima kepada 83 unit
pelayanan publik yang telah berhasil menciptakan inovasi dalam
meningkatkan kinerja penyelenggaraan pelayanannya. Penentuan pemberian
penghargaan ini dilakukan melalui mekanisme seleksi penilaian yang
transparan dan objektif.

Meneg PAN dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan mengatakan, program
pemberian penghargaan kepada unit pelayanan publik ini sudah dilakukan
sejak 1995 dengan nama penghargaan Abdisatyabhakti. Pada 2002 nama ini
diubah menjadi penghargaan Citra Pelayanan Prima, yang bermakna
gambaran tampilan sosok kinerja pelayanan yang sangat baik. “Dasar
filosofi kegiatan ini adalah sebagai upaya pembinaan aparatur negara,
khususnya aparatur penyelenggara pelayanan publik,”ungkapnya.
(rarasati syarief)

Social Business

MEMBACA buku kedua Mohammad Yunus, Social Business (2010),
mengingatkan saya pada kejadian di sebuah hotel butik di Ubud belum
lama ini. Di hotel mewah milik keluarga Puri Ubud ini semua terlihat
sempurna.

Dapat saya katakan inilah hotel terindah yang pernah saya singgahi.
Tarifnya pun tidak terlalu murah untuk ukuran Bali: di atas USD450 per
malam untuk vila satu kamar yang dilengkapi kolam renang. Di belakang
vila mengalir air bening Sungai Ayung yang setiap hari diarungi
sekitar 600 perahu karet arung jeram.Konturnya berupa jurang di tepi
sungai yang menjorok ke bawah, pepohonan dan semak-semak yang tertata
membuat kawasan ini kaya oksigen. Bagi tamu-tamu high class, apalagi
yang mereka cari kalau bukan privacy? Tetapi kejadian di suatu siang
itu cukup membuat semua pegawai hotel bingung. Entah apa yang
terjadi,vila yang didiami sepasang tamu paruh baya terlambat
dibersihkan.

Padahal sebelumnya hal ini tak pernah terjadi.Bagi tamu itu, untuk
sebuah hotel butik pukul 11.00 kamar sudah harus kembali rapi. ”Saya
belum pernah menghadapi kenyataan seperti ini,”tamu itu komplain. Dia
tidak bisa menerima pelayanan yang menurutnya tidak memuaskan. Semua
jawaban yang diberikan pihak hotel tidak membuatnya senang. Mereka
adalah tamu penting yang biasa berlibur ke mancanegara. Bahkan untuk
menginap di Bali mereka datang dengan jet pribadi. Jadi bisa diduga
siapa mereka. Kalau mereka sampai berbicara di media atau menulis di
blog,sudah pasti bisa berakibat buruk bagi citra hotel dan masa depan
Ubud.Bagi saya sendiri pelayanan di hotel ini sudah lebih dari cukup.

Urusan Sosial

Amarah tamu penting itu akhirnya baru reda setelah ditemui pimpinan
tertinggi,seorang muda yang juga dikenal sebagai penduduk di Desa
Ubud.Tentu saja bukan karena jabatannya yang tinggi yang membuat tamu
menurunkan ”tone”-nya, melainkan karena apa yang mereka bicarakan.

General manager muda itu menuturkan bahwa hotel ini dikelola oleh
orang-orang desa yang seharihari bekerja menjaga kelestarian alam di
Bali. Bila pagi mereka bekerja, menjemput tamu, mengangkat koper ke
kamar, memasak, membersihkan kamar, sore harinya mereka
berkesenian,menjaga kesucian air, memelihara tradisi, mengikuti
upacara adat,ikut rapat di banjar-banjar,dan seterusnya. Perbincangan
itu rupanya cukup menarik perhatian tamu itu yang lalu mengalihkan
perhatiannya pada urusan lingkungan.Sikapnya cepat sekali berubah
setelah mengetahui bagaimana hubungan antara sosial dan bisnis di
hotel ini. ”Kalau di perusahaan Anda mungkin harus untung dulu baru
berbagi lewat program-program CSR.

Bagi kami sebaliknya. Kami harus berbagi,melakukan CSR sekalipun belum
untung,”ujarnya. Inilah yang membedakan social business dengan
business ”as usual.” Dalam bisnis yang seharihari kita temui, orang
bekerja keras dengan tujuan mengejar keuntungan. Dalam social
business, seperti yang digariskan penerima Nobel Ekonomi Mohammad
Yunus, orang berbisnis dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
sosial, mengurangi kemiskinan, memperbaiki mutu lingkungan, dan
pendidikan rakyat. Tujuan itu kerap tak ada hubungannya sama sekali
dengan bisnis. Bahkan Anda bisa saja mengatakan semua ini adalah
urusan negara,bukan urusan Anda. Dalam paradigma business, kalau
meraih untung tentu baik untuk berkontribusi sosial.

Di dalam social business bukan berarti harus untung dulu baru kemudian
berbagi. Konsep maximization wealth yang Anda pelajari di fakultas
ekonomi menjadi tidak penting bagi pemilik usaha sosial, namun penting
untuk dibagikan kepada masyarakat. Mohammad Yunus sendiri bukanlah
pengusaha biasa. Dia memang dikenal sebagai entrepreneur yang sukses
dengan microfinance dan usaha telekomunikasi dengan pasar yang sangat
luas (Grameen Phone) di Bangladesh.He is really a businessman. Tetapi
kita semua tahu, tujuannya bukanlah mengejar personal wealth,
melainkan public wealth. Di Ubud, ratusan vila mewah berkembang pesat,
dibangun banyak orang dalam lima tahun belakangan.

Sebagian besar dibangun orang-orang kebangsaan asing atau orang-orang
dari luar Bali. Tentu saja tidak semua pemilik hotel itu paham tentang
nilai-nilai dan budaya Bali. Tetapi saya tahu persis,generasi pertama
usahawan asing atau pendatang dari Jakarta yang masuk ke Bali sempat
frustrasi saat mengatur jadwal kerja karyawan lokal yang jauh lebih
mengutamakan kegiatan gotong-royong dan sosial di balai-balai adat dan
banjar-banjar daripada masuk kerja kantor mengikuti jadwal resmi.
Mereka lebih rela diberhentikan oleh kantor daripada dikucilkan adat.
Waktu berjalan, lama-lama kedua belah pihak (pengusaha dan karyawan)
menemukan titik temu. Hotel bisa bekerja dengan pelayanan
prima,karyawan bisa tetap berkesenian dan berkegiatan sosial. Intinya
sebenarnya cuma time management saja.

Di desa seperti Ubud,model social business jelas sebuah bentuk
yangtidakdapatdiabaikandanmenj
adi model yang penting bagi kita untuk
mencari model seperti apa yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia.
Semakin tinggi segmen yang hendak dibidik, semakin penting perilaku
sosial seorang usahawan. Maka mengapa tidak membuat social business
saja dari awal.

Konsumen dan Warga Negara

Sebuah model baru dalam berusaha? Tentu saja saya tak bermaksud
mengatakan model berusaha yang kita kenal telah berada di ruang yang
salah dalam bentuk yang sudah tak sesuai lagi dengan kebutuhan. Namun
perhatikanlah, siapa yang paling mampu memberikan kesejahteraan,
negara atau dunia usaha? Perhatikan pula mana yang lebih berkuasa:
konsumen atau warga negara? Sebagai warga negara kita hanya vote
paling sering dua atau tiga tahun sekali. Tetapi sebagai konsumen,
kita vote berkali-kali sehari dalam proses pembelian.

Kita vote untuk bank, airlines, minuman kesehatan,kecap,sabun, air
mineral, teh kopi, telekomunikasi beberapa kali dalam sehari. Itu
sebabnya, sebagai konsumen, kita menjadi lebih powerfulketimbang
sebagai warga negara. Lihatlah betapa frustrasinya kita menyaksikan
arah pemberantasan korupsi yang tak kunjung tuntas belakangan
ini.Sebagai warga negara kita frustrasi, namun sebagai konsumen kita
bisa jadi tetap bahagia. Di sisi lain, kita juga melihat begitu cepat
sekali perusahaan membagikan asuransi dan biaya pendidikan kepada
karyawankaryawannya ketimbang kecepatan negara. Bahkan dalam
upayaupaya untuk membantu para pengungsi yang terlanda bencana alam
terlihat jelas perusahaanperusahaan bergerak lebih lincah dalam
membangun fasilitas-fasilitas fisik ketimbang negara.

Saya sering bertanya dalam hati, mana yang lebih efektif bagi saya
untuk membangun negeri ini: menjadi pejabat negara dan duduk dalam
struktur birokrasi atau mendirikan sebuah social business seperti yang
dicontohkan hotelhotel di Ubud atau usaha yang dirintis Mohammad
Yunus. Anda mungkin akan mengatakan, kalau menjadi pejabat langkahnya
bisa besar karena negara mengurus uang yang besar; sedangkan
perusahaan uangnya terbatas. Saya pun sepakat. Di Rumah Perubahan kami
juga hanya mengurus soal-soal kecil seperti Rumah Baca, PAUD,Taman
Kanak-kanak, dan mengurus sampah.Dampaknya ya kecil-kecil
saja.Kalaupun sudah ribuan orang yang belajar kewirausahaan dan mulai
menjadi entrepreneur,sudah pasti mereka mulanya dari usaha kecil dan
menengah.

Pasti setahun dua tahun ini mulainya masih kecilkecilan. Tetapi ada
satu hal yang saya pelajari, kegiatan yang skopnya terbatas ini
ternyata mampu menginspirasi murid-murid kami. Sejumlah orang lalu
mulai bertanyatanya bagaimana cara menggandakan gagasan ini. Ketika
orang banyak merasa juga bisa melakukan hal ini, maka dia pun bisa
bergulir menjadi besar, menjadi sebuah gerakan perubahan. Kalau itu
bisa kita lakukan bersama, maka hidup kita akan menjadi lebih terang
benderang. Saya kira social business akan menjadi model usaha yang
menarik bagi Anda,Pembaca.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/370171/

Pemangku Kepentingan, Subyek Demokrasi

OLEH ROCH BASOEKI MANGOENPOEROJO

Subyek demokrasi itu rakyat sesuai Pasal 1 UUD. Itu terlihat dalam
pemilu saat rakyat memilih langsung wakilnya di DPR/D maupun presiden
sampai bupati. Selebihnya peranan rakyat tak terlihat sama sekali.

Lain istilah stakeholder, pemangku kepentingan (PK), menjelaskan siapa
berhak bersuara terhadap sesuatu permasalahan negara. Ada tiga pilar,
yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sipil. Kedua pertama,
bukan PK maupun subyek demokrasi. Pengusaha adalah penggerak
kehidupan, dan seluruh penyelenggara negara adalah penanggung jawab.

PK ialah para pemilik kedaulatan negara, yaitu seluruh rakyat atau
masyarakat sipil. Di lapangan, merekalah yang dirugikan oleh kesalahan
kebijakan publik. Seperti petani oleh kebijakan impor hasil bumi,
nelayan oleh kebijakan pukat harimau, juga pemangku adat oleh
kebijakan agraria. Dalam hal keistimewaan DIY, kita harus bertanya
kepada PK yang relevan, yaitu pemangku kepentingan atas kebesaran
Mataram, sponsor tegaknya NKRI (1945-1949). Saat itu HB IX berbuat
atas nama kebesaran kerajaan, haruskah NKRI menghancurkan kebesaran
itu?

Anarkisme

Mahasiswa dan aktivis berdemo karena merasa ikut bertanggung jawab
terhadap kelangsungan kehidupan bernegara. Namun, ketika posisi tidak
jelas, maka tidak jelas gerakannya dan tak jelas pula tanggung
jawabnya. Anarki akibatnya.

Mereka memerlukan kejelasan posisi agar dapat bertanggung jawab, yaitu
sebagai PK atau subyek demokrasi. Sebagai PK, pendemo harus spesifik
tuntutannya sesuai kepentingan yang dipangku sehingga terukur W5H-nya
dan siapa bertanggung jawab. Kalau polisi akan menghentikan demo, maka
dia harus mampu menjawab tuntutan. Artinya, demo bisa dihentikan hanya
oleh yang mampu menjawab tuntutan.

Lihat kasus dialirkannya lumpur Lapindo ke Sungai Porong. Layak
sebagai PK adalah penduduk setempat, ormas peduli lingkungan,
planolog, dan pihak lain yang dirugikan oleh pendangkalan sungai itu.
Tuntutan harus jelas dan terukur, tanpa menyajikan solusi yang menjadi
tanggung jawab pemerintah. Tuntutan disampaikan kepada pemerintah
(BPLS bentukan Perpres No 14/2007). Posisi Bupati Sidoarjo/Pasuruan
harus menempatkan diri sebagai bapaknya PK, bukan sebagai ”orangnya”
Presiden. Sedangkan polisi mendudukkan diri sebagai saksi belaka.

Untuk itu dibutuhkan adanya ormas peduli PK yang mampu
mengorganisasikan seluruh komponen yang dirugikan oleh adanya
penyimpangan kebijakan publik. Aktivis nonpartisan dan mahasiswa
merupakan potensi yang layak ambil peran untuk semua sektor kegiatan
masyarakat di dalam kehidupan bernegara. Perannya, mencerdaskan
kehidupan berbangsa untuk bertanggung jawab, tanpa tindakan anarki.

PK tingkat makro

Warga bangsa memerlukan sungguh banyak makanan bergizi, lahan untuk
memproduksi sangat luas, tenaga kerja amat banyak, demikian juga
ahlinya. Agar makanan bergizi melimpah, PK harus berteriak negara
tidak boleh impor. Berbeda dengan PK mikro, PK makro harus mengonsep
jalan keluarnya.

Siapa PK makro dalam hal pemenuhan kebutuhan makanan bergizi? Adalah
seluruh perhimpunan/asosiasi yang bergerak di bidang itu: dokter
hewan, peternakan, pertanian, industri makanan, ekonom, dan para
pemikir masalah sosial. Juga HKTI, HNSI, hingga Himpunan Peternak yang
akan diuntungkan oleh kebijakan berdikari untuk memenuhi kebutuhan
makanan dalam negeri.

Mereka adalah kumpulan insan yang benar-benar nonpartisan yang hanya
berkepentingan pada masa depan kehidupan bersama, masyarakat, bangsa,
dan negara. Mereka tidak terlibat dalam parpol yang wajar bila sarat
kepentingan. Hal ini sesuai desain para pendiri negara yang menyebut
sebagai utusan golongan dan utusan daerah.

Hambatan untuk melaksanakan ide adalah posisi para pengusaha yang
memiliki sumber daya berlebih dan tidak tergantung pada mati-hidupnya
negara. Biar negara hancur, mereka tetap bisa hidup nyaman di dunia
global. Oleh karena itu, perlu juga PK yang peduli pada moral
pengusaha.

Dengan ditatanya subyek demokrasi atau pemangku kepentingan dalam
organisasi bernegara, diharapkan demokrasi tidak dijadikan alat
politik (dibenturkan dengan monarki misalnya), tetapi menjadi wahana
politik yang menyejahterakan seluruh masyarakat, tanpa anarkisme.

ROCH BASOEKI MANGOENPOEROJO Ketua M-3 (Masyarakat Musyawarah Mufakat),
Penulis Buku ”Kerugian Bangsa akibat Lumpur Sidoarjo”

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/16/03211492/pemangku.kepentingan.subyek.demokrasi